



Sidang 11 Gugatan UU TNI: Pemohon dari Mahasiswa hingga Anak Presiden
- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk 11 gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Jumat (9/5/2025).
Gugatan ini diajukan oleh beragam latar belakang, baik dari mahasiswa, karyawan swasta, ibu rumah tangga, hingga anak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid.
Namun, Inayah tidak bersidang, karena gugatan masih masuk dalam permohonan dan belum diregistrasi sebagai perkara.
Dilansir dari laman website Mahkamah Konstitusi, dari sebelas gugatan, sembilan di antaranya menggugat uji formil pembentukan UU TNI yang baru ini, karena dinilai cacat prosedur.
Kemudian, satu berfokus pada uji materiil, satu gugatan menggugat uji formil dan uji materiil.
Mayoritas penggugat adalah mahasiswa, beberapa di antaranya terdapat karyawan swasta, hingga seorang advokat.
Gugatan materiil terkait jabatan sipil
Selain uji formil proses pembentukan undang-undang, salah satu gugatan berfokus pada uji materiil pasal yang diubah dalam revisi UU TNI.
Pasal tersebut terkait dengan pendudukan TNI aktif pada jabatan sipil yakni Pasal 47 Ayat 2.
Gugatan dengan nomor 68/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Prabu Sutisna, seorang advokat beserta lima konsultan hukumnya.
Pada pokok permohonan, mereka meminta agar pasal itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, kecuali dimaknai seorang anggota TNI yang menduduki jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Pasal yang sama juga digugat seorang mahasiswa bernama Bilqis Aldila Firdausi bersama dua orang rekan mahasiswanya juga.
Dalam gugatannya, Bilqis meminta pasal yang sama dengan gugatan uji materiil agar membatasi jabatan sipil yang boleh dijabat hanya terkait dengan pertahanan secara spesifik saja.
Gelombang gugatan setelah diundangkan
Gelombang gugatan Undang-Undang TNI ini dilakukan oleh masyarakat sipil sehari sejak produk hukum ini disahkan 20 Maret 2025 oleh DPR-RI.
Gugatan pertama dilakukan oleh tujuh mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia pada 21 Maret 2025.
Gugatan uji formil dengan perkara 45/PUU-XXIII/2025 yang diajukan ini bahkan belum menulis nomor objek gugatan, karena UU TNI saat itu belum diberikan penomoran.
Permohonan gugatan lainnya kemudian menyusul pada 19 April 2025, dari seorang karyawan swasta bernama Christian Adrianus Sihite, dan rekannya Noverianus Samosir dengan perkara 55/PUU-XXIII/2025.
Dua hari setelahnya, pada 21 April 2025, tiga mahasiswa bernama Muhammad Bagir Shadr, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, dan Thariq Qudsi Al Fahd mengikuti jejak lainnya dengan nomor perkara 56/PUU-XXIII/2025.
Disusul perkara nomor 57, 58, 66, 68, 69, 74, 75, dan 79 PUU-XXIII/2025 akan disidangkan di hari yang sama untuk gugatan UU TNI.
Cacat formal
Penggugat pertama dari mahasiswa UI dengan kuasa hukum Abu Rizal Biladina, mengatakan, gugatan mereka dilayangkan karena dinilai ada kecacatan prosedural dalam revisi UU TNI.
"Alasan kami menguji itu karena kami melihat ada kecacatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan a quo. Jadi, sehingga ya kami menyatakan bahwasanya Undang-Undang tersebut inkonstitusional secara formal," kata Rizal, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Ada lima pokok permohonan atau petitum yang dilayangkan para pemohon. Pertama, meminta MK mengabulkan seluruh permohonan.
Kedua, menyatakan UU TNI yang baru disahkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Lalu yang ketiga, itu tentunya kami meminta bahwasanya Undang-Undang tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945," imbuh dia.
Keempat, mereka meminta agar MK menghapus norma baru dalam UU TNI yang baru disahkan dan mengembalikan norma lama sebelum terjadinya revisi.
"Kelima, seperti biasa memerintahkan keputusan dimuat ke dalam berita negara," kata Rizal.
Hentikan penerapan sebelum MK putuskan
Gugatan para pemohon dengan 11 perkara yang berbeda ini hampir sama, menginginkan agar UU TNI batal demi hukum.
Seperti yang disebutkan dalam gugatannya, koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor pertahanan yang tercatat sebagai pemohon terakhir sebelum sidang perdana judicial review UU TNI di MK.
Anggota koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arief Maulana, mengatakan, tuntutan dalam provisi meminta agar MK menunda pemberlakuan UU TNI dalam putusan sela, sebelum ada putusan final dan mengikat.
"Putusan sela atau putusan provisi agar Mahkamah Konstitusi, para Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk kemudian menunda pemberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi. Itu yang pertama," ujar Arief, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu.
Dalam provisi, Arief juga meminta agar MK memerintahkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak menerbitkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan UU TNI yang baru.
"Kami juga kemudian menuntut dan juga meminta kepada Hakim Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengeluarkan kebijakan dan atau tindakan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang, revisi Undang-Undang TNI sampai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi," ucap dia.
Masih dalam provisi, permintaan agar eksekutif tidak mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan UU TNI yang baru harus diterapkan di segala sektor, termasuk untuk kementerian, lembaga, dan badan terkait.
"Agar tidak terjadi pelanggaran konstitusi yang kemudian berdampak pada berbagai pelanggaran hak asasi manusia atau kerugian masyarakat," tutur dia.
Kemudian, dalam pokok permohonan, Arief mengatakan, koalisi masyarakat sipil meminta agar seluruh Hakim MK menyatakan UU TNI Nomor 3/2025 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga kemudian UU 34/2004 tentang TNI seluruhnya diberlakukan kembali," ujar dia.
Tag: #sidang #gugatan #pemohon #dari #mahasiswa #hingga #anak #presiden