Ahli Gizi untuk MBG Terbatas, Apa Solusinya?
Beragam jurus terus dilakukan demi menyukseskan program Makan Bergizi Gratis (MBG), termasuk penyediaan ahli-ahli gizi yang akan bertugas di setiap Sentra Pemenuhan Pangan dan Gizi (SPPG).
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengungkapkan, ahli gizi punya peran penting untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang bakal diolah menjadi menu MBG.
Namun, BGN kini menghadapi tantangan baru yakni kesulitan merekrut ahli gizi.
"Tadinya ahli gizi agak sulit mencari pekerjaan, sekarang menjadi salah satu profesi yang langka. Sehingga tadi Komisi IX memberikan saran agar BGN mencari jalan keluar atas kelangkaan tersebut," kata Dadan beberapa waktu lalu.
Sementara stok ahli gizi terbatas, kebutuhan akan profesi tersebut terus meningkat.
SPPG yang kini terus bertambah membutuhkan tenaga terlatih dalam perencanaan menu, pengawasan mutu, hingga pembacaan antropometri keahlian yang selama ini melekat pada tenaga gizi profesional.
Sebagai solusinya, BGN akan membidik profesi terkait lainnya untuk menggantikan ahli gizi di dapur-dapur MBG.
Saat ini, BGN mencari orang-orang lulusan program studi kesehatan masyarakat hingga teknologi pangan untuk bekerja di dapur MBG.
"Dan mungkin kita sudah akan mengarah kepada profesi lain, atau keilmuan lain yang masih terkait, contohnya (lulusan) kesehatan masyarakat dan juga teknologi pangan atau pengolahan pangan," kata Dadan.
Hampir senada, Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal juga melontarkan wacana bahwa tenaga pengganti ahli gizi bisa diperoleh dari lulusan SMA yang mengikuti pelatihan dari Kementerian Kesehatan tiga bulan.
“Nanti tinggal ibu Kadinkes melatih orang. Bila perlu di sini, di kabupaten itu, punya anak-anak yang fresh graduate, anak-anak SMA cerdas, dilatih sertifikasi, saya siapkan BSNP. Program MBG tidak perlu kalian yang sombong seperti ini," kata Cucun dalam Forum Konsolidasi SPPG di Bandung, Minggu (16/11/2025).
Meski demikian, pernyataan tersebut diralat, dan berujung permintaan maaf selang beberapa hari setelah video pernyataannya itu viral di media sosial.
Stok ahli gizi cukup
Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor Hardinsyah menyatakan, peran ahli gizi tidak bisa digantikan oleh profesi-profesi lain berbekal pelatihan singkat.
Ia mengatakan, regulasi kesehatan terbaru secara tegas membedakan tenaga gizi, yang mencakup nutrisionis dan dietisian dari tenaga kesehatan lain.
“Tidak ada istilah ‘ahli gizi’ dalam regulasi. Yang ada tenaga gizi, dengan pendidikan D-III, D-IV, hingga profesi nutrisionis dan dietisian,” kata Hardinsyah.
Hardinsyah pun meyakini bahwa Indonesia punya cadangan tenaga gizi yang sangat besar.
Ia menyebutkan, ada 233 program studi gizi yang tersebar di kampus-kampus se-Indonesia dengan jumlah lulusan mencapai 11.000 orang per tahun.
“Jumlah dapur SPPG bahkan belum mencapai itu. Kalau target 30.000–40.000 dapur, seharusnya dalam dua tahun bisa terpenuhi,” kata Hardinsyah.
Oleh karena itu, ia menilai masalah sesungguhnya bukan pada ketersediaan tenaga gizi, melainkan ketiadaan arus informasi yang jelas.
Lulusan gizi tidak mengetahui di mana SPPG dibangun, berapa kebutuhan tenaga, dan siapa yang harus dihubungi.
“Itu gap informasinya. Di Papua, Maluku, Aceh, berapa dapur dibangun Januari? Siapa rekrut? Banyak yang tidak tahu,” katanya.
Bukan sekadar beri makan
Senada, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Doddy Izwardy juga menilai ahli gizi harus tetap dilibatkan dalam program MBG karena tugas mereka tidak sekadar memberikan makan.
Para ahli gizi juga bertanggung jawab menghitung kecukupan gizi, menyusun menu harian hingga 10 hari, menentukan kebutuhan berdasarkan target kelompok rentan, hingga membaca pengukuran antropometri, keahlian yang menjadi dasar intervensi stunting.
“Pelatihan 3 bulan hanya membekali dasar penjamahan makanan. Itu tidak menggantikan kompetensi perencanaan gizi,” kata Doddy.
Kendati demikian, Doddy tidak menolak adanya pelatihan terkait gizi bagi profesi-profesi lain di sektor kesehatan di tengah keterbatasan ahli gizi.
Sebab, idealnya setiap SPPG mempunyai dua ahli gizi, tetapi mencari satu ahli gizi saja masih sulit.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki adalah menghitung angka kandungan gizi dalam makanan untuk memastikan menu yang disajikan mampu menurunkan stunting.
Selain itu, ahli gizi juga punya peran mengawasi mutu bahan, pemilihan pangan, serta daya tahan bahan makanan.
“Nah, itu sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kan itu harus dibekali dengan pelatihan. Karena kan MBG ini sebenarnya kan sasaran besarnya itu adalah menurunkan stunting,” imbuh dia.
Oleh sebab itu, Persagi telah meneken kesepakatan dengan kementerian dan lemabga terkait untuk memfasilitasi rekrutmen tenaga gizi.
Namun, Doddy menggarisbawahi bahwa rekrutmen harus jelas prosedur dan perlindungan pekerjanya.
Pelatihan penjamah makanan
Sementara itu, Direktur Penyediaan dan Penyaluran Wilayah III BGN Ranto mengatakan bahwa BGN telah menggelar pelatihan penjamah makanan bekerja sama dengan ahli dari Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, Persagi, BPOM, dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Pelatihan ini fondasi penting untuk memastikan layanan MBG berlangsung dengan kualitas terbaik dan tepat sasaran," ujar Ranto dalam keterangan pers, Senin (3/11/2025).
Ranto menyebutkan, setiap petugas harus memiliki pemahaman mendalam dan keterampilan praktis yang mumpuni dalam pengolahan makanan.
Tujuannya demi memastikan makanan yang disajikan terjamin aman, higienis, dan memenuhi kebutuhan gizi sesuai standar.
"Melalui pelatihan ini, peserta mendapatkan pengetahuan dan praktik terkait sanitasi dapur, higienitas pangan, pengawasan bahan makanan, serta perlindungan tenaga kerja relawan," kata Ranto.
Dia menyebut, pelatihan ini menjadi penguatan koordinasi antara kepala SPPG dan pemangku kepentingan di daerah untuk memperkuat implementasi program MBG yang merata.
"Kami optimis bahwa peningkatan kapasitas sumber daya manusia semakin memperkokoh keberhasilan program ini sebagai wujud komitmen untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui gizi yang terjamin," ujar Ratno.
Tag: #ahli #gizi #untuk #terbatas #solusinya