Masih Perlukah Pemutihan Pajak?
Warga antre pemutihan pajak di Samsat III Krapyak Semarang, Jawa Tengah. (KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf)
08:08
9 Mei 2025

Masih Perlukah Pemutihan Pajak?

PEMUTIHAN pajak kendaraan seakan telah menjadi program rutin yang digelar tahunan di banyak daerah. Sepanjang Mei ini saja, sebanyak 15 provinsi tercatat menjalankan kebijakan relaksasi pajak tersebut (Kompas.com, 30/4/2025).

Di Provinsi Banten, misalnya, program pemutihan pajak telah berjalan sejak 10 April dan dijadwalkan berakhir pada 30 Juni mendatang.

Diatur lewat Keputusan Gubernur No. 170/2025, keringanan yang diberikan tidak hanya penghapusan sanksi keterlambatan saja, tapi juga pokok tunggakan dari tahun 2024 dan sebelumnya.

Selain Banten, program pemutihan juga digelar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Aceh. Kebijakannya beragam, mulai dari diskon pajak, pembebasan dari tarif progresif untuk pemilik kendaraan lebih dari satu unit, hingga penghapusan sanksi keterlambatan.

Beberapa provinsi yang saat ini menggelar pemutihan pajak sebenarnya sudah pernah melangsungkan program serupa dalam waktu dekat.

Di Banten, pemutihan pajak sebelumnya baru selesai pada akhir 2024 lalu. Sepanjang 4 Oktober hingga 31 Desember 2024, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten membebaskan denda dan pokok tunggakan pajak kendaraan yang telah lewat empat tahun atau lebih.

Pemprov Jawa Tengah juga baru menyelesaikan program pemutihan pajak pada Desember 2024. Saat ini, pemutihan kembali digelar hingga 30 Juni mendatang, dengan insentif penghapusan denda dan pokok tunggakan pajak kendaraan.

Rutinnya pemerintah daerah menjalankan pemutihan sebenarnya berisiko menimbulkan miskonsepsi di masyarakat. Pemutihan pajak seakan dipersepsikan sebagai program yang harus ada setiap tahun. Padahal, kenyataannya tidak harus demikian.

Pemberian fasilitas keringanan pajak sebenarnya merupakan wewenang, bukan kewajiban bagi pemerintah daerah. Ketentuannya diatur dalam Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Mispersepsi tersebut membuat Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, kini menghadapi gugatan dari seorang warga Kabupaten Lamongan.

Gugatannya timbul karena ketiadaan program pemutihan pajak di provinsi tersebut di saat banyak provinsi lain justru menyelenggarakan (Kompas.com, 1/5/2025).

UU HKPD sebenarnya memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan sendiri terkait relaksasi fiskal, termasuk program pemutihan pajak.

Artinya, pemerintah provinsi boleh saja tidak menggelar program pemutihan pajak, meskipun berbagai daerah lain melaksanakannya.

Di Jakarta, Gubernur Pramono Agung menegaskan tidak akan menggelar pemutihan bagi penunggak pajak kendaraan. Pernyataan tersebut disampaikan saat menghadiri Halalbihalal PWNU Jakarta pada 27 April lalu (Kompas.com, 28/4/2025).

Sebaliknya, Pemprov DKI Jakarta justru tengah menyusun strategi untuk mengejar penunggak pajak kendaraan.

Salah satunya melalui sistem barcode yang akan mengecek status pajak kendaraan saat menggunakan sejumlah fasilitas publik seperti pengisian bahan bakar, parkir, hingga masuk jalan tol (Kompas.id, 30/4/2025).

Langkah tegas Pemprov DKI Jakarta tersebut patut diapresiasi. Pasalnya, program pemutihan pajak sebenarnya tidak selalu menguntungkan semua pihak.

Pemutihan pajak memang memiliki manfaat tersendiri bagi pemerintah daerah karena menjadi cara cepat untuk mencetak aliran kas dan pendapatan daerah.

Jumlah penunggak pajak kendaraan yang masih tinggi di banyak daerah membuat nilai potensi pendapatannya sangat besar. Di Jawa Tengah, misalnya, tunggakan pajak kendaraan diperkirakan mencapai hampir Rp 2,8 triliun (Kompas.com, 30/3/2025).

Pemutihan kemudian menjadi program yang terbilang efektif untuk merealisasikan penerimaan dari tunggakan tersebut.

Di Banten, program pemutihan yang sudah berjalan sejak 10 April, berhasil mencetak pendapatan daerah senilai Rp 237 miliar dalam waktu kurang dari tiga pekan.

Pemutihan juga menjadi insentif yang memotivasi pemilik kendaraan untuk melunasi pajak yang telah ditunggak, meskipun telah lewat beberapa tahun.

Pemutihan bea balik nama, salah satunya, mendorong pembeli kendaraan bekas untuk mendaftarkan kembali kendaraan yang selama ini masih terdaftar atas nama pemilik lamanya tanpa khawatir dikenai denda karena pajak kendaraan yang telah mati untuk waktu yang lama.

Dari hal ini, pemerintah daerah memperoleh manfaat karena dapat memutakhirkan basis data pemilik kendaraan. Hasilnya, kendaraan yang telah lama mati pajaknya akhirnya kembali masuk ke sistem pengawasan.

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) kemudian dapat mengawasi lebih efektif, misalnya dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Kewajiban Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (SPKP2KB) ke alamat dan nama pemilik yang telah diperbarui.

Manfaat pemutakhiran data tersebut juga ikut berdampak pada efektivitas penerapan tilang elektronik. Pendaftaran ulang kendaraan bekas mencegah pengiriman surat konfirmasi tilang yang salah sasaran ke pemilik lama karena plat nomor atau data pemilik yang belum diperbarui.

Di sisi lain, bagi pemilik kendaraan, manfaat pemutihan pajak juga jelas. Penyelesaian masalah pajak kendaraan yang menghadapi tunggakan dapat dilakukan dengan denda dan pokok yang lebih ringan dibanding jika dibayar tanpa ada pemutihan.

Meski demikian, pemutihan pajak tidak selalu adil bagi semua orang. Pemutihan seakan memberikan insentif bagi pemilik kendaraan yang tidak patuh pajak. Padahal, pemilik yang rutin membayar pajak tepat waktu justru jarang sekali mendapat insentif.

Berbagai keringanan pemutihan seakan menjadi amnesti yang membebaskan penunggak pajak atas pokok tunggakan dari beberapa tahun yang telah lalu. Padahal, masyarakat yang patuh justru harus datang dan membayar pajak kendaraannya setiap tahun.

Program pemutihan yang dilaksanakan berulang juga dapat merugikan pemerintah daerah. Dalam jangka panjang, risiko moral (moral hazard) dapat timbul yang justru bisa membuat kepatuhan masyarakat turun setidaknya karena dua alasan.

Alasan pertama, pemutihan pajak yang diselenggarakan rutin setiap tahun dapat membuat masyarakat berekspektasi programnya akan kembali dilaksanakan di masa mendatang.

Akibatnya, pemilik kendaraan yang dari awal tidak patuh mungkin akan tetap menunda kewajibannya karena yakin dapat terus memanfaatkan pemutihan untuk menghindari denda yang besar.

Jika demikian, maka pemutihan pajak hanya akan efektif mendorong kepatuhan dari kalangan pemilik kendaraan yang sebenarnya memang ingin patuh, hanya saja menghadapi keterbatasan finansial untuk membayar pajaknya.

Fenomena ini biasanya terjadi pada pembeli kendaraan bekas yang status pajaknya telah mati beberapa tahun. Pembeli sebenarnya ingin menyelesaikan urusan pajak kendaraannya, namun terhambat oleh denda yang terlanjur tinggi akibat kelalaian pemilik kendaraan sebelumnya.

Sementara itu, pemilik kendaraan yang memang tidak termotivasi patuh pajak mungkin tidak akan terlalu menggubris program pemutihan. Terlebih lagi, sistem pengawasan pajak daerah cenderung masih kesulitan mengatasi ketidakpatuhan pajak kendaraan.

Alasan kedua, pemutihan menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik kendaraan yang patuh pajak. Penghapusan sanksi denda, misalnya, memungkinkan penunggak pajak membayar dengan jumlah yang sama dengan pemilik kendaraan yang rutin membayar pajak tepat waktu setiap tahun.

Bahkan, penghapusan pokok tunggakan untuk tahun-tahun lampau bisa membuat penunggak pajak membayar dalam jumlah total yang lebih kecil jika dihitung secara kumulatif dari tahun ke tahun.

Ketimpangan ini dapat menurunkan motivasi pemilik kendaraan yang semula patuh dan justru terdorong untuk ikut menunggak pajak lalu memanfaatkan pemutihan untuk menghindari dendanya yang akan timbul.

Dua alasan ini menunjukkan bahwa pemutihan pajak yang berulang bukan hanya tidak efektif mendorong kepatuhan penunggak pajak, tapi juga berisiko menambah jumlah penunggak pajak yang telah ada.

Provinsi Jawa Barat, misalnya, mencatat ada 6 juta kendaraan yang menunggak pajak pada 2023. Kemudian, setelah pemutihan dijalankan pada Oktober hingga November 2024, jumlah penunggak pajaknya tetap tinggi, yakni 5,4 juta kendaraan.

Sementara itu, di Banten, pemutihan pajak sepanjang April lalu baru mencatat keikutsertaan 160.000 kendaraan dari total 2,3 juta kendaraan yang diperkirakan menunggak pajak.

Dibutuhkan alternatif yang lebih baik daripada pemutihan untuk menyelesaikan masalah ketidakpatuhan pajak kendaraan. Resolusinya harus tidak hanya efektif, tapi juga adil bagi masyarakat yang patuh pajak kendaraan.

Salah satu solusinya adalah memperkuat kewajiban Bapenda untuk menjalankan penagihan aktif kepada penunggak pajak kendaraan.

Proses penagihan aktif seperti penyampaian surat tagihan umum dilakukan pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikelola pemerintah pusat, namun masih minim terjadi di pajak daerah.

Keterbatasan sumber daya sering kali membuat pemerintah kesulitan mengatasi penunggak pajak yang jumlahnya banyak. Pegawai Bapenda yang umumnya hanya ratusan orang harus menghadapi jumlah kendaraan menunggak pajak yang bisa mencapai jutaan unit.

Sanksi yang berdampak langsung pada aktivitas penunggak pajak sebenarnya bisa jadi cara yang koersif, tapi efektif. Dengan demikian, sanksinya di luar sebatas berupa denda yang berefek finansial saja.

Rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan sistem barcode sebenarnya dapat menimbulkan efek jera bagi penunggak pajak. Selain itu, tidak ada implikasi ketidakadilan yang akan dirasakan pemilik kendaraan yang patuh membayar pajak tepat waktu setiap tahun.

Namun, pada 2023, Pemprov Jawa Barat sempat mewacanakan program serupa, yakni melarang pembelian bahan bakar di SPBU oleh kendaraan yang kedapatan belum membayar pajak (Kompas.com, 22/11/2023). Hingga kini, rencana tersebut tidak pernah terealisasi.

Ada banyak cara lain yang juga dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi ketidakpatuhan pajak kendaraan selain cara yang sifatnya koersif.

Upaya persuasif bisa ditempuh sehingga setidaknya kesukarelaan membayar pajak dapat terbangun di masyarakat.

Contohnya, pemerintah daerah dapat mempertimbangkan penerapan tarif yang lebih rendah dan memangkas besaran tarif progresif untuk jenis kendaraan roda dua.

Hingga kini, salah satu upaya persuasif yang telah diterapkan adalah pembebasan bea balik nama kendaraan bekas. Tujuannya untuk mendorong masyarakat segera mendaftarkan kendaraan agar datanya tidak lagi terkait pada pemilik lama.

Pemerintah daerah sebenarnya memiliki beragam alternatif untuk mendorong kepatuhan pajak kendaraan. Dengan demikian, ketergantungan pada program pemutihan dapat dikurangi guna mencegah dampak merugikan, baik bagi masyarakat yang selama ini taat pajak maupun pemerintah daerah itu sendiri.

Tag:  #masih #perlukah #pemutihan #pajak

KOMENTAR