Tol Sepi Bikin Rugi, Salah Siapa?
Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat.(Dok. Hutama Marga Waskita)
09:20
9 Oktober 2025

Tol Sepi Bikin Rugi, Salah Siapa?

NEGARA telah membangun infrastruktur secara masif, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur digadang-gadang sebagai fondasi kemajuan yang akan membawa kita pada pertumbuhan dan kesejahteraan.

Salah satu infrastruktur yang paling getol dibangun adalah jalan tol untuk mendukung mobilitas masyarakat serta distribusi logistik.

Menurut Kantor Staf Presiden (2024), pemerintah telah membangun 2.700 kilometer jalan tol baru yang tersebar di seluruh Indonesia selama rentang 2015 hingga 2024.

Pencapaian yang fantastis ini tentunya layak dan perlu diapresiasi. Namun demikian, manfaat yang diharapkan dari pembangunan jalan tol ternyata masih jauh panggang dari api.

Bahkan, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo dalam rapat bersama Komisi V DPR RI baru-baru ini, justru mengeluhkan minimnya pengguna pada 21 ruas jalan tol di Indonesia.

Menurut Menteri PU, realisasi volume lalu lintas pada ruas-ruas tersebut bahkan tidak sampai 50 persen dari asumsi dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT).

Kondisi ini menyebabkan kerugian yang besar bagi badan usaha jalan tol (BUJT) selaku pengelola karena rendahnya pendapatan serta tingginya biaya operasional dan pemeliharaan.

Menteri PU juga mengakui bahwa masalah ini berimbas pada tidak optimalnya pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) di jalan tol.

Sejumlah operator lantas berupaya mencari solusi menghadapi situasi besar pasak daripada tiang yang terjadi.

Waskita Karya, misalnya, berencana melepaskan kepemilikan pada sejumlah ruas seperti Jalan Tol Pemalang-Batang dan Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat.

Jasa Marga bahkan mengambil langkah yang terbilang ekstrem karena berniat mengembalikan konsesi Jalan Tol Manado-Bitung kepada pemerintah.

Masalah-masalah tersebut tentu membuat kita geleng-geleng kepala. Pembangunan infrastruktur yang diharapkan membawa manfaat justru mendatangkan mudarat.

Jalan tol sepi pengguna, membebani pengelola, dan merugikan negara karena manfaatnya tidak terdayagunakan. Pertanyaannya, apa dan siapa yang salah?

Tarif mahal

Penyebab utama sepinya jalan tol adalah tarif yang tinggi. Sebagai gambaran, biaya melintas bagi kendaraan golongan 1 mencapai Rp 1.200 per kilometer di Jalan Tol Manado-Bitung, Rp1.300 di Jalan Tol Bengkulu-Taba Penanjung, dan Rp 1.600 di Jalan Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar.

Praktis tidak ada lagi ruas jalan tol dengan tarif di bawah Rp 1.000 per kilometer sebagaimana dulu sering digembar-gemborkan pemerintah.

Hal ini tentu saja kontraproduktif dengan mimpi meramaikan jalan tol serta memaksimalkan pemanfaatannya untuk produktivitas dan daya saing kita.

Kenaikan tarif selama ini juga berlangsung sangat drastis. Jalan Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung, misalnya, naik tajam dari hanya Rp 170.500 (2020) menjadi Rp 255.500 (mulai 2024).

Tak heran jika sebagian masyarakat akhirnya beralih menggunakan jalan biasa.

Padahal, logikanya tarif jalan tol antarkota sebagai urat nadi logistik nasional justru harus dibuat lebih terjangkau.

Tarif mahal hanya patut dibebankan pada jalan tol perkotaan sebagai disinsentif bagi kendaraan pribadi, namun seyogyanya tidak untuk ruas-ruas jalan tol lintas pulau seperti Trans-Jawa dan Trans-Sumatera.

Karena itu, di tengah pelemahan daya beli dan perlambatan kondisi perekonomian, pemerintah yang mengaku prorakyat seharusnya melakukan moratorium kenaikan tarif, bahkan memberikan diskon tarif kepada masyarakat.

Stimulus semacam ini dapat membentuk permintaan (demand) dan menciptakan pasar (market) yang berkelanjutan bagi bisnis jalan tol untuk jangka panjang.

Selain mahal, pemerintah juga tidak memiliki arah jelas soal kebijakan pentarifan jalan tol.

 

Konon jalan tol dibangun untuk memperlancar mobilitas orang dan barang. Namun, pemerintah justru menetapkan tarif yang tinggi untuk kendaraan pribadi dan terlebih lagi untuk angkutan barang.

Kebijakan pentarifan ini bertolakbelakang dengan tujuan pembangunan infrastruktur seperti membantu masyarakat, menekan biaya logistik, dan lain-lain.

Padahal, pemerintah dapat menerapkan kebijakan diferensiasi tarif seperti yang telah dilakukan di banyak negara.

Kebijakan ini difokuskan pada pemberian tarif yang lebih murah, misalnya, melalui diskon dan insentif, untuk jenis-jenis kendaraan tertentu.

Sebagai contoh, Amerika Serikat memberikan diskon tarif untuk kendaraan barang dan kendaraan rendah emisi.

China menggratiskan tarif bagi angkutan produk pertanian segar. Sementara Jepang dan Korea Selatan menerapkan potongan tarif bagi kendaraan logistik pada jam-jam tertentu.

Kebijakan khusus seperti ini mestinya dapat diterapkan untuk mengerek manfaat pembangunan jalan tol di Indonesia.

Terlalu optimistis, kurang realistis

Akar masalah lainnya adalah kesalahan perencanaan jalan tol yang dilakukan pemerintah. Curahan hati Menteri PU soal rendahnya realisasi dibandingkan asumsi lalu lintas sebetulnya menjadi tanggung jawab pemerintah sendiri.

Dalam setiap proyek, pemerintah menyusun studi kelayakan (feasibility study) yang kemudian menjadi justifikasi pembangunan sekaligus pengusahaan jalan tol.

Masalahnya, studi kelayakan ini seringkali berisi asumsi, model, dan hitung-hitungan yang terlampau optimistis.

Optimisme tentu saja diperlukan. Namun optimisme yang berlebihan dapat menjadi senjata makan tuan seperti sedang terjadi saat ini.

Dalam konteks global, fenomena semacam ini sebenarnya telah berlangsung lama. Wachs (1990) mengistilahkan proyeksi-proyeksi dalam studi kelayakan sebagai “penyalahgunaan yang umum terjadi”.

 

Flyvbjerg (2007) pun menemukan banyak megaproyek infrastruktur di berbagai negara yang dilandaskan pada studi kelayakan yang rapuh dengan angka-angka yang terlihat indah agar usulan proyek terkesan masuk akal.

Hal ini seringkali berujung pada pembengkakan biaya, keterlambatan jadwal, minimnya pemanfaatan, kerugian operasional maupun finansial, dan lain-lain.

Di Indonesia, asumsi yang kurang realistis juga diperparah dengan variabel-variabel kunci yang seringkali tidak dikendalikan oleh pemerintah, padahal keberadaannya sangat memengaruhi tingkat kelayakan dari suatu proyek infrastruktur.

Sebagai contoh, Jalan Tol Serang-Panimbang dibangun untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, sementara Jalan Tol Manado-Bitung menjadi akses bagi KEK Bitung.

Kini jalan tol telah berdiri megah dengan kondisi yang lengang karena KEK tak kunjung berkembang. Walhasil, tidak ada bangkitan lalu lintas akibat minimnya geliat ekonomi di daerah sekitar.

Karena itu, pemerintah harus lebih serius mengembangkan sentra-sentra ekonomi, industri, dan pariwisata di sepanjang jalan tol.

Contoh baik sudah ada, seperti Kawasan Industri Terpadu Batang untuk mengisi koridor jalan tol Trans-Jawa atau Bakauheni Harbour City yang terhubung langsung dengan jalan tol Trans-Sumatera.

Tanpa integrasi dengan pengembangan kewilayahan secara komprehensif, keberadaan jalan tol akan sia-sia belaka dan berpotensi gagal menjadi tulang punggung kemajuan bangsa dan negara.

Tag:  #sepi #bikin #rugi #salah #siapa

KOMENTAR