Musuh Bebuyutan dan Suara-Suara Keresahan Rakyat
MEMOTRET REALITAS: Seniman Butet Kartaredjasa (kanan) dan komedian Cak Lontong (kiri) dalam pementasan Musuh Bebuyutan di Taman Budaya Jogja Selasa (23/1) lalu. (GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA)
10:28
28 Januari 2024

Musuh Bebuyutan dan Suara-Suara Keresahan Rakyat

Suhu politik menjelang Pemilu 2024 memang menghangat. Politik tak hanya dibahas segelintir elite di gedung berpendingin ruangan. Kasak-kusuk politik juga hadir di warung kopi, pasar, kafe, dan tentu panggung seni pertunjukan.

SENIMAN Butet Kartaredjasa bersama Indonesia Kita kembali mementaskan lakon berjudul Musuh Bebuyutan. Selasa (23/1) dan Rabu (24/1) lalu, Musuh Bebuyutan dipanggungkan di Hall Taman Budaya Jogja setelah akhir tahun lalu naskah yang sama ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Meski naskahnya sama, menurut Butet, pementasan di Jogja lebih bebas dan merdeka. ’’Sebagaimana diketahui saat dimainkan Desember lalu, ada suatu intimidasi dari institusi kepolisian. Harus tanda tangan surat pernyataan tidak bicara politik. Ternyata Polda Jogja lebih asyik. Tiga minggu lalu dapat izin tanpa syarat apa pun, tanpa tanda tangan yang aneh-aneh, dan pentas seperti biasa saja,” jelas Butet saat ditemui di Taman Budaya pada Selasa (23/1) malam.

Pementasan kali ini tetap menyajikan jalan cerita yang sama. Musuh Bebuyutan bercerita tentang peristiwa politik di sebuah desa. Berupa perselisihan seorang pemuda dan perempuan yang berawal dari perbedaan pilihan politik.

Awalnya kedua insan memiliki hubungan bertetangga yang baik. Hingga akhirnya, keduanya mencalonkan diri untuk berkontestasi politik. Ujungnya, suasana kampung menjadi tak kondusif dan muncul perselisihan antarwarga.

’’Ide pementasan sangat luas, penuh improvisasi, dan selalu merespons isu hangat di kenyataan sosial kita. Dari Desember sampai tadi malam (Selasa, 23/1, Red) banyak peristiwa yang sangat inspiratif menyebabkan ide yang bertaburan direspons para pemain dengan kejenakaan,” kata Butet.

Pernyataan Butet itu dikuatkan dengan penjiwaan para pemerannya. Dalam pementasan di Jogjakarta, Musuh Bebuyutan menghadirkan formasi tak jauh berbeda dengan di Jakarta. Selain Butet, ada Cak Lontong, Oppie Andaresta, Akbar, Inayah Wahid, Bonita, Yu Ningsih, Marwoto, Susilo Nugroho, dan Wisben.

Celotehan-celotehan para pemeran memang terkesan spontanitas. Misalnya, gaya Inayah Wahid yang kerap mengangkat fenomena dan dinamika kekinian menjadi materi dalam pementasan. Lalu, dialog perselisihan antara Marwoto dan Susilo Nugroho yang seakan mewakili ’’keributan’’ khas wong cilik.

Sutradara sekaligus penulis skenario Agus Noor mengaku tak mengusung naskah dialog yang kaku dan saklek dalam pementasan tersebut. Setiap peran dituntut mampu berimprovisasi dengan sesama pemainnya. Tentunya dengan merespons secara spontan dialog yang dilontarkan.

’’Pokoknya, kembangkan (dialog) karena semangatnya tidak ada naskah. Ada cerita, lalu diskusi kontennya. Ketika dialog nyaman, akhirnya lanjut,” ujarnya.

Agus Noor menuturkan, lakon itu dipersiapkan sejak 2011. Berawal dari kegelisahan mendiang Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Agus Noor atas kondisi perpolitikan di Indonesia. Demi meraih suara terbanyak hingga mengorbankan rasa kemanusiaan dan mengedepankan kampanye hitam.

’’Saat itu 2011 ada konflik sosial, ada politik integritas yang kuat waktu pemilihan gubernur, lalu black campaign. Kami cemas, lalu buat kegiatan kebudayaan menyuarakan keresahan melalui seni pertunjukan. Dan, dalam pertunjukan itu kami mencoba terbuka kepada semua orang karena kami percaya Indonesia lahir dibentuk negara yang majemuk dan toleran,” kata Agus.

Pementasan itu, menurut musisi Oppie Andaresta, adalah pengalaman baru buatnya. Terutama soal minimnya naskah dan mengandalkan improvisasi para pemainnya. ’’(Pementasan) ini beda sekali karena saya beberapa kali juga ikut Bengkel Teater Rendra. Di Bengkel Teater masa persiapan dan latihan tiga bulan, kemudian pemanggungan dua kali. Kalau ini, latihan dua kali, manggungnya tiga kali,” terang Oppie. ’’Ada naskah, tapi minimalis sekali sehingga tantangannya para pemain harus berpikir cepat dan pintar ngarang,” tambah pelantun Bidadari Badung itu. (dwi/c7/dra)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #musuh #bebuyutan #suara #suara #keresahan #rakyat

KOMENTAR