



JKN Satu Kelas Kebijakan Kontraproduktif
PEMERINTAH via Kementerian Kesehatan akan membongkar ulang kebijakan JKN dengan memberlakukan JKN KRIS (Kelas Rawat Standar) atau lazim disebut "JKN Satu Kelas", yang akan diberlakukan pada akhir Desember 2025.
Sedianya, kebijakan tersebut diberlakukan 1 Juli 2025. Namun, diundur hingga 31 Desember 2025, karena masih banyak rumah sakit yang belum siap menerapkan.
Inti dari kebijakan JKN KRIS adalah peleburan/penghapusan kelas dalam layanan BPJS Kesehatan. Tidak ada lagi kelas 1, kelas 2, dan kelas 3; yang ada adalah "kelas standar".
Kemenkes berdalih pemberlakuan kebijakan ini, selain atas rekomendasi dari DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) juga atas mandat Perpres No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan, bahkan UU No.40/2004 tentang SJSN.
Di dalam UU SJSN disebutkan bahwa dalam hal peserta memerlukan perawatan rawat inap di rumah sakit, diberikan pelayanan kelas standar (Pasal 23 ayat 4).
Lantas, poin krusial apakah yang harus kita persoalkan jika kebijakan KRIS itu sudah mengacu pada sisi regulasi dan atas rekomendasi DJSN?
Ruang untuk mempersoalkan kebijakan JKN KRIS masih terbuka lebar, baik pada konteks regulasi maupun aspek sosio empirik.
Dari sisi regulasi, tampaknya DJSN dan Kemenkes terlalu simplistis dalam menyimpulkan terminologi kelas standar.
Sebab di dalam regulasi tersebut, baik Perpres dan UU SJSN, tidak menyebutkan secara tegas terkait terminologi kelas standar, dan sama sekali tak ada mandat untuk penghapusan kelas pelayanan itu sendiri.
Sejatinya spirit atau filosofi yang dimandatkan adalah adanya standardisasi pelayanan. Inilah yang menjadi urgensi, bukan mewujudkan kelas standar yang kemudian diejawantahkan dengan penghapusan kelas dalam layanan BPJS Kesehatan.
Jadi JKN KRIS nampaknya menjadi tafsir sepihak Kemenkes dan DJSN.
Lalu, apakah JKN KRIS mencerminkan aspek empirik, setidaknya mengacu pada data pengaduan di BPJS Kesehatan?
Tampaknya tidak juga, sebab terbukti masalah fasilitas infrastruktur pendukung di RS bukan menjadi "top ten" pengaduan konsumen peserta BPJS Kesehatan. Jadi, artinya dari sisi empirik JKN KRIS bukan menjadi aspirasi utama peserta JKN.
Lalu pertanyaannya, JKN KRIS sejatinya menjadi kebutuhan siapa?
Telisik punya telisik, spirit JKN KRIS konon mengusung kepentingan asuransi kesehatan swasta. Pasalnya, sejak diterapkan sistem JKN, kepesertaan sektor asuransi kesehatan swasta/komersial, terlihat terjun bebas.
Jika semangat ini yang diusung, maka akan menjadi preseden buruk, sebab menjadi kebijakan yang tidak netral dan akuntabel.
Apalagi baru saja OJK mengeluarkan SEOJK No.7/2025 tentang Asuransi Kesehatan, yakni dengan mengusung cost sharing bagi peserta sebesar 10 persen. Jika konsep ini diterapkan di JKN, tentu akan menghilangkan visi asuransi sosial itu sendiri.
Lalu, apa dampaknya jika Kemenkes dan DJSN tetap keukeh akan mengimplementasikan JKN KRIS pada akhir 2025?
Setidaknya ada beberapa dampak konkret: peserta JKN, atau pihak faskes/rumah sakit, bahkan finansial negara diperkirakan akan boncos
Bagi peserta JKN, implementasi JKN KRIS akan menaikkan jumlah iuran untuk kelas 3. Jadi intinya iuran untuk peserta kelas 3 akan mengalami kenaikan (lebih mahal).
Sementara itu, JKN KRIS juga akan merugikan peserta kelas 1. Pasalnya, peserta kelas 1 akan tetap membayar iuran BPJS Kesehatan sesuai kelasnya, tapi ketika opname hanya dilayani dengan ruangan kelas standar, yang secara empirik setara dengan kelas 2.
Sebab ruangan kelas standar berisi empat pasien, sedangkan untuk kelas 1 berisi 1 orang pasien, atau maksimal 2 orang pasien.
Buntutnya, jika peserta kelas 1 tidak mau dengan kelas standar, karena pelayanannya di-downgrade, maka mereka akan menolak. Bisa jadi mereka memilih ke level yang lebih tinggi, yakni pelayanan swasta mandiri dan non-JKN. Ini kerugian dua kali bagi peserta JKN kelas 1.
Kemungkinan inilah yang ditangkap oleh sektor asuransi kesehatan swasta, karena mendapatkan pasien dari kelas 1. Fenomena ini pula yang diduga JKN KRIS tampaknya ada main mata dengan sektor asuransi kesehatan swasta.
Dan dari sisi pelayanan, terkait ruangan tidak menjadi keluhan bagi peserta JKN, setidaknya tidak menjadi data pengaduan top ten di BPJS Kesehatan.
Sedangkan dari pihak RS, ada potensi menurunya jumlah utilisasi tempat tidur di rumah sakit. Di sisi lain, pihak RS harus merogoh kocek untuk revitalisasi infrastruktur pendukungnya.
Menurut penelitian, penurunan utilisasi tempat tidur di RS mencapai 30 persen, dan RS harus menggelontorkan Rp 114 miliar untuk revitalisasi infrastruktur pendukungnya. Ini hasil kajian untuk area RS di Jakarta Pusat.
Sementara untuk RS di daerah bisa jauh lebih parah. Pengalaman empirik RSUD Kota Tangerang yang menerapkan skema satu kelas lebih dulu (tanpa beban JKN), pendapatannya hanya 38 persen saja. Sisanya 62 persen menjadi beban APBN untuk gaji pegawai dll.
Jadi, sebaiknya Kemenkes jangan memaksakan skema JKN KRIS. Program itu justru akan menyusahkan dan merugikan peserta JKN, merugikan RS, atau bahkan merugikan finansial APBN dengan melonjaknya iuran golongan peserta PBI.
Memang masyarakat sebagai peserta JKN memerlukan standardisasi pelayanan karena selama ini belum ada standar pelayanan yang jelas, khususnya untuk kelas 3.
Namun, bukan berupa kelas standar yang notabene melebur kelas peserta JKN. Pelayanan di kelas 3 memang perlu standar, perlu up grade, tetapi seharusnya tidak mengutak-atik kelas di atasnya, yakni kelas 2 dan kelas 1.
Jika Kemenkes punya tujuan lain, misalnya untuk menyelamatkan finansial BPJS Kesehatan, maka bukan dengan merombak sistem kelas dengan JKN satu kelas.
BPJS bisa mengintervensi kebijakan untuk mewujudkan gaya hidup sehat, misalnya dengan pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak.
Plus pengendalian konsumsi rokok dengan mengimplementasikan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Sebab, menurut data BPJS Kesehatan, uang iuran justru tergerus oleh dominannya pasien penyakit katastropik, seperti stroke, kanker, jantung koroner, dan diabetes melitus.
Pada 2024, BPJS Kesehatan menggelontorkan Rp 37 triliun untuk penanggulangan jenis penyakit-penyakit ini.
Itulah seharusnya yang menjadi fokus kebijakan Kemenkes sebagai regulator, bukan merombak sistem kelas yang justru akan menjadi kebijakan kontraproduktif.