Mau Revisi Garis Kemiskinan, Luhut: Tidak Ada yang Aneh, tapi Memang Harus Diubah
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025).(KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU)
12:12
12 Juni 2025

Mau Revisi Garis Kemiskinan, Luhut: Tidak Ada yang Aneh, tapi Memang Harus Diubah

Dewan Ekonomi Nasional (DEN) tengah mengkaji ulang garis kemiskinan nasional yang saat ini masih sebesar Rp 595.000 per bulan per kapita.

Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, upaya mengkaji ulang garis kemiskinan ini dilakukan karena pihaknya menilai standar yang digunakan saat ini memang harus diubah.

Sebab, garis kemiskinan ini akan menjadi acuan pengitungan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata jumlah penduduk miskin di Indonesia sehingga akan digunakan pemerintah untuk menentukan penerima program-program stimulus ekonomi pemerintah seperti makan bergizi gratis dan food estate.

"Jadi bukan menandakan tidak baik, tapi memang angka ini setelah perubahannya harus betul-betul dilihat lagi. Dan itu saya kira sudah kita siapkan laporannya pada Presiden. Tidak ada yang aneh disini, tapi harus memang dilakukan perubahan," ujarnya saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025).

Dia menegaskan, pengkajian juga tidak dilakukan secara mendadak karena sudah menjadi pembicaraan oleh DEN dan BPS beberapa waktu lalu.

Saat ini DEN tengah menyiapkan laporan pengkajian garis kemiskinan baru untuk dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto.

Meski masih belum dapat dipastikan, Luhut memperkirakan, kemungkinan kajian garis kemiskinan yang baru dapat diumumkan tahun ini karena data kajiannya saat ini sudah cukup lengkap.

"Sehingga kita tidak perlu kaget-kaget, kita berharap nanti mungkin kalau Presiden setuju, angka-angkanya bisa keluar nanti dan pidato Presiden mungkin akan lebih mencerminkan angka yang sebenarnya," tukasnya.

Bakal Direvisi Menjadi Rp 765.000 Per Bulan

Sebelumnya, Anggota DEN Arief Anshory Yusuf menilai, garis kemiskinan nasional yang digunakan BPS saat ini sudah tidak lagi relevan, sehingga perlu dinaikkan menjadi Rp 765.000 per kapita per bulan.

Arief menjelaskan, garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini, yakni sebesar Rp 595.000 per bulan, hanya sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional yang sebesar Rp 546.400 per bulan.

Hal ini mengindikasikan bahwa standar penghitungan kemiskinan di Indonesia terlalu rendah. Mengingat Indonesia merupakan negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country/UMIC) sejak 2023, dengan Gross National Income (GNI) per kapita mencapai 4.580 dollar AS.

"Dengan jarak kurang dari Rp 50.000 per bulan (dengan garis kemiskinan ekstrem internasional), ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, dikutip Kamis (12/6/2025).

Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan nasional dapat menciptakan ilusi kemajuan dan berisiko menyesatkan arah kebijakan karena tidak mencerminkan kondisi riil di masyarakat.

Namun, di sisi lain, dia menilai kondisi Indonesia yang baru saja masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas masih belum sesuai jika harus mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas.

Pasalnya, GNI per kapita Indonesia yang sebesar 4.580 dollar AS lebih mendekati batas bawah garis kemiskinan bagi negara berpendapatan menengah ke atas yang sebesar 4.466 dollar AS.

Oleh karenanya, Arief mengusulkan agar Indonesia meramu standar garis kemiskinan sendiri mengikuti standar negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country/LMIC) dari Bank Dunia (World Bank), yakni 4,20 dollar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 765.000 per bulan.

"Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini Rp 595.000, namun masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas (UMIC) sebesar Rp 1,5 juta," ungkapnya.

Tag:  #revisi #garis #kemiskinan #luhut #tidak #yang #aneh #tapi #memang #harus #diubah

KOMENTAR