Darurat Medsos Anak: Perlukah Indonesia Mengekor Australia?
MULAI 10 Desember 2025, Australia mencetak sejarah baru dalam tata kelola dunia digital. Negeri Kanguru tersebut resmi melarang anak di bawah usia 16 tahun untuk memiliki akun media sosial di platform raksasa seperti Instagram, TikTok, hingga X (Twitter).
Alasan utamanya adalah kesehatan mental; menyelamatkan remaja dari cengkeraman algoritma yang memicu kecemasan, gangguan citra tubuh, dan depresi.
Langkah radikal Australia ini memantik pertanyaan besar bagi kita di tetangga sebelah utara: Perlukah Indonesia melakukan hal yang sama?
Menilik situasi di lapangan, urgensi di Indonesia mungkin justru lebih kritis dibandingkan Australia.
Jika di Australia musuh utamanya adalah "algoritma depresi", di Indonesia, media sosial telah bermetamorfosis menjadi alat logistik kejahatan dan kekerasan fisik yang nyata.
Data berbicara lebih keras daripada kekhawatiran orangtua semata. Di Indonesia, media sosial bukan lagi sekadar tempat pamer foto, melainkan arena koordinasi kekerasan.
Data Polda Metro Jaya (2022–2024) menyoroti tren mengerikan: tawuran pelajar kini direncanakan secara digital.
Fitur Instagram Live atau istilah "jamet wars" di TikTok digunakan bukan untuk eksistensi diri yang positif, melainkan untuk menyiarkan kekerasan demi validasi dan jumlah views.
Kasus viral pelajar di Depok pada 2023 yang menyiarkan tawuran secara langsung adalah bukti betapa media sosial memberikan panggung bagi naluri agresif remaja.
Di sini, dampak media sosial tidak lagi sebatas di dalam pikiran (psikologis), tetapi tumpah menjadi darah di jalanan.
Belum lagi soal perundungan siber (cyberbullying). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan UNICEF (2020) mencatat 1 dari 3 remaja kita mengalami perundungan daring.
Tragedi siswa SMP di Jakarta yang depresi akibat fotonya diedit dan disebar di grup WhatsApp kelas menunjukkan betapa mudahnya martabat anak dihancurkan hanya dengan beberapa ketukan jari.
Lebih jauh lagi, ruang digital tanpa sekat usia ini membuka pintu bagi predator. Laporan KemenPPPA (2023) menunjukkan kenaikan kasus grooming (pucuk dicinta ulam tiba bagi predator seksual) melalui media sosial.
Kasus remaja 14 tahun di Jawa Timur yang terjerat penyebaran konten asusila akibat manipulasi orang dewasa yang dikenal lewat medsos adalah tamparan keras bagi sistem perlindungan anak kita.
Ironisnya, anak-anak Indonesia tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku kejahatan ekonomi.
Fenomena penipuan jual beli, scamming top-up gim, hingga pembuatan akun palsu untuk catfishing yang dilakukan remaja menunjukkan adanya degradasi moral yang difasilitasi teknologi.
Media sosial telah mengajarkan sebagian anak kita cara berbuat jahat dengan lebih canggih dan anonim.
Menerapkan larangan di Indonesia
Kembali ke pertanyaan awal: bisakah kita meniru Australia?
Menerapkan larangan total seperti Australia di Indonesia menghadapi tantangan demografi dan teknis yang raksasa.
Dengan penetrasi internet yang masif, di mana survei BPS 2023 menyebut 79 persen anak usia 10–17 tahun mengakses internet setiap hari, menutup keran akses secara total akan membutuhkan infrastruktur pengawasan yang luar biasa ketat.
Namun, "sulit" bukan berarti kita boleh diam. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa membiarkan anak di bawah umur berkeliaran di media sosial tanpa batasan adalah tindakan pembiaran terhadap bahaya.
Indonesia mungkin tidak harus serta-merta melakukan blokir total yang kaku, tetapi kita membutuhkan regulasi yang jauh lebih "menggigit" terhadap penyedia platform.
Jika Australia bisa memaksa raksasa teknologi bertanggung jawab atas verifikasi usia, Indonesia seharusnya bisa memaksa platform untuk lebih agresif menghapus konten kekerasan, menutup akun yang terindikasi tawuran, dan membatasi fitur live bagi pengguna di bawah umur.
Momentum Australia harus menjadi alarm bagi pembuat kebijakan di Senayan. Kita sedang menghadapi darurat yang berbeda.
Anak-anak kita tidak hanya sedang "bersedih" karena media sosial, sebagian dari mereka sedang "bertarung" dan "terjebak" di sana.
Regulasi ketat bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk menyelamatkan generasi masa depan dari layar yang kian liar.
Tag: #darurat #medsos #anak #perlukah #indonesia #mengekor #australia