Surplus Neraca Dagang Indonesia Berpotensi Terpangkas 20 Persen Gara-gara Tarif Trump, Sektor Padat Karya Terpukul Berat
ILUSTRASI. Sejumlah pekerja beraktivitas di pabrik pengepakan Minyakkita setelah sidak dari Satgas Pangan Polri di PT Jujur Sentosa, Batuceper, Kota Tangerang, Rabu (12/3). (Hanung Hambara/Jawapos)
15:36
22 April 2025

Surplus Neraca Dagang Indonesia Berpotensi Terpangkas 20 Persen Gara-gara Tarif Trump, Sektor Padat Karya Terpukul Berat

 

- Indonesia diperkirakan mencatat defisit transaksi berjalan yang moderat pada 2025. Meskipun risiko perlambatan ekonomi global dan tekanan eksternal seperti tarif perdagangan dari Amerika Serikat (AS) berpotensi menambah tantangan ke depan. 

Dalam analisis DBS Group Research, Senior Economist DBS Bank Radhika Rao menyatakan, dengan asumsi penurunan surplus perdagangan barang sebesar 20 persen dan defisit berlanjut pada sektor barang tak terlihat, defisit diperkirakan melebar sedikit menjadi -0,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2025. Dari sisi pembiayaan, akan ditopang oleh arus masuk investasi langsung asing yang masih kuat. 

"Meskipun FDI (Foreign Direct Investment) menunjukkan tren perlambatan sejak 2024. Arus portofolio juga diperkirakan akan masuk secara moderat," ungkapnya, Senin (21/4).

Secara keseluruhan, surplus neraca pembayaran Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai hanya seperlima dari rata-rata enam tahun terakhir. Mencerminkan tantangan eksternal yang kian kompleks. 

Sementara itu, cadangan devisa (cadev) Indonesia sebesar USD 157,1 miliar per akhir Maret 2025 lalu. Peningkatan ini terjadi meskipun bank sentral melakukan intervensi cukup besar di pasar valuta asing. DBS menyebut bahwa kenaikan cadangan juga ditopang oleh penarikan pinjaman luar negeri oleh sektor publik dan dana hasil repatriasi ekspor.

Namun, ancaman baru muncul dari sisi perdagangan internasional, menyusul penetapan tarif antara Indonesia dan AS sebesar 32 persen. Meski demikian, penundaan peluncuran tarif selama 90 hari setidaknya memberi ruang napas. Bahkan ketika tarif dasar 10 persen tetap berlaku.

Penetapan itu mempertimbangkan kesenjangan neraca perdagangan. Bukan hanya karena perbedaan tarif bilateral. "DBS mencatat ekspor Indonesia ke AS sekitar 2 persen dari PDB," kata Radhika. 

Ekspor utama Indonesia ke AS meliputi tekstil, makanan laut, alas kaki, minyak kelapa sawit, dan elektronik. Sektor-sektor tersebut merupakan padat karya yang memiliki eksposur sangat besar terhadap ancaman tarif. Artinya, ada risiko nyata bahwa dampaknya terhadap unit-unit manufaktur lokal dapat meningkat lebih lanjut.

"Sektor-sektor tersebut, yang sudah menghadapi risiko dari perlambatan produksi global dan tekanan deflasi dari ekspor Tiongkok, kini berpotensi semakin tertekan jika tarif diberlakukan secara menyeluruh," bebernya. 

Jika tarif tinggi benar-benar diberlakukan, Radhika memperkirakan, akan berdampak langsung sebesar 0,5 persen PDB terhadap pertumbuhan tahun ini. Yang kemudian berlanjut mengikis 0,25 persen pertumbuhan ekonomi di 2026. Efek lanjutan dari pertumbuhan global yang lemah juga akan memperburuk situasi.

"Dalam ekonomi global yang rapuh, kami memperkirakan para pembuat kebijakan domestik akan meningkatkan upaya untuk mendorong permintaan," ucap Radhika. Kebijakan fiskal dan moneter kemungkinan akan memainkan peran lebih besar dalam menopang pertumbuhan.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #surplus #neraca #dagang #indonesia #berpotensi #terpangkas #persen #gara #gara #tarif #trump #sektor #padat #karya #terpukul #berat

KOMENTAR