Doa Bahlil untuk Penolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto
Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Bahlil Lahadalia dalam acara pagelaran wayang rangkaian HUT ke-61 Partai Golkar di Kawasan Jakarta Barat, Jumat (14/11/2025).(KOMPAS.com/Rahel)
22:50
14 November 2025

Doa Bahlil untuk Penolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

- Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Bahlil Lahadalia mendoakan agar pihak-pihak yang masih menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto agar dapat ikhlas.

"Kalau ada yang masih belum mau ikhlaskan, saya doakan, mudah-mudahan mereka bisa ikhlaskan," kata Bahlil saat menjawab wartawan dalam acara pagelaran wayang rangkaian HUT ke-61 Partai Golkar di kawasan Jakarta Barat, Jumat (14/11/2025).

Jika memang mereka masih belum bisa ikhlas, Bahlil menyarankan mereka agar beribadah sesuai agama masing-masing.

"Kalau tidak ikhlas lagi, salat terus yang Muslim, yang Kristen ke gereja, yang Hindu, Budha ke tempat ibadah masing-masing agar mendapat rahmat dari Allah SWT," ujarnya lagi.

Menteri ESDM itu mengatakan, pro dan kontra adalah hal wajar dalam negara yang menganut demokrasi.

Sebab, tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini.

"Bahwa ada yang setuju dan tidak setuju inilah sebuah konsekuensi negara demokrasi," katanya.

Bagi Partai Golkar, kata Bahlil, Soeharto sudah sangat layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.

"Tetapi bagi Partai Golkar sudah sangat layak dan pantas dan harus menurut kami untuk bagaimana memperjuangkan agar kemudian gelar pahlawan itu pemerintah berikan," tegas dia.

Terima kasih ke Prabowo

Mewakili seluruh kadernya, Bahlil mengucapkan banyak terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Seoharto.

"Pak Harto adalah Presiden 32 tahun, pernah menjadi Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar, ikut melahirkan Partai Golkar. Dan jasa Pak Harto, saya pikir tidak untuk kita, saya ulangi lagi, sudah pasti banyak," kata dia.

Diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto resmi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Penganugerahan ini diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025.


Ada penolakan

Sejak sebelum hingga sudah resmi ditetapkan, masih ada pihak yang menolak Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

Salah satu penolakan berasal dari Ketua DPP PDI-P sekaligus Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira yang menilai pemerintah mengabaikan suara penolakan masyarakat terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.

Menurut dia, pemberian gelar kehormatan tersebut seharusnya tidak dapat dilepaskan dari catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa Orde Baru.

"Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat bahkan dari rakyat Indonesia sendiri terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan," ujar Andreas Hugo Pareira dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (10/11/2025).

Dalam kasus Soeharto, anggota komisi bidang hak asasi manusia (HAM) ini berpandangan bahwa negara seharusnya mempertimbangkan catatan sejarah pelanggaran HAM dan praktik kekuasaan represif.

Dia mengingatkan bahwa terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang selama ini dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru.

Andreas pun mencontohkan terjadinya kasus penghilangan paksa, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, hingga rangkaian kekerasan menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998.

Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid berpose setelah diwawancara KOMPAS.com dalam program Gaspol di PBNU, Kramat, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).KOMPAS.com/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid berpose setelah diwawancara KOMPAS.com dalam program Gaspol di PBNU, Kramat, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).

Penolakan lain disuarakan jaringan pecinta KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yakni GUSDURian menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.

Meski Soeharto memiliki jasa dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan, dan swasembada pangan serta dianggap mampu menjaga stabilitas politik dan ekonomi, memori kolektif bangsa justru menunjukkan hal sebaliknya.

"Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pengkhianatan pada demokrasi, khususnya terhadap gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim otoritarianisme yang korup," kata Alissa Wahid selaku Direktur GUSDURian sekaligus putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam keterangannya, 10 November 2025.

Alissa menyebut penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto justru membuka kembali luka dari salah satu bab paling kelam dalam sejarah bangsa ini.

"Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto yang berkuasa secara otoriter sebagai Presiden RI selama 32 tahun patut dipertanyakan," imbuh Alissa Wahid.

Pada 10 November, sejumlah massa di Yogyakarta juga menggelar aksi di simpang empat Jalan Jenderal Sudirman, untuk menolak pengukuhan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto.

Jubir "Jogja Memanggil" Bung Koes mengatakan, lokasi ini dipilih karena ada dua representasi Suharto di lokasi ini yakni TNI dan Golkar.

“Bagaimana saat Soeharto berkuasa, militer digunakan sebagai alat gebuk rakyat, sebagai upaya untuk tetap berkuasa lewat cara-cara kekerasan. Golkar merupakan alat politik Soeharto untuk melanggengkan segala kebijakannya,” ujarnya.

“Dulu tahun 98, Golkar itu diusulkan dibubarkan. Bahkan desakan dari rakyat salah satunya untuk membubarkan Golkar. Ternyata terbukti ketika Golkar tidak dibubarkan, mereka adalah partai yang sangat ngotot sejak tahun 2010 menjadikan Soeharto sebagai pahlawan,” lanjut dia.

Tag:  #bahlil #untuk #penolak #gelar #pahlawan #nasional #soeharto

KOMENTAR