Anggota DPR Fraksi PKS Sidak Kasus Pemagaran Laut di Tangerang, Minta Pemerintah Ambil Langkah Tegas
Menurutnya hal itu menghalangi akses nelayan ke area penangkapan ikan.
"Pemagaran laut ini adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap hak nelayan dan masyarakat pesisir. Pemerintah harus segera memastikan legalitas tindakan ini dan mengambil langkah tegas jika terbukti melanggar aturan," kata Johan dalam keterangannya Kamis (9/1/2025).
Johan menjelaskan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, pemanfaatan wilayah pesisir harus dilakukan dengan izin resmi dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat setempat.
Selain itu, setiap kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem laut diwajibkan memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Johan menegaskan, jika pagar ini didirikan tanpa izin atau tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum dan pelakunya dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
"Nelayan adalah tulang punggung ekonomi pesisir. Hak mereka atas akses laut harus dilindungi. Kasus ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa pengelolaan laut harus mengutamakan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat," ujar Johan.
Dalam kesempatan itu, selain bersama nelayan, Johan Rosihan datang dengan Anggota Komisi IV lainnya Riyono dari Fraksi PKS DPR RI.
Pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten dipastikan tidak memiliki izin.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menyatakan bahwa pemagaran ini melanggar aturan yang berlaku karena tidak memiliki izin resmi.
Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menegaskan bahwa laut seharusnya menjadi wilayah terbuka.
Eli menyebut, pagar ini membentang di sepanjang 16 desa yang melibatkan enam kecamatan di Kabupaten Tangerang.
Kawasan ini adalah tempat tinggal sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya.
Pemasangan pagar juga melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur zona-zona perairan untuk berbagai kepentingan, termasuk perikanan tangkap, pariwisata, hingga rencana pembangunan waduk lepas pantai.
Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari camat atau desa terkait pemagaran laut yang berlangsung.
Warga dikabarkan menerima upah Rp100 ribu untuk memasang pagar-pagar bambu sejauh 30,16 kilometer tersebut. Pemasangan dilakukan saat malam hari.
Informasi pertama tentang pagar ini diterima DKP Banten pada 14 Agustus 2024. Saat itu, panjang pagar yang terpantau baru sekitar 7 kilometer.
Investigasi lebih lanjut dilakukan pada September 2024 dengan melibatkan tim gabungan dari DKP dan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Eli menegaskan bahwa kegiatan ini tidak mendapat rekomendasi atau izin dari desa maupun camat setempat. "Kami sudah meminta penghentian aktivitas pemagaran karena tidak berizin," katanya.
Hingga kini, berbagai pihak terus bekerja sama untuk menangani permasalahan ini dan mengungkap siapa di balik pembangunan pagar misterius tersebut.
Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi mengaku belum mengetahui informasi siapa yang memasang.
"Siapa yang melakukan belum teridentifikasi. Mereka (warga) sampaikan masyarakat malam-malam disuruh pasang (pagar bambu) dikasih uang Rp100.000 per orang. Cuma itu yang memerintahkan siapa, kita belum sampai situ," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi, Rabu(8/1/2025).
Pemasangan pagar yang membentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji telah berlangsung selama enam bulan dan dilakukan dengan beberapa lapisan.
Temuan ini berdasarkan informasi dari masyarakat saat pimpinan Ombudsman RI melakukan kunjungan ke lokasi pada 5 Desember 2024.
Hasil penelusuran bersama nelayan, Fadli menjelaskan bahwa pagar tersebut memiliki pintu setiap 400 meter yang dapat diakses oleh perahu.
Namun, di dalam area tersebut, nelayan akan kembali menjumpai pagar lapisan berikutnya.
"Pagar tersebut berbentuk seperti labirin," ungkapnya.
Fadli menegaskan bahwa keberadaan pagar tersebut telah mengganggu aktivitas masyarakat serta merugikan dan membahayakan para nelayan.
"Tidak sesuai dengan prinsip bahwa laut itu kan terbuka, tidak boleh tertutup. Padahal, DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Banten) telah menyatakan bahwa tidak berizin," kata Fadli.
Tag: #anggota #fraksi #sidak #kasus #pemagaran #laut #tangerang #minta #pemerintah #ambil #langkah #tegas