OECD Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), melambat dibandingkan capaian pada kuartal IV-2024 yang tumbuh 5,02 persen dan kuartal I-2024 yang tumbuh 5,11 persen.(PEXELS/TOM FISK)
19:08
5 Juni 2025

OECD Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025.

Dalam laporan OECD Economic Outlook Edisi Maret 2025, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas sebesar 0,3 persen dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen.

Selanjutnya, pada edisi Juni 2025, proyeksi tersebut kembali dipangkas sebesar 0,2 persen, menjadi 4,7 persen.

"Pertumbuhan PDB riil diperkirakan melambat menjadi 4,7% pada tahun 2025 sebelum sedikit meningkat menjadi 4,8% pada tahun 2026," tulis OECD dalam laporan tersebut, yang dikutip pada Kamis (5/6/2025).

Pemangkasan proyeksi ini disebabkan oleh pelemahan sentimen bisnis dan konsumen di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal serta tingginya biaya utang, yang diperkirakan akan membebani konsumsi dan investasi swasta pada Semester I 2025.

Namun, OECD memperkirakan permintaan domestik Indonesia akan meningkat secara bertahap selama paruh kedua 2025 dan 2026, seiring dengan kondisi keuangan yang membaik, inflasi yang tetap dalam kisaran target Bank Indonesia (BI), dan momentum pengeluaran investasi publik dari dana kekayaan negara.

Di sisi lain, OECD memperingatkan bahwa eskalasi ketegangan perdagangan global dan penurunan harga komoditas dapat membebani permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.

Inflasi diperkirakan akan meningkat secara bertahap ke titik tengah kisaran target BI, seiring dengan memudarnya efek diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang diterapkan pada awal tahun ini dan depresiasi mata uang rupiah yang mempengaruhi harga domestik.

"Risiko cenderung menurun. Arus keluar modal yang terus-menerus didorong oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat memberikan tekanan baru pada mata uang, yang berpotensi menyebabkan pelebaran sementara defisit transaksi berjalan dan memicu inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi," jelas OECD.

Perlambatan yang lebih besar dari yang diperkirakan di China, sebagai pasar ekspor terbesar Indonesia, juga dapat semakin membebani kinerja ekspor, terutama di sektor komoditas.

Namun, penyebaran dana kekayaan negara secara cepat dan efektif dapat mengkatalisasi investasi swasta dan mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur yang berdampak tinggi.

Menanggapi pemangkasan proyeksi ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa hampir seluruh negara di dunia saat ini tengah mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pelemahan perdagangan global yang disebabkan oleh pengenaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS).

"Diprediksi beberapa negara itu pertumbuhannya akan terpotong dari 0,5 persen sampai dengan 0,7 persen," ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (4/6/2025).

Untuk memitigasi dampak dari tarif resiprokal AS, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini banyak dikontribusi oleh konsumsi rumah tangga.

 

Airlangga mengungkapkan bahwa pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif ekonomi, termasuk diskon tarif listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025, diskon tarif tol, dan bantuan subsidi upah (BSU).

Pada Juni-Juli 2025, pemerintah menerapkan lima insentif ekonomi, yang meliputi diskon transportasi umum, diskon tarif tol, bantuan sosial pangan, bantuan subsidi upah (BSU), dan perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Total biaya untuk kelima insentif ini diperkirakan mencapai Rp 24,44 triliun, dengan APBN menanggung Rp 23,59 triliun, sedangkan dua program lainnya dibiayai melalui skema non-APBN.

"Diharapkan ini bisa menjaga terhadap industri-industri yang juga padat karya yang juga terdampak kepada ekspor ke Amerika," ucapnya. "Kami juga monitor dari berbagai negara di OECD yang sebagian besar juga membuat paket-paket agar bisa menjaga daya beli masyarakatnya dalam situasi seperti sekarang," imbuhnya.

Tag:  #oecd #kembali #pangkas #proyeksi #pertumbuhan #ekonomi #indonesia #tahun

KOMENTAR