Larangan Nikah Beda Agama: Patah Hati yang Sampai ke Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi pernikahan. (Shutterstock/Andrii Yalanskyi)
11:52
19 November 2025

Larangan Nikah Beda Agama: Patah Hati yang Sampai ke Mahkamah Konstitusi

DARI mana keberanian itu datang, kalau bukan dari patah hati yang dirasakan oleh Muhamad Anugrah Firmansyah, seorang pria beragama Islam, yang harus berhadapan dengan negara untuk memperjuangkan cintanya pada kekasihnya yang beragama Kristen.

Cerita klasik yang kita dengar selama ini, kembali menemui jalan buntu, lagi dan lagi.

Muhamad Anugrah Firmansyah, selanjutnya dalam tulisan ini disebut pemohon, pada tanggal 3 November 2025, mengajukan permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI).

Melanjutkan perjuangan Damian Agata Yuvens, dan kawan-kawan pada tahun 2014 serta E. Ramos Petege pada tahun 2022, pemohon mempersoalkan keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP yang dinilainya telah melanggar hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

Dalam hal ini hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 2 ayat (1) UUP yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,” selama ini kerap ditafsirkan sebagai klausul yang melarang perkawinan beda agama.

Pada praktiknya di tangan negara, pasal tersebut juga digunakan untuk melegitimasi pengadilan dan pegawai pencatat perkawinan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan pasangan berbeda agama, bahkan ketika perkawinan telah dilangsungkan berdasarkan hukum agama.

Hal ini yang kemudian mendasari pemohon untuk mengulang permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UUP yang telah dua kali gagal menemukan titik temu, harapannya kali ini, hakim berdiri di atas cinta dan hak asasi manusia.

Perjalanan panjang pengujian Pasal 2 ayat (1) UUP

Menilik perjalanan Pasal 2 ayat (1) UUP yang berkali-kali diuji di Mahkamah Konstitusi, dalam permohonannya pemohon mendalilkan bahwa dasar pengujian dan substansi permohonannya berbeda dari dua permohonan terdahulu yang telah diputuskan dalam Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022.

Menilik kembali perkara nomor 24/PUU-XX/2022, Damian Agata Yuvens dan kawan-kawan pada kala itu menilai keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP yang mengatur mengenai keabsahan perkawinan, berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilangsungkan di luar penafsiran negara atas frase “masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Keharusan untuk mengamini tafsir atas Pasal 2 ayat (1) UUP sebagai pasal yang mengharuskan perkawinan dilangsungkan oleh pasangan yang seagama, membuat pada praktiknya masyarakat mencari jalan keluar dengan melakukan penyelundupan hukum.

Praktik yang dilakukan seperti berpindah agama sebelum menikah dan kembali pada agama asalnya setelah menikah, demi dapat melangsungkan perkawinan yang berkedok “seagama.”

Namun, terhadap dalil tersebut, MK pada putusannya berpendapat bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga negara wajib tunduk pada pembatasan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Oleh karena itu, MK menetapkan permohonan pemohon untuk menetapkan Pasal 2 ayat (1) UUP bertentangan dengan UUD NRI tidak beralasan menurut hukum.

Begitu pula pada Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, pada permohonannya E. Ramos Petege mendalilikan bahwa Pasal 2 ayat (1) UUP telah mereduksi dan mencampuradukan makna perkawinan dan kebebasan beragama, serta merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara dalam menentukan sah tidaknya perkawinan secara administratif hanya dari kesamaan agama pasangan calon suami istri.

Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa penyelenggaraan hak asasi manusia harus sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Dan merujuk pada Pasal 28 B (ayat) 1 UUP tentang hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, maka perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.

MK juga berpendapat bahwa perkawinan sebagai forum externum atau merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama memberikan legitimasi kepada negara untuk campur tangan dalam hal perkawinan.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa permohonan pemohon untuk menetapkan Pasal 2 ayat (1) UUP bertentangan dengan UUD NRI juga tidak beralasan menurut hukum.

Jika dua permohonan sebelumnya berangkat dari pendekatan keabsahan perkawinan dan hak kebebasan beragama yang dilanggar dengan eksistensi Pasal 2 ayat (1) UUP, pemohon kali ini berangkat dari perspektif hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan serta hak atas perlakuan yang sama di depan hukum.

Selain itu, keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Berbeda Agama dan Kepercayaan, yang memuat larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antaragama, juga menjadi fakta hukum baru, yang mendasari kebolehan pengujian berulang ini.

Perkawinan beda agama: Bergantung pada tafsir

Pada permohonan, pemohon berupaya mendudukkan persoalan penafsiran Pasal 2 ayat (1) UUP sebagai akar persoalan terjadinya disparitas putusan pengadilan di Indonesia terkait permohonan perkawinan beda agama.

Pemohon mengambil contoh dua penetapan, masing-masing Penetapan Pengadilan Negeri Gianyar No. 29/Pdt.P/2019/PN.Gin dan Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya No.916/Pdt.P/2022/PN.Sby yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.

Lalu, dua penetapan lainnya masing-masing Penetapan Pengadilan Negeri Blora No. 71/Pdt.P/2017/PN.Bla dan Penetapan Pengadilan Negeri Pati No. 122/Pdt.P/2020/PN.Pti yang menolak permohonan perkawinan beda agama.

Pemohon berpendapat bahwa disparitas penetapan pengadilan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum mengenai pencatatan perkawinan antaragama sehingga hak warga negara sangat bergantung pada interpretasi hakim.

Empat putusan tersebut hanya beberapa dari banyak putusan lain yang inkonsisten satu sama lain yang disebabkan oleh ruang hampa UUP. Alih-alih dijawab dengan kejelasan norma, tapi justru dijawab dengan jalan pintas SEMA Nomor 2 Tahun 2023.

Mahkamah Agung menetapkan bahwa hakim harus berpedoman pada SEMA yang menyatakan pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antara-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

MA mendasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UUP tentang larangan kawin yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang apabila ada hubungan antara dua orang yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku tidak memperbolehkannya.

MA berdalih bahwa SEMA itu ditetapkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

Kepatuhan hakim terhadap SEMA tersebut masih perlu diuji lagi. Namun, setidaknya melalui SEMA tersebut, negara seolah ingin menjawab kegelisahan kita tentang ketiadaan kepastian hukum.

Meskipun bagi sejumlah masyarakat termasuk pemohon, kepastian hukum yang berujung pada keseragaman penolakan terhadap permohonan pencatatan perkawinan beda agama bukanlah sebuah jawaban.

Pertanyaannya kemudian, jika MA dalam SEMA dan MK dalam dua putusannya terdahulu berdalih menegakkan hukum agama, bagaimana negara menampung keragaman hukum agama, bahkan kepercayaan yang tidak semua melarang perkawinan beda agama?

Lalu kemudian, jika perkawinan beda agama dianggap melanggar hak orang lain, sebenarnya hak siapa yang dilanggar?

Bukankah justru dengan tidak dicatatkannya perkawinan beda agama yang sudah sah berdasarkan hukum agama, negara telah menaruh hak-hak mereka yang terikat dalam perkawinan di bawah ancaman pengabaian?

Maka, setelah 51 tahun eksistensi UUP, mungkin kini saatnya memikirkan kembali relasi hukum negara dan hukum agama yang ada di dalamnya.

Apakah putusan atas permohonan kali ini akan bernasib sama dengan dua permohonan sebelumnya?

Atau justru menyusul putusan tentang pengujian pasal batas usia kawin yang membawa secercah harapan?

Dalam manajemen konflik, apa yang telah negara lakukan pada isu perkawinan beda agama ini layaknya silent treatment pada sebuah relasi.

Alih-alih berempati pada orang-orang yang patah hati, negara justru membiarkan konflik ini bergulir, membiarkan warga negara mencari obatnya sendiri. Maka semoga kali ini kita sembuh, dari ketidaktahuan dan dari kebingungan.

Tag:  #larangan #nikah #beda #agama #patah #hati #yang #sampai #mahkamah #konstitusi

KOMENTAR