



Soal Aturan Pajak Toko Online, Ditjen Pajak Buka Suara
- Pemerintah akan memungut pajak dari toko online di e-commerce,seperti Tokopedia, Shopee, Shop Tokopedia, Lazada, dan lainnya.
Melansir dari Reuters, nantinya, platform e-commerce akan diwajibkan memotong pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen kepada toko online yang memiliki omzet tahunan antara Rp 500 hingga Rp 4,8 miliar.
Secara regulasi, skala bisnis ini masuk dalam kategori usaha kecil dan menengah (UKM).
Pajak tersebut kemudian wajib disetorkan ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sebetulnya, saat ini penjual dengan omzet di rentang tersebut memang sudah diwajibkan membayar pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.
Namun, sistem yang berjalan selama ini masih mengandalkan pelaporan dan pembayaran mandiri oleh pelaku usaha, bukan melalui pemotongan otomatis oleh platform.
Sistem pelaporan pajak yang bersifat sukarela dan bergantung pada kesadaran masing-masing pelaku usaha ini dinilai memiliki potensi lalai pajak yang sangat besar. Entah karena keterbatasan pengetahuan, akses, maupun kesadaran administrasi.
Dengan aturan baru ini, pemerintah kelihatannya ingin memastikan kepatuhan pajak lebih tinggi dari pelaku online shop dengan mengalihkan beban administrasi pemotongan kepada platform tempat penjual beroperasi, seperti Shopee, Tokopedia, Shop Tokopedia, Lazada, Blibli, dan lainnya.
Apabila aturan ini resmi berlaku, maka penjual akan menanggung biaya pajak yang harus disertorkan ke platform. Dengan demikian, bukan tidak mungkin harga barang di online shop akan ikut naik.
Pada 2018, pemerintah sempat mencoba menerapkan skema serupa yang mewajibkan marketplace menyerahkan data penjual dan membantu proses pemungutan pajak. Namun, regulasi tersebut ditarik kembali tiga bulan kemudian setelah mendapatkan penolakan dari industri.
Ketika itu, lebijakan tersebut dikhawatirkan akan mempersulit pelaku usaha kecil. Kini, setelah industri e-commerce semakin matang dan transaksinya semakin masif, pemerintah menilai sudah saatnya sistem ini diberlakukan kembali dengan penyesuaian.
Ditjen Pajak buka suara
Ditjen Pajak pun akhirnya buka suara soal rencana ini. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Rosmauli mengonfirmasi bahwa pemerintah berencana menunjuk e-commerce di Indonesia untuk memungut pajak kepada toko online.
Akan tetapi, rencana itu masih dalam tahap finalisasi dan belum bisa dipastikan kapan akan diberlakukan.
"Saat ini, rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap finalisasi aturan oleh pemerintah," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/6/2025).
Menurut Rosmauli, kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan perlakuan yang setara bagi UMKM online dan offline.
Sebab, menurutnya, selama ini UMKM offline dikenakan PPh Final, sementara UMKM online tidak.
"Prinsip utamanya adalah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline," jelasnya.
Untuk saat ini, Rosmauli belum memberikan penjelasan lebih lanjut terkait rencana penarikan pajak bagi toko online di Indonesia yang akan dipungut oleh e-commerce. Pemerintah akan langsung mengumumkannya ke publik begitu aturan telah disahkan.
"Begitu aturannya resmi diterbitkan, kami akan sampaikan secara terbuka dan lengkap," kata dia.
"Berlakunya menunggu ketentuannya diterbitkan," imbuhnya.
Pelaku e-commerce disebut menolak
Berdasarkan laporan Reuters, beberapa platform marketplace disebut menolak atau menyatakan keberatan atas rencana ini. Tidak dirinci marketplace mana saja yang menolak.
Sumber yang mengetahui informasi menyebut bahwa beberapa pelaku industri khawatir kebijakan tersebut akan menambah beban administrasi, karena platform harus mengelola pemotongan, pelaporan, dan penyetoran pajak dari jutaan penjual.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan akan memperbesar risiko penjual kabur ke jalur informal. Misalnya bahkan pindah ke media sosial, yang ujung-ujung bertransaksi dengan metode pembayaran transfer manual.
Artinya, sama saja tidak ada pemungutan pajak otomatis.
Ancaman denda
Salah satu sumber menambahkan bahwa kebijakan ini konon mengatur denda untuk pelaporan yang terlambat oleh platform e-commerce.
Hal ini pun membuat platform e-commerce khawatir mengingat sempat ada gangguan sistem perpajakan di Indonesia.
Ini kemungkinan besar mengacu pada Coretax Administration System (CTAS) atau sering disebut Coretax. Sistem administrasi perpajakan baru yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menggantikan sistem lama (SIDJP).
Coretax mulai digunakan secara bertahap sejak awal 2024. Tujuannya untuk menyatukan seluruh proses perpajakan, dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran pajak, dalam satu platform digital yang lebih modern dan terintegrasi.
Namun, dalam masa transisinya, Coretax menghadapi sejumlah gangguan teknis, termasuk lambatnya proses input dan akses data, error saat pelaporan SPT, hingga sistem e-faktur yang sempat tidak stabil.
Platform e-commerce rupanya khawatir, jika sistem DJP belum sepenuhnya stabil, maka beban pelaporan dan pemotongan pajak penjual bisa menyulitkan platform, apalagi jika benar ada sanksi denda.
Potensi nilai transaksi e-commerce Indonesia sangat besar
Dilihat dari nilai transaksi e-commerce di Indonesia, potensi penerimaan dari sektor ini memang sangat besar.
Laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan nilai transaksi bruto (GMV) e-commerce Indonesia diestimasikan tembus 65 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.026,1 triliun pada 2024.
Ini mencerminkan kenaikan sekitar 11 persen dari nilai GMV e-commerce tahun 2023 yang sebesar 59 miliar dollar AS. Pertumbuhan sektor e-commerce di Indonesia ini didorong oleh fitur-fitur baru, seperti video commerce, termasuk live shopping.
Yang menarik, nilai transaksi e-commerce ini diprediksi bakal melonjak menjadi 150 miliar dollar AS atau skitar Rp 2.442,9 triliun pada 2030.
Dengan angka yang sebesar itu, pemerintah tampaknya ingin memastikan bahwa pelaku usaha digital ikut berkontribusi secara adil dalam sistem perpajakan, sama seperti pelaku usaha offline.
Selain itu, rencana ini diyakini muncul di tengah pelemahan pendapatan negara. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan negara periode Januari–Mei 2025 anjlok 11,4 persen dibanding tahun lalu, menjadi hanya Rp 995,3 triliun.
Penurunan ini dilaporkan dipicu oleh harga komoditas yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta gangguan teknis pada sistem informasi perpajakan.
Tag: #soal #aturan #pajak #toko #online #ditjen #pajakbukasuara