Legislasi Berbasis Bukti
SETIAP undang-undang lahir dengan upacara: rapat-rapat, konferensi pers, naskah akademik, daftar inventarisasi masalah, pembahasan pasal demi pasal. Ada sorak kemenangan sebagian, ada keluh geram sebagian lain.
Namun, setelah tepuk tangan berhenti, pertanyaan paling sederhana sekaligus paling substansial sering justru tak terdengar: apakah undang-undang ini benar-benar lahir dari pengetahuan?
Atau kita hanya menyaksikan kekuasaan mengulang kebiasaannya—percaya bahwa ia selalu tahu apa yang terbaik bagi rakyat.
Di negeri ini, hukum sering terlihat bekerja keras. Kalender legislasi padat, target undang-undang berderet.
Namun, jika dilihat lebih jernih, kita bertanya-tanya: mengapa begitu banyak undang-undang mengundang gugatan, penolakan, bahkan konflik sosial?
Mungkin bukan karena rakyat tidak mau diatur, atau karena hukum terlalu progresif. Mungkin karena hukum tidak dibangun dari bukti.
Legislasi berbasis bukti adalah gagasan yang sederhana — negara membuat undang-undang bukan berdasarkan dugaan, tetapi berdasarkan pengetahuan yang dapat diuji.
Ironisnya, kesederhanaan sering menjadi lawan politik. Kebijakan publik yang semestinya dibangun dari riset, statistik, tren sosial-ekonomi, hingga evaluasi kebijakan justru digeser oleh kompromi kekuasaan.
Naskah akademik yang seharusnya memotret akar masalah sering berubah menjadi pembenaran.
Analisis biaya-manfaat jarang berbicara lewat angka. Telaah perbandingan sistem hukum luar negeri hanya muncul sebagai ornamen. Partisipasi publik menjadi ritus: berlangsung, tetapi tidak didengarkan.
Seolah-olah pengetahuan hanya perlu hadir di atas kertas — bukan menjadi dasar pengambilan keputusan. Di sana kita menjumpai paradoks: negara yang ingin mengatur rakyat tanpa terlebih dulu memahami rakyat.
Hukum yang miskin bukti bukan hanya masalah teknis. Ia menyentuh hidup orang. Undang-undang yang tergesa bisa berarti pekerja kehilangan posisi tawar, orang sakit kehilangan akses layanan, siswa kehilangan kesempatan, warga kehilangan rasa aman dalam ruang publik.
Legislasi bukan abstraksi — ia menetap di dapur, di sekolah, di puskesmas, di pabrik, di sawah, di ruang-ruang kecil tempat manusia menggantung harapan.
Setiap pasal yang disahkan tanpa mengukur dampak adalah perjudian atas kehidupan orang banyak. Dan setiap kali hukum keliru menerka kenyataan, kenyataan akan menemukan cara untuk melawan — lewat keresahan, gugatan, protes, atau kekecewaan yang mengendap.
Di ruang Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal yang seharusnya menyelesaikan masalah kembali dipertanyakan. Undang-undang yang semula dirayakan menjadi daftar panjang “perbaikan” dan “revisi”.
Kita lupa bahwa kata revisi adalah pertanda bahwa sebelumnya ada yang tidak pernah dipahami.
Di banyak negara, bukti bukan sekadar pelengkap. Ia adalah fondasi. Kebijakan publik diuji secara ilmiah, bukan sekadar secara politis.
Sebelum berlaku nasional, beberapa negara memilih uji coba kebijakan — seperti laboratorium sosial. Jika gagal, mereka tidak menyalahkan rakyat; mereka memperbaiki kebijakan. Di sana, undang-undang bukan karya egoistik, melainkan karya pengetahuan.
Indonesia sesungguhnya telah memiliki perangkat untuk itu: naskah akademik, analisis dampak regulasi, konsultasi publik, evaluasi pasca-legislasi.
Namun, semua ini hanya menjadi saksi bisu — ada tetapi tidak dihidupi. Kita menyusun bukti, tetapi tidak memercayainya. Data hadir, tetapi keputusan tetap tunduk pada kalkulasi politik jangka pendek.
Pertanyaan moralnya sangat sederhana: apakah negara mau belajar sebelum mengatur?
Di balik gagasan “legislasi berbasis bukti”, ada semangat kemanusiaan yang sering terlupakan: bahwa hukum tidak dibuat untuk teks, tetapi untuk manusia.
Sebuah pasal mungkin terlihat sempurna di meja perundingan, tapi baru menjadi nyata ketika bersentuhan dengan hidup orang yang bekerja, belajar, berobat, berdagang, dan bermimpi.
Legislasi berbasis bukti mengingatkan bahwa tugas pertama kekuasaan adalah mendengar — bukan hanya mendengar suara terkuat, tetapi suara yang terdampak. Bahwa pengalaman rakyat bukan gangguan bagi legislasi, melainkan sumber pengetahuan.
Tanpa itu, hukum hanya mengatur tubuh, bukan kehidupan. Dan kehidupan tidak tunduk pada pasal yang tidak memahaminya.
Negara tanpa legislasi berbasis bukti mudah terperangkap dalam demokrasi yang prosedural, tetapi tidak substantif.
Kita bisa terus memproduksi undang-undang dengan kecepatan luar biasa, tetapi hanya menciptakan siklus buat–gugat–revisi tanpa henti. Hukum berubah menjadi tanda kerja, bukan karya yang memperbaiki hidup rakyat.
Di balik semua itu tersembunyi bahaya yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan rakyat. Ketika rakyat merasa bahwa hukum bukan miliknya, melainkan milik kekuasaan, yang pudar bukan pasal — melainkan legitimasi negara.
Tak ada demokrasi yang bertahan lama jika hukum kehilangan rasa hormat publik. Ketika rakyat kehilangan kepercayaannya pada hukum, hukum kehilangan maknanya.
Harapan
Namun, harapan selalu mungkin. Negara bisa memilih untuk berubah. Pembentuk undang-undang bisa mulai menimbang bukan hanya apa yang mungkin disetujui, tetapi apa yang paling benar menurut bukti.
Konsultasi publik dapat dipuji bukan karena lengkap, tetapi karena bermakna. Data bisa menjadi lampu jalan, bukan sekadar hiasan laporan.
Legislasi berbasis bukti bukan proyek teknokrasi. Ia adalah cara negara menghormati rakyat — dengan memastikan setiap keputusan dibuat dengan pengetahuan yang terbaik, dengan empati paling dalam, dan dengan keberanian untuk mengakui bahwa kebenaran tidak selalu berdiam di kursi kekuasaan.
Mungkin dari sana, hukum bisa kembali menjadi janji: bahwa negara ada bukan untuk mempertanyakan hak rakyat, tetapi untuk menjaganya.
Sejarah bangsa ini tidak akan menilai kita dari banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan dari seberapa banyak kehidupan yang membaik karenanya.
Undang-undang yang baik bukan hanya yang sah, tetapi akurat dalam memahami kenyataan. Yang tidak hanya menjawab tabel politik, tetapi menjawab persoalan manusia.
Legislasi berbasis bukti mengingatkan kita bahwa kekuasaan tidak cukup hanya berniat baik. Ia harus tahu apa yang baik — dan pengetahuan hanya mungkin lahir dari kerendahan hati untuk belajar.
Mungkin karena itu, sebelum setiap undang-undang disahkan, bangsa ini layak bertanya dengan kejujuran yang dalam: Apakah kita sedang membuat hukum — atau hanya sedang membuat keyakinan kekuasaan terdengar seperti hukum?
Jika suatu hari hukum di negeri ini menjawab pertanyaan itu dengan keberanian dan bukti, mungkin di situlah kita bisa mengatakan: demokrasi sedang tumbuh ke arah yang benar.
Tag: #legislasi #berbasis #bukti