Pengamat Transportasi: Whoosh Terlanjur Jadi Beban KAI
- Sebagaimana yang sudah diprediksi banyak pihak, besarnya utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh kini menjadi beban berat BUMN Indonesia, terutama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, KAI ditugasi menjadi pemimpin konsorsium sekaligus pemegang saham terbesar PT Pilar Sinergi BUMN (PSBI), perusahaan ini jadi menjadi pemegang saham mayoritas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Lantaran menjadi pemegang saham terbanyak di PT KCIC, praktis KAI harus menanggung kerugian paling banyak akibat kewajiban pembayaran cicilan utang kereta cepat.
Misalnya saja, mengutip laporan keuangannya, sepanjang tahun 2024, saat PT PSBI mencatatkan kerugian Rp 4,19 triliun, KAI ikut harus menanggung rugi sesuai porsi sahamnya yakni sebesar Rp 2,24 triliun.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menyebut pemerintah melalui Danantara wajib menyelematkan keuangan KAI yang sudah sangat keteteran menanggung utang Whoosh.
"Sudah terlanjur semuanya, barangnya (kereta cepat) sudah terbangun, sudah terlanjur jadi beban bagi KAI. mau diapakan lagi. KAI harus dibantu lewat Danantara," kata Djoko saat dihubungi, Selasa (28/10/2025).
Menurut Djoko, meski pada dasarnya uang dividen Danantara sejatinya juga aset negara yang dipisahkan, namun dalam kasus kerugian Kereta Cepat Whoosh, pemerintah tak punya opsi lain selain menyelamatkan KAI dengan suntikan modal.
"KAI harus diselamatkan, skemanya sama seperti Danantara menyuntik Garuda untuk membeli pesawat baru, duitnya harus dari Danantara. Kan BUMN sudah nggak setor dividen lagi ke Kementerian Keuangan," ungkap Djoko.
Whoosh disebut investasi sosial
Djoko juga menyinggung soal istilah investasi sosial yang dikemukakan Jokowi baru-baru ini yang menyebut Whoosh bukan proyek untuk mencari laba, namun jadi upaya pemerintah untuk menyediakan transportasi publik.
Namun demikian, menurut Djoko, Kereta Cepat Whoosh bukan sesuatu yang mendesak bila tolak ukurnya adalah "investasi sosial".
"Kita boleh bicara masa depan, tapi harus lihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini seperti apa. Tapi (Whoosh) sudah dibangun, sudahlah, mau bagaimana lagi, terpaksa harus ada perhitungan ulang," kata Djoko.
Djoko bilang, kalau memang tolak ukur sebagai investasi sosial, maka bila melihat kondisi sekarang, kebutuhan transportasi masyarakat di Indonesia bukan kereta cepat Whoosh.
Ia memberi contoh, program pembangunan infrastruktur yang bisa berdampak dan bisa dinikmati jutaan orang adalah reaktivasi atau menghidupkan kembali rel-rel mati peninggalan Belanda.
Djoko juga menyebut, elektrifikasi hingga membangun double track rel-rel kereta di sejumlah kota besar, baik di Jawa maupun luar Jawa, justru lebih mendesak.
"Kondisi riil masyarakat itu transpotasi perkotaan yang memadai, angkutan pedesaan, kemudian yang sangat penting juga reakivasi rel-rel tua. Lalu kereta yang sekarang (kecepatannya) dipercepat," kata Djoko.
"Lalu yang mendesak adalah elektrifikasi rel sehingga bisa dilalui KRL, kembangkan KRL di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan kota-kota besar lain. Itu lebih mendesak," tegasnya.
Program elektrifikasi hingga reaktivasi rel mati ini, menurut Djoko, jauh lebih mendesak karena memamg sangat bisa menjawab kebutuhan transportasi publik di Indonesia.
Akan ada jutaan penumpang yang bisa dilayani KRL maupun rel-rel mati yang dihidupkan kembali, baik di Jawa maupun Sumatera.
"Sementara Whoosh memang sudah ada peningakatan jumlah penumpang. Masih berproses, pendapatan penumpang sudah bisa menutup operasional, tapi masih jauh untuk menutup (cicilan) utang dan bunganya," kata Djoko.
Tag: #pengamat #transportasi #whoosh #terlanjur #jadi #beban