



Dikritik Jauh dari Bandung, Mengapa Bandara Kertajati Tetap Dibangun?
- Bandara Kertajati kembali jadi polemik karena terus menerus sepi. Yang terbaru, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut dalam setahun saja, kerugian pengelola bandara ini mencapai Rp 60 miliar.
Padahal nilai investasi yang digelontorkan untuk pembangunan Bandara Kertajati mencapai Rp 2,6 triliun dari APBN. Anggaran ini belum termasuk biaya pembebasan lahan yang berasal dari APBD Jawa Barat.
Sejatinya, bandara ini bahkan sudah jadi polemik sebelum dibangun pada 2015. Ide pembangunan Bandara Kertajati sebenarnya sudah ada sejak lama, yakni di era Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
'
Baru di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), pembangunan Bandara Kertajati kemudian dieksekusi di tengah banyaknya kritik dari berbagai kalangan. Jokowi bahkan memasukan proyek ini dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Bandara Kertajati dikritik terlalu jauh
Salah satu kritik paling mengemuka terkait pembangunan Bandara Kertajati Majalengka adalah soal jaraknya yang dianggap terlalu jauh dari Bandung.
Bila menggunakan Tol Cisumdawu, waktu perjalanan memang lebih cepat yakni antara 1 jam sampai 2 jam perjalanan dari pusat Kota Bandung, dengan jarak kurang lebih 98 kilometer.
Sebagai pembanding, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) yang juga dibangun jauh di pinggiran dan masuk wilayah Kabupaten Kulonprogo, jaraknya menuju ke pusat Kota Yogyakarta sekitar 44 kilometer.
Lalu perbandingan lainnya adalah Bandara Kualanamu di Deli Serdang, jaraknya ke Kota Medan sekitar 40 kilometer.
Alasan pemerintah tetap membangun Bandara Kertajati Majalengka adalah demi proyek pengembangan kawasan yang disebut Rebana Metropolitan.
Kawasan Rebana merupakan rencana sebuah wilayah metropolitan di Jawa Barat yang meliputi tujuh daerah, yaitu Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Subang, dan Sumedang.
Kawasan ini dianggap memiliki potensi untuk menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat bagian timur.
Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 30 Maret 2021, Bandara Kertajati merupakan salah satu kawasan yang masuk dalam Rebana Metropolitan.
Dari 13 kota industri baru yang akan dibangun di Rebana Metropolitan, Kertajati direncanakan akan menjadi kota baru dengan konsep aerocity.
Rebana Metropolitan sendiri diproyeksikan menjadi wilayah pengembangan kawasan industri yang terintegrasi, inovatif, kolaboratif, berdaya saing tinggi, serta berkelanjutan.
Menurut Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023, Ridwan Kamil, saat ini menyebut Rebana Metropolitan diprediksi akan menyumbang satu persen pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, kata Kang Emil, sapaan akrabnya, pemerintah pusat juga mendukung penuh pembangunan Rebana Metropolitan dengan akan menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Cirebon-Patimban-Kertajati atau Kawasan Rebana Metropolitan.
"Tadi Pak Presiden setuju, akan di follow-up melalui Perpres Percepatan Pembangunan untuk menjadi dasar hukum pemerintah pusat melakukan intervensi infrastruktur di kawasan Rebana itu," tuturnya.
Bandara Kertajati sepi
Untuk diketahui saja, luas bandara Kertajati mencapai 1.800 hektare yang terdiri dari 2 runways, area terminal penumpang seluas 121.000 meter persegi. Bandara ini juga dilengkapi dengan area terminal kargo seluas 90.000 meter.
Namun dengan luasan sangat besar itu, nyatanya infrastruktur megah ini menjadi mubazir karena minimnya penerbangan.
Alhasil, PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (Perseroda) atau BIJB sebagai pengelola, harus menanggung kerugian sangat besar.
BIJB merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibentuk oleh Pemprov Jawa Barat pada 24 November 2013.
Mengutip laman resmi BIJB, saham mayoritas perusahaan ini dikuasai Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan porsi sebesar 83,88 persen. Pemegang saham terbesar kedua adalah PT Angkasa Pura II dengan persentase 13,78 persen.
Pemegang saham lainnya di BIJB adalah Kopkar Praja 1,65 persen, dan Jasa Sarana sebesar 0,69 persen. Dua entitas terakhir, pemegang sahamnya juga masih terafiliasi dengan Pemprov Jabar.
Bandara ini awalnya diproyeksikan bisa melayani hingga 12 juta penumpang per tahun hingga 2024, dan diproyeksikan mencapai 29,3 juta penumpang per tahun pada 2032 (Kemenhub, 2023).
Adapun berdasarkan catatan Kompas.com, sepanjang tahun 2024, pergerakan penumpang dari dan menuju Bandara Kertajati sebanyak 413.240 penumpang.
Sebesar 82,8 persen merupakan penerbangan domestik, sementara 17,2 persen merupakan penerbangan internasional.
Artinya bila menggunakan indikator target 12 juta penumpang per tahun, volume penumpang Bandara Kertajati pada 2024, cuma sekitar 3 persen saja.
Bahkan di tahun 2023, jumlah penumpang yang naik turun di bandara ini jauh lebih sedikit, hanya tercatat sebesar 135.535 penumpang.
Tag: #dikritik #jauh #dari #bandung #mengapa #bandara #kertajati #tetap #dibangun