



Menakar Pajak Aplikasi Digital: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Ekonomi
MENTERI Keuangan Sri Mulyani kembali melempar wacana baru: pajak akan dikenakan secara langsung terhadap para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berjualan di platform digital seperti Shopee, TikTok Shop, Tokopedia, dan lainnya.
Skemanya bukan lagi sekadar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022, melainkan pemotongan pajak otomatis dari omzet pelapak yang dilakukan oleh platform digital itu sendiri.
Wacana ini langsung memantik pro dan kontra. Di satu sisi, negara memiliki kepentingan fiskal untuk memperluas basis pajak di era ekonomi digital.
Di sisi lain, para pelaku UMKM khawatir akan terbebani secara tidak proporsional, sementara platform digital yang sejatinya berperan sebagai perantara ikut menanggung risiko administratif yang tidak kecil.
Pertanyaannya: apakah rencana ini sah secara hukum dan tepat secara sosial?
Pajak dalam ruang digital
Secara hukum, tidak ada yang salah dengan kebijakan pajak di ruang digital. Prinsip dasar pajak adalah self-assessment, setiap subjek pajak wajib menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajibannya kepada negara.
Namun dalam praktiknya, prinsip ini mengalami perubahan dalam konteks platform digital yang kini menjadi medium utama transaksi.
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak, berusaha beradaptasi dengan mekanisme ekonomi digital yang semakin kompleks.
Dalam perspektif global, banyak negara telah mulai mengenakan digital service tax atau significant economic presence (SEP) kepada perusahaan raksasa digital yang menikmati keuntungan di suatu negara tanpa kehadiran fisik.
Indonesia pun mengikuti jejak tersebut melalui pengenaan PPN atas produk digital luar negeri dan penunjukan platform seperti Netflix, Google, dan Meta sebagai pemungut pajak.
Namun kebijakan yang kini digagas berbeda: bukan hanya memungut pajak dari perusahaan platform digital raksasa luar negeri, melainkan juga menjadikan mereka sebagai pemungut pajak atas penjual lokal.
Perlu diingat, para pelapak UMKM selama ini dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen dari omzet sebagaimana diatur dalam PP 55 Tahun 2022. Apakah kini platform akan bertindak sebagai pemotong PPh atas nama pelapak.
Dalam sistem hukum pajak, asas keadilan memegang peranan penting. Setiap warga negara dikenakan pajak berdasarkan kapasitas ekonominya.
Jika pelaku usaha konvensional dikenakan pajak, maka wajar pelaku usaha daring juga dikenai kewajiban serupa.
Dalam konteks ini, pemerintah bisa berdalih sedang menciptakan level playing field antara pelaku usaha offline dan online.
Namun, realitasnya lebih kompleks. Tidak semua pelapak daring memiliki skala usaha yang layak dikenai pajak langsung.
Banyak dari mereka bahkan tergolong sebagai usaha ultra-mikro, yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Bila kemudian dipotong otomatis oleh platform, bisa muncul efek kejut yang merusak ekosistem UMKM digital yang sedang tumbuh.
Di sinilah letak tantangan besar kebijakan: bagaimana memastikan bahwa pelaku usaha dengan omzet besar tetap dikenai pajak sesuai porsinya, tetapi pelaku usaha kecil dan mikro tetap terlindungi secara sosial?
Asas kepastian hukum dan administrasi pajak
Platform seperti Shopee dan TikTok sejatinya bukan pemotong pajak dalam pengertian hukum. Mereka bukan pemberi penghasilan (sebagaimana pemberi kerja dalam konteks PPh 21) ataupun pembeli (dalam konteks PPh 22).
Maka menjadikan mereka sebagai pemotong PPh pelapak bisa menimbulkan kerancuan dalam konstruksi hukum perpajakan.
Dari sisi administrasi, kewajiban memotong dan menyetor pajak ke negara mengandung beban administratif yang tidak kecil.
Platform harus membangun sistem internal, memastikan validitas data NPWP pelapak, dan menyampaikan bukti potong.
Apakah semua platform digital memiliki kesiapan sistem dan data yang mumpuni? Belum tentu.
Pengalaman tahun 2019 menjadi pelajaran penting. Saat itu, rencana memotong pajak dari pelapak oleh platform digital sempat ditarik kembali karena resistensi dari pelaku industri dan belum siapnya infrastruktur sistem DJP.
Tanpa perbaikan menyeluruh, kebijakan yang sama akan menemui jalan terjal yang sama.
Salah satu solusi yang lebih masuk akal adalah mendorong platform digital untuk berbagi data penjualan pelapak kepada DJP.
Dengan begitu, DJP tetap dapat mengawasi dan menilai potensi pajak tanpa perlu membebani platform dengan tanggung jawab sebagai pemotong langsung. Ini sejalan dengan pendekatan compliance risk management yang kini dikembangkan DJP.
Selain itu, platform bisa berperan sebagai mitra edukasi perpajakan bagi pelapaknya. Alih-alih memotong paksa, platform dapat memberi notifikasi kepada pelapak tentang kewajiban pajaknya, menyediakan tautan langsung ke aplikasi e-filing, bahkan menyediakan integrasi pembayaran pajak di dalam sistem mereka.
Langkah ini jauh lebih etis, progresif, dan sesuai dengan asas self-assessment yang menjadi prinsip utama sistem pajak kita.
Negara membutuhkan dana untuk membangun. Itu tak bisa disangkal. Namun, pajak yang berhasil bukanlah pajak yang dipungut sebanyak-banyaknya, melainkan pajak yang diterima dengan kesadaran dan dukungan publik.
Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa penerimaan dari sektor digital akan digunakan untuk mendukung UMKM, infrastruktur digital, dan pelayanan publik yang lebih adil.
Di tengah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, pajak harus menjadi alat rekonsiliasi antara negara dan rakyat. Dalam ruang digital yang cepat berubah, pendekatan pajak pun harus cermat, adaptif, dan manusiawi.
Tag: #menakar #pajak #aplikasi #digital #antara #kepastian #hukum #keadilan #ekonomi