



Dedi Mulyadi Vs Mendagri: Hindari Kebingungan Publik!
BEBERAPA hari lalu, polemik terbuka antara Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mencuat. Kali ini terkait penggunaan hotel untuk kegiatan pemerintahan.
Argumen keduanya, efisiensi di satu sisi dan pemulihan ekonomi di sisi lain, terlihat masuk akal.
Namun yang menjadi persoalan, perbedaan itu tidak berhenti di level administratif. Ia menyebar luas di ruang publik, dikemas sebagai simbol konflik pusat dan daerah, dan viral dalam waktu singkat di media daring.
Fenomena seperti ini bukan peristiwa baru. Kita masih mengingat bagaimana Gubernur DKI Jakarta periode 2017 sampai 2022, Anies Baswedan, kerap bersikap berbeda dari pemerintah pusat, baik dalam isu penanganan banjir, transportasi, maupun pandemi.
Dalam kerangka otonomi daerah, perbedaan memang dimungkinkan. Namun, dalam hal komunikasi publik, yang kita saksikan adalah kekacauan koordinasi dan tidak selarasnya narasi antarpemimpin.
Masalah utamanya tetap sama, yaitu lemahnya koordinasi komunikasi antara tingkat pusat dan daerah.
Di tengah sistem pemerintahan yang makin kompleks dan terbuka, kelemahan ini tidak lagi sekadar persoalan teknis, tetapi menyentuh kredibilitas pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam kasus terbaru, pemerintah pusat melalui Mendagri menyarankan agar kegiatan pemerintahan kembali dilaksanakan di hotel. Tujuannya mulia, yakni untuk menggerakkan sektor jasa dan mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi.
Namun, Gubernur Jawa Barat menolaknya secara terbuka. Ia memilih langkah penghematan dan simbol kepemimpinan yang lebih membumi.
Sementara Wali Kota Bandung M Farhan justru mendukung kebijakan pusat, karena menganggapnya selaras dengan kebutuhan kota yang berbasis ekonomi jasa.
Alih-alih dilihat sebagai dinamika sehat, perbedaan ini berubah menjadi tontonan friksi vertikal di hadapan publik.
Kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) bingung, publik pun bertanya-tanya. Di sinilah urgensi Government Public Relations atau GPR seharusnya tampil, bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menyatukan pesan dan membangun harmoni antarlembaga.
Ketika satu aktor bicara tentang efisiensi, dan aktor lainnya menyoroti pemulihan ekonomi, seharusnya keduanya bisa berjalan beriringan.
Namun, karena tidak ada koordinasi komunikasi, yang muncul justru persepsi pertentangan. Inilah yang disebut Liu dan Horsley (2021) sebagai kegagalan GPR dalam membangun kepercayaan publik melalui penyelarasan pesan kebijakan dan transparansi lintas aktor pemerintahan.
Strategi terintergrasi
Belajar dari pengalaman negara lain, Selandia Baru saat menghadapi pandemi COVID-19 berhasil menyampaikan pesan terpadu.
Di bawah kepemimpinan Jacinda Ardern, mereka menerapkan satu gaya komunikasi nasional yang empatik, juru bicara yang konsisten, serta penggunaan pusat informasi tunggal.
Strategi komunikasi publik ini mereka kemas dalam narasi nasional yang dikenal dengan sebutan “Go Hard, Go Early.”
Sementara di Norwegia, strategi komunikasi publik bernama Kommunikasjonsstrategi diterapkan dalam kebijakan iklim dan energi.
Dalam model ini, semua aktor lokal dilibatkan sejak tahap awal perumusan kebijakan. Hasilnya adalah pesan publik yang seragam, tidak tumpang tindih, dan terasa dimiliki bersama.
Menurut Lee dan van Ruler (2023), keberhasilan komunikasi pemerintah sangat tergantung pada kemampuan membangun koordinasi horizontal dan vertikal, terutama di tengah tekanan publik dan sorotan media.
GPR tidak cukup hanya menginformasikan kebijakan. Ia harus membangun ruang diskusi terbuka, menciptakan keselarasan antarpemangku kepentingan, dan menghindarkan publik dari kebingungan.
GPR hari ini harus menjadi fasilitator komunikasi antarlevel, bukan hanya juru bicara. Pemerintah butuh pola komunikasi berbasis dialog terstruktur yang memperhatikan siapa menyampaikan, kapan, kepada siapa, dan dalam konteks apa.
GPR juga perlu peka terhadap konteks lokal. Bagi Kota Bandung, misalnya, kebijakan Mendagri bisa dirasakan relevan.
Namun, di daerah lain dengan tantangan fiskal berbeda, pendekatan ala Gubernur Dedi Mulyadi lebih sesuai. Perbedaan ini bukan masalah, selama bisa dikemas dalam satu narasi nasional yang utuh.
Akhirnya, membangun kepercayaan dalam demokrasi modern bukan hanya soal transparansi anggaran atau antikorupsi. Ia juga soal bagaimana para pemimpin menyampaikan kebijakan secara konsisten dan saling mendukung.
Jika komunikasi publik tidak terkoordinasi, maka bukan hanya kebijakan yang kehilangan daya persuasi, tetapi juga wibawa pemerintah secara keseluruhan.