



Menjaga Marwah Kolegium: Antara Independensi Akademik dan Reformasi Sistemik
SEJAK disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, satu diskursus yang tak kunjung surut ialah keberadaan dan status kolegium.
Sejumlah guru besar menyatakan keberatan, bahkan melayangkan gugatan ke PTUN, atas pembentukan kolegium versi pemerintah yang dianggap mereduksi independensinya.
Sebagai dokter spesialis, pendidik akademik, dan pembantu penasihat presiden bidang kesehatan, saya menghargai kegelisahan itu.
Namun, saya juga percaya bahwa kita sedang menyaksikan pergeseran sistemik yang perlu dimaknai secara jernih—bahwa kolegium perlu dibebaskan bukan hanya dari intervensi negara, tetapi juga dari dominasi organisasi profesi yang selama ini terlalu terpusat.
Selama lebih dari dua dekade, kolegium di Indonesia berada dalam ranah organisasi profesi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa fungsi kolegium sering tumpang tindih dengan fungsi organisasi.
Penetapan standar kompetensi, kurikulum, dan uji kompetensi acap kali tak lepas dari kepentingan kelompok tertentu.
Hal ini menyulitkan regenerasi, menutup ruang evaluasi independen, dan menempatkan kolegium dalam posisi dilematis: antara menjaga objektivitas akademik atau tunduk pada keputusan struktural profesi.
Dalam sistem baru, kolegium diposisikan sebagai organ ilmiah di bawah naungan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), dengan mandat langsung dari presiden.
Kemenkes bukan pemiliknya, tetapi fasilitatornya. Status ini memberikan dasar hukum yang kokoh, sekaligus menjaga akuntabilitasnya terhadap publik, bukan terhadap satu golongan.
Mekanisme pemilihan anggota kolegium dilakukan secara demokratis melalui seleksi terbuka dan voting oleh tenaga medis—berbeda dengan sistem lama yang cenderung tertutup dan elitis.
Adakah jaminan bahwa sistem baru ini sempurna? Tentu tidak. Namun, seperti halnya semua proses reformasi, perbaikan mesti dilakukan terus-menerus, bukan dengan menolak perubahan.
Kekhawatiran bahwa kolegium kehilangan independensi justru bisa dijawab dengan mendorong mekanisme akuntabilitas baru yang partisipatif: publikasi dokumen kerja kolegium, transparansi anggaran, audit berkala, dan keterlibatan akademisi lintas kampus dalam pembentukan standar.
Kritik yang belakangan mengemuka—terutama mengenai biaya uji kompetensi (UKMPPD dan UKMPPG)—perlu dilihat secara proporsional.
Sistem lama pun tidak pernah sepenuhnya gratis. Justru yang kini dibutuhkan adalah pemetaan biaya nyata dan penyusunan skema subsidi oleh negara atau beasiswa institusional agar tidak memberatkan peserta.
Isu bukan pada nominal semata, melainkan pada kejelasan penggunaan, efektivitas penyelenggaraan, dan keadilan akses.
Saya percaya, perubahan ini akan membangun kolegium yang lebih profesional, terbuka, dan otonom secara keilmuan.
Kolegium seharusnya menjadi lembaga akademik yang berdiri di atas integritas ilmu, bukan dikooptasi oleh organisasi profesi maupun dikendalikan birokrasi.
Ia adalah "penjaga gerbang mutu" tenaga medis—yang harus bebas dari kepentingan sempit dan berdiri tegak atas dasar evidence dan etika keilmuan.
Reformasi sistem kesehatan tak akan bisa sempurna jika hanya mengutak-atik regulasi tanpa membenahi fondasi akademiknya.
UU 17/2023 memberikan peluang itu—bukan untuk menghapus kolegium, melainkan menata ulang dalam sistem yang lebih adil, transparan, dan egaliter.
Bila ruang ini dikelola dengan benar, kita bisa mendorong pendidikan kedokteran yang lebih mutakhir, adaptif, dan terhubung dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Akhirnya, sebagai bagian dari komunitas medis, akademisi, dan juga pelayan negara, saya ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak terjebak dalam ketegangan struktural, melainkan kembali ke semangat substantif: mencetak tenaga kesehatan unggul demi kemaslahatan bangsa.
Kolegium bukan milik satu kelompok. Kolegium adalah milik Indonesia.
Tag: #menjaga #marwah #kolegium #antara #independensi #akademik #reformasi #sistemik