Cerita Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Jaksa soal Penanganan Kasus
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang bercerita pernah bersitegang dengan kejaksaan dalam penanganan kasus saat menjadi pembicara di Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis (23/1/2025). 
16:55
24 Januari 2025

Cerita Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Jaksa soal Penanganan Kasus

- Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang bercerita dirinya pernah bersitegang dengan kejaksaan dalam penanganan kasus.

Hal ini diungkap Saut dalam Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis (23/1/2025).

"Beberapa kali dia (kejaksaan) meminta biar kami saja yang menangani. Gue langsung bilang tidak bisa. Enak saja, kita yang OTT, tapi dia (tersangka dan perkara) yang dibawa ke sana. Nanti di sana gimana gitu,’’ kata Saut.

Meski begitu, Saut tak merinci secara detil terkait perkara apa saja yang berusaha ditangani oleh Korps Adhyaksa tersebut.

Dia hanya mengatakan jika selalu ada hambatan dan masalah ketika pihaknya menangani perkara yang ada keterlibatan dari pihak kejaksaan.

"Kita (KPK pada zamannya, Red) kalau menangkap jaksa itu selalu ada problem loh,’’ ungkapnya.

Bahkan, kata Saut, KPK pernah mempunyai rencana agar pegawainya bisa menjadi penuntut KPK.

Pasalnya, selama ini penuntut di KPK sebagian besar dari kejaksaan sehingga menurutnya bisa memunculkan konflik yang besar.

"Rencananya seperti itu, sehingga KPK mempunyai penuntut sendiri," ucapnya.

Meski begitu, rencana tersebut tak pernah terealisir, dan semua penuntut KPK berasal dari kejaksaan.

Sebelumnya, Saut juga menyoroti ketidakpastian penegakan hukum yang diatur Pasal 8 Ayat 5 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Sebab pasal tersebut menyatakan setiap peoses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung. 

Ketentuan ini dipandang punya konflik kepentingan yang tinggi dan tidak adanya prinsip fairness atau kesetaraan dalam memperlakukan orang lain. 

“Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana kita bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” kata Saut dalam diskusi bertajuk 'UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat' di Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025).

Menurut Saut, jika ketentuan tersebut  bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, maka diperlukan penjelasan yang lebih merincikan hal itu.

“Kami paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” terangnya.

Senada dengan Saut, mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menilai Pasal 8 Ayat 5 perlu dijelaskan secara definitif, khususnya terkait frasa melaksanakan tugas dan kewenangan.

Selain itu juga perlu dituangkan ketentuan bahwa izin dianggap diberikan jika 1x24 jam Jaksa Agung tidak merespons.

Edwin melihat ada kemunduran kualitas hukum akibat pasal ini. Izin seperti ini kata dia, pernah ada sebelumnya di DPR tapi kemudian dihapus. Namun kini muncul kembali di Kejaksaan

“Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” tegas Edwin.

Sementara itu, Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang bahwa perizinan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 sebenarnya tidak diperlukan. 

“Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” katanya.

Ia justru khawatir besarnya potensi intervensi yang terpusat di tangan Jaksa Agung. Karena semangat awal UU ini bertujuan untuk menghindari intervensi dari pihak luar.

“Tetapi ini justru semakin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” tambahnya.

Pasal ini juga direspons oleh Akademisi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, di mana dia menilai UU Kejaksaan tahun 2021 ini dibuat dalam kondisi tidak ideal yang berimbas terciptanya ketidakseimbangan dalam penegakan hukum.

“Kita tahu ada kewenangan yang terlalu banyak ingin ditarik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum,” tandasnya.

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #cerita #pimpinan #saut #situmorang #pernah #bersitegang #dengan #jaksa #soal #penanganan #kasus

KOMENTAR