Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio: Perdagangan Karbon Tanpa Kontrol Melanggar Konstitusi
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio. (Istimewa)
16:40
11 Mei 2024

Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio: Perdagangan Karbon Tanpa Kontrol Melanggar Konstitusi

–Perdagangan karbon saat ini menjadi salah satu primadona dunia di sektor keuangan dan lingkungan hidup sejak deklarasi Paris Agreement 2015. Pengurangan gas rumah kaca (GRK) merupakan kesepakatan bersama bangsa-bangsa untuk menjaga kelangsungan hidup.

Menteri LHK melaporkan kepada Presiden Jokowi terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing dengan sebuah kebijakan resmi. Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

”Untuk itu tata kelola karbon harus benar-benar diatur pemerintah secara baik demi kepentingan bangsa. Pemahaman publik atas perdagangan karbon memang masih terbatas karena memang tidak mudah dipahami awam,” ujar pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/5).

Disebutkan Agus Pambagio, perdagangan karbon adalah aktivitas jual beli sertifikat kredit karbon. Yang menjadi komoditas perdagangan bukan karbon atau gas polutan, melainkan usaha untuk mengendalikan atau mengurangi emisi karbon (yang dinyatakan dalam sertifikat kredit karbon) itulah yang merupakan komoditasnya.

Ketidakpahaman publik itu, lanjut dia, harus segera ditangani melalui program literasi karbon yang terstruktur dan berkelanjutan dari pemerintah. Supaya isu persoalan perdagangan karbon dapat dipahami masyarakat, harus diatur dengan baik oleh pemerintah demi kemakmuran bangsa Indonesia dan ditaati oleh swasta/industri.

”Sudah banyak sumber daya alam Indonesia yang kurang dapat dinikmati secara optimal. Seperti kayu, mineral, minyak, dan gas bumi. Urusan NEK harus benar-benar ditangani dengan tata kelola yang baik demi kemakmuran bangsa Indonesia,” kata Agus.

Menurut Agus Pambagio, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030. Kemudian ditingkatkan usai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement 2015 menjadi 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Kenyataan bahwa perdagangan karbon mengalami dua tahap kunci. Yakni era Protokol Kyoto (PK) sebelum 2015 dan era Paris Agreement (PA) Desember 2015. Pada era PK, jual beli karbon terjadi bebas dari negara maju (ada daftar kewajiban) kepada negara berkembang (penyedia karbon) dan berlangsung dalam beberapa model. Seperti Result Based Payment (dari prestasi) kerja penurunan emisi oleh negara dan dibayar/rewards) dan model Voluntary Carbon Market (tanpa pengaturan dan berlangsung bebas secara business to business yang berlangsung secara internasional).

Hal tersebut terjadi di Indonesia mulai 2010-2011 setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke-13 Bali 2007.

”Untuk menjaga manfaat NEK demi kepentingan publik dan tata kelola karbon yang baik, telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional,” kata Agus Pambagio.

Perpres itu lanjut Agus Pambagio, merupakan peraturan perundangan utama yang digunakan supaya NEK dapat berlangsung dengan tata kelola yang baik. Itu demi melindungi bangsa Indonesia dari serangan para makelar karbon kelas dunia yang secara masif berupaya melobi pemerintah untuk membebaskan perdagangan karbon. Para makelar internasional itu sebenarnya tidak beda dengan peran VOC pada masa penjajahan. Merugikan bangsa secara terstruktur.

Perpres No. 98 Tahun 2021 merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021, telah diatur tentang Nilai Ekonomi Karbon juga cara kerja operasional yang kemudian diturunkan pada Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022.

Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, mengatur tentang ketentuan umum, tata cara pelaksanaan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, mekanisme penyelenggaraan NEK, pengukuran, pelaporan, dan verifikasi, penyelenggaraan NEK, penyelenggaraan Sistem Register Nasional (RN), sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca, pengelolaan dana atas perdagangan karbon, partisipasi para pihak, pemantauan, dan evaluasi dan ketentuan penutup. Lengkap, tinggal diikuti pelaksanaannya oleh para pelaku bisnis karbon.

”Satu lagi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup,” terang Agus.

Jadi jika badan usaha swasta dan pengejar rente perdagangan karbon internasional mengatakan bahwa peraturan Voluntary Carbon Market (VCM) menghambat perdagangan karbon sukarela di pasar internasional, itu merupakan pendapat yang keliru.

Dijelaskan Agus Pambagio, para pengusaha beserta asosiasi ingin karbon diperdagangkan secara sukarela, bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangannya. Termasuk menolak melakukan pencatatan, menolak keterbukaan informasi dan sebagainya. Mereka telah bertemu dan mengusulkan perubahan atau revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 kepada presiden.

”Langkah ini harus dicegah bersama sama karena kalau Perpres No. 28 Tahun 2021 direvisi, pemerintah pasti melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan  sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat,” terang Agus Pambagio.

”Rencana merevisi Perpres tersebut jika terlaksana, tidak akan menyejahterakan rakyat tetapi justru akan membentuk oligarki baru perdagangan karbon,” tambah dia.

Dari catatan usul perubahan Perpres No. 98 Tahun 2021 disebutkan alasan Perpres perlu direvisi karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela internasional yang dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim. Dampak dari kesenjangan tata kelola itu, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan dan lain-lain, tertunda penerimaan dan pendanaan karbon.

”Ini alasan yang terlalu dibuat-buat,” ucap Agus Pambagio.

Alasan lain perlunya merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutan izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia. Selain itu, ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik internasional, di mana belum terjadi perdagangan emisi lintas sektor.

”Hal tersebut tidak bisa diberikan Kementerian LHK, karena dalam berbagai sidang COP UNFCCC belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara,” urai Agus Pambagio.

Agus Pambagio menegaskan, carbon trade is very closed to fraud. Sementara para petinggi, politikus yang berpihak pada pelanggaran konstitusi semakin banyak, apalagi kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja.

”Karbon merupakan bagian dari sisa sumber daya alam Indonesia yang masih kita punyai dan harus dikuasai oleh negara, bukan oleh pedagang dengan menggunakan berbagai skema (penilai independent internasional dan di antaranya menjadi market place), politikus, maupun para oligarki,” ujar Agus Pambagio.

”Tragedi pemusnahan hutan demi nilai ekonomi kayu, kebun, dan kemudian tambang mineral, oleh beberapa oligarki dengan memanfaatkan aparat penegak hukum, politikus, dan pejabat (daerah), tidak banyak memberikan keuntungan pada publik sesuai dengan pasal 33 UUD 45. NEK merupakan sumber daya alam Indonesia yang masih tersisa dan harus dikelola dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah atas nama konstitusi. Kami berharap Perpres No. 98 Tahun 2021 harus mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang,” papar Agus Pambagio.

Diungkapkan Agus Pambagio, keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan pada 2016/2017 telah diakui dunia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Atas keberhasilan tersebut Pemerintah Indonesia akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 miliar rupiah. Merupakan bagian dari komitmen kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan pada 2010 dan seterusnya.

”Dana itu akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), tidak perlu lagi membentuk badan baru, seperti Badan Pengelola Ekonomi Karbon,” ucap Agus Pambagio.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #pemerhati #kebijakan #publik #agus #pambagio #perdagangan #karbon #tanpa #kontrol #melanggar #konstitusi

KOMENTAR