Perempuan dan Diskriminasi Berlapis dalam Catatan Pelanggaran HAM di Indonesia
Ilustrasi pelanggaran HAM terhadap perempuan (Freepik)
07:52
15 Oktober 2025

Perempuan dan Diskriminasi Berlapis dalam Catatan Pelanggaran HAM di Indonesia

Baca 10 detik
  • Perempuan tidak hanya menjadi korban langsung pelanggaran HAM, tetapi juga menghadapi diskriminasi berlapis sebagai korban sekunder.
  • Dampak pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) kerap luput dari perhatian, sementara stigma sosial tetap membebani perempuan.
  • Pola pelanggaran HAM yang terjadi saat ini mengulang kasus masa lalu karena belum ada penyelesaian substantif yang berpihak pada korban.

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Kalyanamitra menyoroti bagaimana perempuan tidak hanya menjadi korban langsung, tetapi juga menanggung beban diskriminasi berlapis yang sering kali luput dalam catatan sejarah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Listyowati, atau Lilis, dari Kalyanamitra, mengungkap bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban pelanggaran HAM secara langsung, melainkan juga menanggung diskriminasi berlapis sebagai korban tidak langsung atau korban sekunder.

“Seringkali perempuan dalam konteks korban pelanggaran HAM itu mendapatkan diskriminasi yang berlapis,” ujarnya melalui diskusi dalam live akun Instagram @y_kalyanamitra dan @kontras_update.

Menurutnya, diskriminasi ini seringkali luput dari catatan sebagai bagian dari dampak pelanggaran HAM, karena narasi yang dibangun cenderung berfokus pada Hak Sipil dan Politik (Sipol), sementara Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) diabaikan.

“Ketika kita bicara pelanggaran hak asasi manusia, tidak hanya berbicara dalam konteks pelanggaran di bidang Sipol, tetapi juga ada pelanggaran HAM dalam bidang Ekosob. Ini yang seringkali kita luput,” tambah Lilis, Selasa (14/10/2025).

Padahal, dampak pelanggaran Hak Ekosob inilah yang paling dirasakan perempuan, terutama terkait stigma sosial yang mereka terima.

“Misalkan satu kejadian yang sudah berpuluh tahun lalu dijadikan alat untuk menurunkan perempuan, menstigma perempuan itu sendiri,” jelas Lilis.

Ironisnya, Desta dari KontraS menilai bahwa pelanggaran HAM yang terjadi hari ini bukan kasus baru, melainkan pengulangan dari berbagai kasus masa lalu yang belum tuntas. Akibatnya, terjadi “pewajaran” terhadap pelanggaran.

“Pelanggaran HAM di Indonesia hari ini bukan makin banyak, tapi masih merupakan apa yang di masa lalu itu belum dituntaskan. Jadi ada pola pikir pewajaran terhadap apa yang pernah terjadi, dan itu masih terbawa sampai hari ini,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa pola kasusnya memiliki kesamaan, meski bentuk spesifiknya berbeda, karena tidak pernah ada penyelesaian yang substantif dan berpihak pada korban.

“Ini berupa pengulangan, karena tidak pernah ada penuntasan yang benar-benar substantif, menyeluruh, dan berpihak pada korban. Bentuknya pun berbeda-beda secara spesifik, tapi secara garis besar polanya sama,” tegas Desta.

Sebagai contoh nyata, Desta menyoroti penangkapan aktivis perempuan oleh aparat kepolisian, yang ia anggap polanya sama dengan peristiwa tahun 1965.

“Kita kemarin melihat ada perempuan yang ditahan polisi ketika sedang aksi. Dulu pun juga pernah terjadi di Indonesia, misalnya pada peristiwa ’65, perempuan yang terafiliasi dengan Gerwani dianggap sebagai musuh negara,” lanjutnya.

Reporter: Nur Saylil Inayah

Editor: Vania Rossa

Tag:  #perempuan #diskriminasi #berlapis #dalam #catatan #pelanggaran #indonesia

KOMENTAR