Kuota Haji dan Tantangan Keadilan Nasional
PERUBAHAN mekanisme pembagian kuota haji setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menghadirkan kegelisahan baru di tengah masyarakat.
Pemerintah memutuskan bahwa mulai 2026, kuota haji antarprovinsi ditentukan terutama berdasarkan panjang daftar tunggu.
Secara administratif, kebijakan ini tampak objektif: siapa yang lebih dahulu mendaftar, dia lah yang lebih pantas diberangkatkan.
Namun, jika dicermati lebih jauh, rumus semacam itu tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan dalam konteks negara-bangsa yang begitu beragam seperti Indonesia.
Indonesia bukan sekadar kumpulan angka pendaftar haji. Ia adalah wilayah luas dengan kesenjangan informasi, ekonomi, dan infrastruktur yang nyata.
Di kota-kota besar, pembuatan tabungan haji, akses perbankan, dan pendidikan soal prosedur berhaji relatif lebih mudah.
Sementara di daerah terpencil, hal-hal yang tampak sederhana itu menjadi tantangan tersendiri. Banyak masyarakat yang memiliki aspirasi dan kemampuan spiritual, tetapi terhalang kesenjangan struktural.
Ketika kuota haji hanya dihitung dari panjang antrean, maka seluruh wilayah yang secara historis tertinggal akan selalu berada di ujung antrean, atau bahkan tidak mendapat jatah sama sekali.
Di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota, kasus seperti itu sudah terlihat. Ada daerah yang tidak memperoleh kuota karena masa tunggunya lebih singkat.
Padahal, masa tunggu yang singkat karena rendahnya jumlah pendaftar tidak selalu berarti rendahnya minat, melainkan cermin dari keterbatasan akses.
Jika keadilan diukur hanya dari jumlah orang yang berhasil mendaftar lebih cepat, maka negara secara tidak langsung sedang melakukan pembiaran terhadap ketidaksetaraan yang sudah lama tertanam dalam struktur sosial.
Dalam bingkai NKRI, keadilan seharusnya dipahami lebih luas. Ia tidak boleh berhenti pada kesetaraan prosedural semata.
Negara harus memastikan keadilan substantif yang menjamin setiap warga negara, di manapun mereka tinggal, memiliki kesempatan setara.
Reformasi 1998 membawa pesan kuat bahwa akses terhadap layanan negara harus merata. Prinsip itu seharusnya juga menjadi jiwa kebijakan haji.
Kuota haji bukan hanya soal manajemen jumlah jamaah, melainkan simbol hadirnya negara dalam memenuhi hak spiritual warganya, termasuk mereka yang tinggal di daerah kecil, perbatasan, dan kepulauan jauh.
Penerapan rumus berbasis daftar tunggu berpotensi memperkuat dominasi provinsi tertentu yang memiliki kultur pendaftaran haji yang kuat dan infrastruktur memadai.
Sebaliknya, daerah yang terlambat membangun sistem atau masih mengalami keterbatasan informasi akan semakin tertinggal.
Jika dibiarkan, maka kebijakan ini bukan hanya menciptakan ketimpangan baru, tetapi juga melemahkan rasa kebangsaan.
Ibadah haji adalah salah satu ibadah paling egaliter: semua umat Islam bertemu di Tanah Suci tanpa memandang asal-usul. Maka sangat disayangkan apabila di tingkat negara, akses menuju ibadah itu justru menguatkan ketimpangan antarwilayah.
Kritik terhadap kebijakan ini bukanlah penolakan terhadap usaha pemerintah melakukan pembaruan. Justru sebaliknya: reformasi kuota haji perlu disertai kesadaran bahwa Indonesia tidak memulai dari titik yang sama.
Daftar tunggu yang panjang di satu daerah tidak serta-merta lebih “layak” dibanding wilayah lain yang daftar tunggunya pendek.
Perhitungan keadilan tidak semestinya menyingkirkan dimensi kewilayahan dan realitas sosial. Negara perlu hadir dengan kebijakan yang menyeimbangkan antara prinsip antrean dan prinsip pemerataan akses.
Kebijakan kuota haji seharusnya mempertimbangkan batas minimal kuota untuk setiap daerah, agar tidak ada wilayah yang absen dari jatah keberangkatan.
Pemberian afirmasi kepada daerah tertinggal, wilayah kepulauan, dan daerah perbatasan dapat menjadi salah satu cara menjaga keadilan sosial. Kelompok lansia dari daerah miskin akses juga memerlukan perhatian khusus.
Di atas itu semua, transparansi data menjadi kunci utama: publik harus dapat melihat, memeriksa, dan mengawasi bagaimana kuota dibagi agar keadilan tidak hanya menjadi slogan administratif.
Pada akhirnya, reformasi haji baru dapat disebut reformasi bila menghadirkan koreksi terhadap ketimpangan, bukan malah mempertegasnya.
Keadilan dalam NKRI menuntut bahwa setiap warga negara—apa pun latar wilayahnya—mendapat kesempatan yang tidak ditentukan oleh seberapa dekat mereka dengan pusat informasi atau fasilitas pendaftaran.
Negara yang adil bukan hanya negara yang teratur dalam prosedur, tetapi negara yang mampu memastikan setiap orang, terutama yang paling jauh dan paling kecil jumlahnya, tetap mendapatkan hak sama sebagai bagian dari Indonesia.
Pembagian kuota haji yang merata bukan hanya soal teknis administrasi, melainkan cermin komitmen negara terhadap prinsip dasar keadilan sosial.
Jika prinsip ini diabaikan, maka semangat reformasi yang memperjuangkan pemerataan dan kesetaraan akan kembali menjadi slogan kosong.
Sudah saatnya kebijakan haji ditempatkan bukan sekadar sebagai urusan antrean, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab negara menjaga keadilan bagi seluruh rakyatnya tanpa kecuali.