Mengapa Hubungan Justru Diuji Menjelang Pernikahan? Ini Penyebab dan Cara Menjaganya
Ilustrasi hubungan diuji menjelang pernikahan (Dok. Freepik)
20:44
8 Juni 2025

Mengapa Hubungan Justru Diuji Menjelang Pernikahan? Ini Penyebab dan Cara Menjaganya

- Pernikahan seharusnya menjadi puncak kebahagiaan dalam sebuah hubungan, tetapi kenyataan sering kali berkata lain.   Tidak sedikit pasangan yang justru merasa hubungannya diuji secara emosional maupun mental menjelang hari besar tersebut.   Rasa ragu, konflik kecil yang membesar, hingga pertanyaan tentang masa depan kerap kali muncul tanpa diduga.   Fase menjelang pernikahan adalah masa transisi yang kompleks. Dua individu yang selama ini menjalin hubungan dalam suasana romantis mulai dihadapkan pada kenyataan kehidupan bersama yang lebih nyata.  

  Dalam artikel ini, Anda akan memahami alasan di balik ketegangan menjelang pernikahan, serta menemukan cara menjaga keharmonisan cinta tidak hanya sampai hari H, tetapi setiap hari setelahnya.   Berikut penyebab dan cara menjaganya yang dilansir dari kanal YouTube Peci Hitam pada Minggu (08/06).   1. Ekspektasi yang Meningkat, Tekanan yang Tak Terelakkan   Banyak pasangan merasa lebih sering bertengkar setelah lamaran bukan karena cinta memudar, melainkan karena ekspektasi yang kian tinggi.   Ketika hubungan memasuki fase menuju pernikahan, harapan terhadap pasangan pun meningkat.   Kita menginginkan sosok yang lebih matang, stabil, dan penuh tanggung jawab, tanpa menyadari bahwa pasangan juga tengah mengalami tekanan serupa.   Ekspektasi yang tidak disadari bisa menciptakan beban emosional yang besar. Hal-hal kecil yang dulu bisa ditoleransi kini menjadi pemicu konflik.   Gaya berbicara, kebiasaan harian, hingga cara membuat keputusan bisa menjadi sumber ketegangan yang tak terduga.   Tanpa komunikasi yang terbuka, gesekan ini mudah berkembang menjadi pertengkaran yang melelahkan.   Menyadari bahwa ekspektasi sering kali bersumber dari ketakutan dalam diri sendiri adalah langkah penting.   Ketakutan akan masa depan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan bisa memicu stres yang membuat hubungan terasa jauh.   Mengelola harapan dan membuka dialog jujur bisa menjadi cara untuk meredam konflik yang muncul dari ekspektasi yang tak realistis.   2. Konflik Bukan Tanda Gagal, Tetapi Ujian Kematangan Emosi   Konflik yang muncul menjelang pernikahan bukanlah sinyal bahwa hubungan Anda gagal.   Sebaliknya, itu adalah ujian penting untuk mengukur kedewasaan dalam mengelola emosi dan komunikasi.   Ketika dua individu berusaha menyatukan dua cara hidup, pasti akan ada gesekan. Justru dari gesekan inilah muncul kesempatan untuk tumbuh dan memahami satu sama lain lebih dalam.   Konflik yang sehat bukanlah konflik yang dihindari, melainkan yang dihadapi dengan keterbukaan dan refleksi.   Saat Anda merasa terganggu, berhentilah sejenak sebelum bereaksi. Tanyakan pada diri sendiri: apa sebenarnya yang saya rasakan? Apa yang ingin saya sampaikan, dan bagaimana saya bisa menyampaikannya tanpa menyalahkan pasangan?   Dengan membangun komunikasi reflektif, Anda membantu menciptakan ruang aman dalam hubungan.   Respons yang berasal dari keinginan untuk memahami, bukan sekadar mempertahankan ego, akan memperkuat ikatan.   Sebuah pertengkaran yang dihadapi dengan bijak justru bisa mempererat cinta karena memperlihatkan kesediaan untuk bertumbuh bersama.   3. Keraguan yang Muncul Adalah Hal Wajar dan Sehat   Rasa ragu menjelang pernikahan sering kali dianggap sebagai pertanda buruk. Padahal, dalam banyak kasus, keraguan adalah reaksi psikologis yang normal ketika seseorang menghadapi perubahan besar dalam hidup.   Otak manusia memiliki bagian bernama amigdala yang merespons ancaman, bahkan jika itu hanya dalam bentuk kekhawatiran imajinatif.   Saat membayangkan masa depan yang belum pasti, tubuh bisa bereaksi seolah-olah sedang menghadapi bahaya nyata.   Gejala seperti jantung berdebar, emosi tidak stabil, atau pikiran yang kacau bukan selalu tanda hubungan bermasalah.   Bisa jadi itu hanya sinyal bahwa Anda sedang menghadapi ketidakpastian, dan itu manusiawi.   Alih-alih memendam keraguan, gunakan momen ini untuk berdialog. Ajak pasangan membahas ketakutan dan harapan secara terbuka.   Dengan membicarakan hal-hal yang sering disembunyikan, Anda justru memperkuat fondasi hubungan.   Pernikahan bukan tentang meniadakan rasa ragu, tetapi tentang keberanian untuk berjalan bersama meski rasa itu ada.   4. Cinta Bukan Hanya Perasaan, Tapi Juga Keputusan Bertumbuh Bersama   Cinta yang dewasa bukan hanya tentang rasa nyaman dan romantisme.   Menurut psikolog Scott Peck, cinta sejati adalah keputusan sadar untuk bertumbuh bersama pasangan dalam berbagai kondisi.   Hubungan yang langgeng membutuhkan komitmen, bukan hanya emosi sesaat.   Dalam kehidupan nyata, pasangan akan terus berubah. Karakter, kebutuhan, hingga prioritas bisa bergeser seiring waktu.   Maka, diperlukan kemauan untuk terus mengenali ulang pasangan Anda setiap hari.   Cinta menjadi tanggung jawab bersama untuk terus menjaga kedekatan dan memahami perubahan yang terjadi.   Ketika Anda menyadari bahwa cinta adalah keputusan, Anda akan lebih siap menerima kekurangan pasangan dan merawat hubungan secara aktif.   Ini bukan berarti mengabaikan masalah, tetapi memilih untuk menghadapi tantangan sebagai tim.   Dengan pola pikir seperti ini, cinta bisa terus tumbuh bahkan setelah tahun-tahun pernikahan berlalu.   5. Bangun Komunikasi yang Reflektif, Bukan Reaktif   Salah satu penyebab utama konflik menjelang pernikahan adalah komunikasi yang reaktif.   Ketika pasangan merespons dengan emosi sesaat, pertengkaran kecil mudah membesar.   Komunikasi reflektif adalah kunci agar hubungan tetap sehat dan penuh pengertian.   Cobalah untuk menunda reaksi saat terganggu. Tarik napas dan renungkan, apa sebenarnya yang membuat Anda terganggu? Gunakan bahasa yang menyampaikan perasaan dan kebutuhan, bukan tuduhan.   Misalnya, daripada berkata "Kamu selalu tidak peduli", lebih baik katakan "Akhir-akhir ini aku merasa kurang diperhatikan, aku butuh waktu berdua tanpa gangguan."   Pendekatan ini, yang dikenal sebagai nonviolent communication, membantu mencegah konflik berkembang menjadi pertengkaran destruktif.   Dengan berkomunikasi secara empatik, pasangan akan merasa lebih dihargai dan didengar.   Hal ini menciptakan kedekatan emosional yang menjadi fondasi penting dalam pernikahan.   6. Kebiasaan Kecil yang Konsisten Menjaga Kehangatan Cinta   Hubungan yang harmonis bukan hanya dibentuk oleh momen-momen besar seperti liburan romantis atau kejutan mewah.   Justru, kehangatan dalam hubungan dibangun dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.   Sapaan hangat, pelukan spontan, atau ucapan terima kasih memiliki dampak besar terhadap kedekatan emosional.   Penelitian oleh John Gottman menunjukkan bahwa pasangan yang bahagia memiliki rasio 5:1 antara interaksi positif dan negatif.   Artinya, untuk setiap satu konflik, harus ada lima interaksi positif agar hubungan tetap sehat.   Ini membuktikan bahwa perhatian kecil yang terus-menerus lebih penting daripada satu tindakan besar yang jarang terjadi.   Menjaga kebiasaan positif adalah salah satu bentuk merawat cinta. Dengan menghargai setiap momen kecil bersama pasangan, Anda sedang memperkuat koneksi emosional yang akan menjadi penyangga saat badai datang.   Konsistensi dalam menunjukkan kasih sayang membuat cinta tumbuh tanpa disadari.   7. Dialog Terbuka: Kunci Memahami dan Menjaga Hubungan   Sering kali, konflik menjelang pernikahan muncul karena kurangnya dialog yang terbuka dan jujur.   Banyak pasangan merasa takut mengungkapkan kekhawatiran karena khawatir menyinggung atau merusak suasana.   Padahal, keterbukaan adalah fondasi yang memungkinkan dua orang saling memahami secara mendalam.   Mulailah dengan pertanyaan reflektif seperti, "Apa yang paling kamu takutkan setelah menikah?" atau "Apa harapan terbesarmu tentang kehidupan kita nanti?" Pertanyaan semacam ini membuka ruang untuk diskusi yang membangun, bukan perdebatan.   Anda dan pasangan bisa saling belajar, bukan hanya tentang impian, tetapi juga tentang luka dan kekhawatiran masing-masing.   Dialog yang jujur memang berisiko memicu ketegangan, tetapi justru dari situ kepercayaan tumbuh.   Saat Anda merasa didengar dan dipahami, rasa aman dalam hubungan akan meningkat. Dengan demikian, cinta tidak hanya menjadi kata, tetapi juga pengalaman yang nyata dan tumbuh bersama waktu.  

Editor: Candra Mega Sari

Tag:  #mengapa #hubungan #justru #diuji #menjelang #pernikahan #penyebab #cara #menjaganya

KOMENTAR