Papua Bukan Ruang Kosong: Aksi Damai Desak Tinjau Proyek Tebu Merauke
-
- Aksi damai soroti risiko PSN tebu terhadap hutan Papua
- Masyarakat Adat suarakan dampak sosial dan hilangnya ruang hidup
- Aktivis dorong evaluasi PSN yang partisipatif dan berkelanjutan
Di tengah upaya pemerintah mempercepat pembangunan dan ketahanan pangan nasional, perdebatan soal Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua kembali mengemuka.
Di Jakarta, Greenpeace Indonesia bersama anak muda Papua menggelar aksi damai di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengajak publik meninjau kembali proyek tebu skala besar di Merauke yang dinilai berisiko terhadap hutan dan ruang hidup Masyarakat Adat.
Aksi tersebut dikemas lewat pertunjukan simbolik. Instalasi seni dari material daur ulang dan batang tebu dibangun sebagai representasi kekhawatiran atas ekspansi perkebunan.
Pesan yang dibawa sederhana namun tegas: Papua bukan ruang kosong, melainkan wilayah dengan ekosistem dan komunitas yang telah hidup dan mengelolanya secara turun-temurun.
Kekhawatiran ini muncul menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam forum percepatan pembangunan Papua, yang membuka peluang pengembangan kebun tebu, sawit, dan singkong sebagai bagian dari strategi pangan dan energi nasional.
Bagi kelompok masyarakat sipil, arah kebijakan tersebut perlu dibarengi evaluasi menyeluruh agar tidak mengulang pola pembangunan yang telah memicu bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba, menilai proyek tebu Merauke berpotensi menjadi salah satu sumber deforestasi terbesar di Papua selatan.
Ia mengingatkan bahwa pengalaman di wilayah lain menunjukkan pembukaan hutan skala besar kerap berujung pada krisis ekologis dan sosial yang sulit dipulihkan.
“Papua berada di titik penting. Jika pembangunan terus berjalan tanpa perlindungan ekosistem dan hak Masyarakat Adat, risikonya akan ditanggung lintas generasi,” ujar Belgis.
Dalam aksi tersebut, suara Masyarakat Adat disampaikan langsung. Vincen Kwipalo, warga adat Yei dari Merauke, menggambarkan dampak kehadiran perusahaan perkebunan di wilayahnya, mulai dari penggusuran tanah hingga konflik sosial di tingkat kampung.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus melihat nasib Masyarakat Adat yang hidup dari tanah dan hutan. Kalau ruang hidup kami hilang, masa depan kami juga ikut hilang,” kata Vincen.
Berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, proyek tebu Merauke mencakup sekitar 560.000 hektare, dengan sebagian besar wilayah masih berupa hutan alami, lahan basah, dan sabana yang memiliki fungsi ekologis penting. Data ini menjadi dasar tuntutan agar pemerintah mempertimbangkan kembali skala dan lokasi proyek.
Alih-alih menolak pembangunan secara keseluruhan, Greenpeace mendorong evaluasi kebijakan PSN yang lebih partisipatif, melibatkan Masyarakat Adat sejak tahap perencanaan, memperkuat perlindungan ekosistem kunci, serta membuka alternatif strategi pangan yang tidak bergantung pada deforestasi.
Bagi para penggiat lingkungan, masa depan Papua dapat dibangun dengan pendekatan berbeda: pembangunan yang menghormati pengetahuan lokal, menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan, dan memastikan pertumbuhan ekonomi tidak meninggalkan warga yang telah lama menjaga tanahnya.
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti
Tag: #papua #bukan #ruang #kosong #aksi #damai #desak #tinjau #proyek #tebu #merauke