MK: Putusan Syarat Usia Cawapres Tak Cacat Formil walau Ada Pelanggaran Etik
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
15:28
16 Januari 2024

MK: Putusan Syarat Usia Cawapres Tak Cacat Formil walau Ada Pelanggaran Etik

- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait pelonggaran syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) tidak mengandung cacat formil, kendati terbukti ada pelanggaran etik dalam proses penyusunannya.

Hal itu menjadi sikap Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 145/PUU-XXI/2023, yang dibacakan hari ini, Selasa (16/1/2024).

"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak mengandung kecacatan formil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945," kata hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan.

"Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan karenanya permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," tambahnya.

MK menegaskan, berdasarkan sikap Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 131 dan 141/PUU-XXI/2023, MK "tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan yang dilakukan oleh para hakim konstitusi terbukti bahwa salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik."

"Hal tersebut tidak serta- merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal," ujar Guntur.

Oleh karena itu, MK memutuskan menolak permohonan uji formil yang diajukan 2 pakar hukum tata negara ini.

"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak pokok permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo.

Semua majelis hakim konstitusi bulat satu suara soal putusan ini, tetapi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion).

Sebelumnya diberitakan, 2 pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke MK.

MK membolehkan anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan maju sebagai capres-cawapres sebelum 40 tahun, yang akhirnya menjadi karpet merah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming (36), mencalonkan diri sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto berbekal status Wali Kota Solo pada Pilpres 2024.

Belakangan, Majelis Kehormatan MK menyatakan Ketua MK Anwar Usman, yang juga ipar Jokowi, terlibat pelanggaran etika berat dalam proses penyusunan ini. Anwar pun dicopot dari posisi Ketua MK.

Dalam gugatan Denny dan Zainal, mereka meminta putusan provisi/sela, yang salah satunya meminta MK menunda berlakunya putusan itu dan menangguhkan segala kebijakan berkaitan dengan putusan itu.

"Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023," tulis mereka dalam gugatannya.

"Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023."

Di samping itu, karena tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden berakhir pada 25 November 2023, mereka meminta persidangan secara cepat.

"Menyatakan memeriksa permohonan para pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya," tulis gugatan itu.

"Dalam Pasal 54 UU MK juncto Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib,

melainkan pilihan, karena ditulis dengan kata 'dapat', bukan 'wajib," jelas mereka.

Kemudian, mereka juga meminta agar komposisi majelis hakim yang mengadili perkara ini tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman.

Pasalnya, Anwar saat ini menjadi hakim dengan laporan dugaan pelanggaran etik serta konflik kepentingan paling banyak (15 dari 21 laporan) menyusul Putusan 90 tersebut, menilik hubungan kekerabatannya sebagai ipar Presiden Joko Widodo.

Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang telah merampungkan pemeriksaan terhadap semua pihak terlapor dan terkait sudah menyimpulkan bahwa Anwar merupakan hakim yang paling bermasalah dalam kasus pelanggaran etik ini.

"Menyatakan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para pemohon dengan komposisi hakim berbeda dari Putusan 90/PU-XXI/2023 dengan mengecualikan Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H," tulis Denny dan Zainal.

Hal tersebut berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan tidak sah sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.

UU yang sama mengamanatkan agar jika situasi itu terjadi maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.

Denny dan Zainal menjelaskan, bila sejak awal Anwar mundur dari perkara itu, maka hasil akhir putusannya akan berbeda karena komposisi hakim yang setuju dan menolak sama-sama 4 orang.

Dengan komposisi 50:50, maka perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya ditolak karena Wakil Ketua MK Saldi Isra ada dalam posisi menolak.

Ketentuan semacam itu diatur berdasarkan Pasal 66 ayat (4) dan 67 ayat (6) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2023, bahwa tatkala komposisi hakim yang setuju dan menolak seimbang, maka posisi Ketua dan Wakil Ketua MK akan menjadi penentu.

"Oleh karena itu, apabila Yang Mulia Anwar Usman taat pada hukum dan etika untuk mengundurkan diri, maka Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak akan eksis," jelas Denny dan Zainal.

Sementara itu, dalam pokok permohonannya, keduanya meminta agar MK menyatakan pembentukan Putusan 90 itu inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terdapat cacat hukum dalam proses lahirnya putusan tersebut.

Editor: Vitorio Mantalean

Tag:  #putusan #syarat #usia #cawapres #cacat #formil #walau #pelanggaran #etik

KOMENTAR