Petani Hentikan Perawatan dan Pemupukan Kebun karena Takut Usahanya Disita
Pekerja mengangkut kelapa sawit di Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/4/2025). (FOTO: SALMAN TOYIBI/JAWA POS)
18:18
29 Oktober 2025

Petani Hentikan Perawatan dan Pemupukan Kebun karena Takut Usahanya Disita

- Sektor perkebunan sawit mengalami ketakutan dalam mengolah lahan. Pasalnya, semenjak pemerintah mengerahkan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), banyak petani menghentikan perawatan dan pemupukan kebun karena takut usahanya disita.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Abdul Aziz menuturkan, banyak kebun yang disita. Padahal telah mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun sertifikat tanah resmi yang dikeluarkan negara.  

Menurut dia, kondisi itu mencerminkan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan yang menjadi dasar hukum tindakan Satgas PKH.  

"Karena masalah ini bukan terjadi di era Pak Prabowo, maka inilah kesempatan emas bagi beliau untuk menertibkan tata kelola sawit agar sesuai aturan hukum. Kalau Kementerian Kehutanan tertib, hukum bisa ditegakkan, rakyat tenang, dan negara diuntungkan,” ujar Abdul Aziz dalam kepada wartawan di Jakarta pada Rabu (29/10).

Aziz menjelaskan, semenjak pemerintah membentuk Satgas PKH sebagaimana amanat dari Perpres No 5/2025, banyak lahan sawit yang disita. Awalnya yang disasar adalah perusahaan besar. Kini merembet hingga lahan masyarakat seluas 10 hektare ke atas. Satgas PKH telah menyita 3,4 juta hektare lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan.

"Begitu plang bertuliskan ‘lahan dalam penguasaan negara’ dipasang, petani langsung dipanggil Satgas, diperiksa, bahkan disodorkan surat penyerahan lahan. Suratnya undangan klarifikasi, tapi gayanya seperti pemeriksaan,” jelasnya sambil mengungkapkan bahwa Samade merupakan asosiasi yang beranggotakan 15.000 petani sawit di 10 provinsi di Indonesia. 

Menurut dia, tindakan itu selain menimbulkan keresahan, juga berdampak serius terhadap produktivitas dan ekonomi petani. Banyak petani menghentikan perawatan dan pemupukan kebun karena takut usahanya disita. 

"Di Riau keresahan sudah tinggi. Petani berhenti merawat kebun, dan banyak yang kesulitan membayar cicilan ke bank. Dampaknya luar biasa, bukan hanya di Riau tapi juga di Jambi, Sumut, dan Kalteng,” ujar Aziz. 

Selain Perpres 5/2025, Aziz juga menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang disebutnya lebih mengerikan karena mengatur sanksi denda dan penyitaan sekaligus.

“Substansi PP 45 ini tetap sama: berbasis pada klaim kawasan hutan yang belum jelas status hukumnya. Kalau kawasan hutannya tidak dikukuhkan, dasar hukum PP itu lemah. Jadi, kami tidak terlalu tertarik membahas PP 45 karena dasarnya saja sudah tidak jelas,” tegasnya. 

Menurut Aziz, masalah utama terletak pada ketidakjelasan data dan klaim kawasan hutan yang dibuat Kementerian Kehutanan. Ia menilai, jika Presiden Prabowo berani menertibkan sektor ini, akan menjadi tonggak sejarah bagi pemerintahan baru. 

Aziz menyoroti data Kementerian Kehutanan yang menyebut ada 3,4 juta hektare sawit di kawasan hutan. Jika persoalan ini diselesaikan secara bijak, justru bisa menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan.  

"Sebagian besar lahan itu bukan hutan tutupan, tapi lahan kosong yang dimanfaatkan untuk budidaya. Kalau diselesaikan dengan benar, hasilnya bisa luar biasa. Tapi kalau kebijakan seperti ini diteruskan, produktivitas sawit akan anjlok, sementara 2026 kita sudah wajib B50. Bahan bakunya mau dari mana?” paparnya.

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #petani #hentikan #perawatan #pemupukan #kebun #karena #takut #usahanya #disita

KOMENTAR