



Viral Kisah Devit Febriansyah Keterima Kuliah di ITB, Warga Sampai Ikut Patungan
- Di tengah gegap gempita selebrasi kelulusan, satu kisah mengaduk emosi dan membetot perhatian publik: Devit Febriansyah (18), siswa SMAN 1 Bukittinggi, dijemput langsung oleh Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., dari rumah sederhananya di lereng Gunung Singgalang.
Adegan haru ini bukan hanya jadi momen viral di media sosial, tapi juga menguak kenyataan getir: betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk mengakses pendidikan tinggi di Indonesia.
Kisah ini pertama kali mencuat lewat unggahan Imam Santoso, dosen ITB sekaligus influencer pendidikan, pada akun Instagramnya @santosoim, Senin (9/6).
Dalam video yang ia bagikan, terlihat Devit, yang diterima di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI-ITB), gemetar saat melihat sang rektor datang langsung menemuinya.
“Diarak Rektor di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Devit dari SMAN 1 Bukittinggi keterima STEI, tremor, tau ada Pak Rektor,” tulis Imam.
Di balik senyum bangga dan air mata haru keluarga, tersembunyi kisah perjuangan yang getir. Ayah Devit, Julimar, adalah kuli angkut kayu manis dengan penghasilan tak menentu, sementara ibunya, Doni Afrijal, menyisir kayu manis untuk bertahan hidup.
Namun dari rumah sederhana itu, lahir mimpi besar yang akhirnya menembus tembok ITB, kampus bergengsi yang masih terasa seperti menara gading bagi banyak anak daerah.
Ketika Prof. Tata dan istrinya tiba di rumah Devit, mereka disambut tangis bahagia yang tak bisa ditahan. Sang ibu langsung dipeluk istri sang rektor, dan isak tangis pun pecah.
"Ayah Ibu Devit nangis sesenggukan, termasuk Prof Tata," lanjut Imam dalam unggahannya.
Rektor ITB itu bahkan memberikan hadiah berupa topi kampus kepada Devit, simbol pengakuan sekaligus penyemangat untuk perjalanan panjang yang akan datang.
Namun perjalanan Devit tidak berhenti di selebrasi emosional. Justru, perjuangan sesungguhnya baru dimulai. Meski lolos lewat jalur prestasi, kenyataan bahwa biaya kuliah, ongkos hidup di kota besar, dan perlengkapan penunjang kuliah bukan perkara kecil, tetap membayangi.
Keluarga Devit tidak mampu membiayai semua itu. Maka, warga sekampung pun bergerak: mereka patungan, mengumpulkan uang mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per orang demi membantu keberangkatan Devit ke Bandung.
“Devit keterima ITB bikin bangga sekampung,” tulis Imam sambil memperlihatkan isi grup WhatsApp warga yang menunjukkan betapa solidaritas kampung menjadi penopang utama cita-cita seorang anak bangsa.
Sebagai bentuk dukungan lebih lanjut, Paragon Corp pun turut memberikan bantuan: sebuah laptop, uang tunai untuk bekal, dan produk lainnya untuk Devit.
Tetapi semua hadiah dan dukungan itu tetap tidak bisa menutupi kenyataan menyakitkan bahwa akses ke pendidikan tinggi masih menjadi kemewahan, bukan hak dasar, di negeri ini.
Devit bukan satu-satunya. Prof. Tata juga mengunjungi dua calon mahasiswa lain yang senasib: Nauli Al Ghifari dari SMAN 1 Bukittinggi dan Deka Fakira Berna dari SMAN 1 Padang. Mereka semua adalah bukti bahwa anak-anak dengan kemampuan luar biasa bisa muncul dari pelosok negeri—asal diberi kesempatan.
“Di kampus nanti, kalian akan bertemu banyak mahasiswa hebat. Harus tetap berusaha yang terbaik dan jangan putus asa,” kata Prof. Tata dalam pesannya kepada ketiganya.
Namun ironinya, di balik euforia dan pujian atas kisah-kisah ini, tersimpan kegagalan sistemik, mengapa anak-anak seperti Devit harus melalui drama sosial semacam ini hanya untuk menuntut ilmu? Mengapa biaya pendidikan tinggi masih jadi mimpi yang terlalu mahal?
Kisah Devit adalah puncak dari gunung es ketimpangan akses pendidikan di Indonesia. Sebuah cerita haru yang menghangatkan hati, sekaligus menampar kesadaran kita semua bahwa di negeri ini, kecerdasan saja belum cukup.
Tanpa uang, tanpa gotong royong warga, dan tanpa keajaiban perhatian publik, mungkin Devit hanya akan jadi satu dari ribuan anak pintar yang gagal kuliah karena miskin.
Kini, Devit telah memulai langkahnya. Tapi kisah ini belum berakhir dan tak seharusnya jadi pengecualian yang dirayakan. Kisah Devit seharusnya menjadi panggilan darurat: bahwa pendidikan, seharusnya tidak sesulit ini untuk diakses.
Tag: #viral #kisah #devit #febriansyah #keterima #kuliah #warga #sampai #ikut #patungan