



Bongkar Tabiat Aipda R, Bukti yang Ditunggu Kompolnas atas Kasus Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang
Selain telah menyelidiki bukti kamera CCTV dari berbagai lokasi, Kompolnas juga mengantongi jejak digital dalam kasus tersebut sebagai bukti penguat.
Namun, ada satu hal lagi yang masih ditunggu Kompolnas untuk membongkar motif Aipda R, sebagai pelaku penembakan siswa SMK tersebut.
Demikian diungkap oleh Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, dalam siaran Kompas TV, Selasa (3/12/2024) malam.
Dimulai dari analisis terhadap kamera CCTV lokasi kejadian, Kompolnas menyempurnakannya dengan jejak digital lainnya.
"Termasuk kami juga bertemu dengan anak-anak tersebut. Baik yang luka tembak di tangan maupun yang naik motor dan sebagainya kami sandingkan dengan CCTV itu, sehingga memang kerangka peristiwanya jauh lebih jelas," jelasnya.
"Tapi lebih dari itu, kami mengapresiasi komitmen dari Pak Kapolres, yang mengatakan dia mau bertanggung jawab dan sebagainya."
"Dan Polda (Jateng) mau menegakkan hukum pidana menegakkan etik, jadi tidak hanya berhenti di etik tapi juga di pidananya gitu. Dan pidananya ini tadi saya juga dengar itu kena 338, itu menurut saya langkah yang baik," urai dia.
Choirul Anam sebenarnya menyesalkan tindakan kepolisian, dalam hal ini Polrestabes Semarang, yang terkesan tidak transparan sejak awal mengungkap kasus.
Menurutnya, jika bukti CCTV tempat kejadian perkara saat kejadian ditayangkan juga kepada keluarga atau publik, maka kasus tidak akan melebar.
"Belajar dari proses ini seandainya sejak awal diumumkan, kalau tidak bisa diumumkan minimal dikasih tahu kepada keluarga korban CCTV yang tadi diputar di Komisi III (DPR RI) saya kira dinamika politiknya lebih mengarah penegakan hukumnya tidak ke mana-mana," katanya.
"Intinya kalau ada kasus transparan itu kata kuncinya, tidak hanya profesional dalam konteks penegakan hukumnya, tapi juga transparan kepada keluarga korban termasuk juga kepada publik luas. Ini bisa dilakukan kepada polres-polres lainnya juga nantinya," imbuh dia.
Di sisi lain, terkait perbedaan motif Aipda R menembak GRO yang beredar di masyarakat, Choirul Anam menegaskan masih menunggu hasil laboratorium forensik (Labfor).
Lanjutnya, hasil Labfor digital bakal memperjelas peristiwa. Sehingga bisa diketahui tindakan beserta alasan kuat pelaku melakukan tindakan kriminal.
"Kami menunggu hasil dari Labfor Digital itu, kalau dengan kualitas CCTV atau kualitas rekam jejak digital lain masih ada multitafsir. Kalau dengan Labfor dia bisa lebih jelas dia lebih terang, itu bisa lebih jelas peristiwanya," ujarnya.
"Tapi memang pokok utamanya harus berangkat dari jejak digital itu kita lagi menunggu itu, apakah itu serempetan atau tidak serempatan, ataukah itu menghindar."
"Yang pasti empat sepeda motor itu memang keluar marka jalan, harusnya dia sebelah kiri itu agak ke kanan. Apakah terjadi serempetan ataukah tidak, CCTV itu bisa menjelaskan, dan rekam jejak digital yang lain juga menjelaskan konteks peristiwanya."
"Nah kami sedang menunggu hasil Labfor, bagaimana konstruksi satu peristiwa yang berlangsung dengan hasil laboratorium forensik kejelasan dari CCTV tersebut," tuturnya.
Choirul Anam bersama Kompolnas pun tak menampik jika sejak awal menyebut tindakan yang dilakukan Aipda R termasuk tindakan berlebihan.
Dirinya memberi saran, pelaku sebenarnya bisa berhenti kemudian menghubungi tim atau anggota lainnya untuk penanganan lanjut.
"Sehingga tidak langsung mengambil sikap tindakan yang berlebihan (penembakan) seperti itu," tegasnya.
Sarankan Komisi III Evaluasi Polri
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, sarankan Komisi III DPR dalam mengevaluasi Polri pada kasus penembakan siswa hingga tewas oleh polisi di Semarang tidak hanya fokus pada penggunaan senjata api.
Isnur mengatakan sebaiknya Komisi III mengevaluasi Polri secara sistemik.
Ia mencontohkan misalnya penggunaan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa demonstran.
"DPR harusnya melihat permasalahan kepolisian lebih besar lagi. Jangan sekadar soal senjata api," kata Isnur dihubungi Rabu (4/12/2024).
Karena faktanya, kata dia arogansi atau kemudian brutalisme kepolisian itu bukan hanya soal senjata api.
"Tapi juga misalnya soal penggunaan gas air mata dan water cannon saat demonstrasi, kemudian penggunaan brimob saat menangani massa demonstran," jelasnya.
Atas hal itu, ia menegaskan DPR harusnya lebih besar lagi mengevaluasi Polri secara sistemik. Bukan hanya sebatas senjata api saja.
"Selain itu perlu juga dievaluasi kapasitas dengan banyaknya struktur di bawah sekarang ditangani oleh hanya satu institusi, tentu ini harus dipikirkan ke depan bagaimana menitipkan atau memecahnya," kata Isnur.
"Fungsi-fungsi misalnya agar SIM dan STNK itu ditangani oleh Kemenhub misalnya. Jadi harus keluar ide-ide yang out of the box ya, tidak hanya mengurusi hal-hal teknis," tandasnya.
Diketahui, insiden penembakan oleh oknum polisi terhadap seorang siswa terjadi pada Minggu (24/11/2024) dini hari, di depan Alfamart Candi Penataran Raya, Ngaliyan, Kota Semarang.
Gamma ditembak di bagian pinggul oleh Aipda RZ karena diduga melakukan penyerangan terhadap polisi tersebut.
Akibat tindakan itu, Aipda RZ kini ditahan oleh Pengamanan Internal (Paminal) Propam Polda Jawa Tengah untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Korban, yang merupakan siswa kelas 11 Teknik Mesin SMKN 4 Semarang, dikenal sebagai siswa yang baik dan berprestasi.
Gamma adalah anggota Paskibraka SMKN 4 dan telah mengikuti berbagai kompetisi, termasuk memenangkan juara 3 di ajang Porsimaptar Oktober 2024.
Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMKN 4, Agus Riswantini, menyebut Gamma dan dua siswa lainnya yang menjadi korban luka dalam kejadian ini bukan anggota gangster.
"Di sekolah, mereka anak-anak baik, giat latihan Paskibraka, dan tidak pernah ada masalah akademis maupun pelanggaran," ujar Agus, dikutip dari TribunJateng.com.
Sementara itu, atas kejadian tersebut Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta, mengungkapkan, penggunaan senjata api (senpi) oleh aparat keamanan kini mulai terusik.
Sebab itu menurutnya saat ini mulai ada kajian aparat kepolisian hanya bermodalkan pentungan untuk bertugas.
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan, Selasa (3/12/2024).
"Satu dua hari ini, Pak, orang mulai mengusik senjata yang dipegang oleh polisi, apa masih perlu polisi megang senjata, bisa Bapak gambarkan enggak di mana kelemahan-kelemahan SOP yang berkaitan dengan senjata?" tanya I Wayan di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
I Wayan menyebut fenomena yang terjadi kini senjata api tak hanya bisa membunuh warga sipil, namun juga sesama polisi.
Karena itu, menurutnya, bukan tidak mungkin ke depannya polisi hanya bermodalkan pentungan, seperti di sejumlah negara-negara maju.
"Sampai senjata itu dengan mudah yang harusnya melindungi rakyat tapi malah maaf ya bukan hanya membunuh rakyat tapi bisa membunuh polisi," ucapnya.
"Ini hati-hati karena kajian walaupun belum berupa Undang-Undang kajian yang ada tentang bagaimana polisi cukup bermodalkan pentungan di berbagai negara maju kelihatannya perlahan tapi pasti kita akan mengarah ke sana," imbuhnya.
Lebih lanjut, ada sebuah literatur yang menyebutkan sebenarnya kepolisian tidak perlu sampai memegang senjata.
Penggunaan senjata hanya digunakan saat aparat kepolisiam menangani kasus-kasus besar.
"Melihat bayang-bayang ini mulailah jika polisi itu masih boleh pegang senjata, gunakan secara baik jangan digunakan untuk menghadapi rakyat," pungkasnya.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Rahmat Fajar Nugraha)
Tag: #bongkar #tabiat #aipda #bukti #yang #ditunggu #kompolnas #atas #kasus #polisi #tembak #siswa #semarang