



Darurat Mega Korupsi: Ilusi Negara Hukum?
KASUS dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun, serta kasus megakorupsi timah yang belakangan viral dengan estimasi kerugian mencapai Rp 271 triliun, apakah sinyal betapa buruknya sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia atau tanda kebangkitan pemberantasan korupsi di negara kita?
Angka-angka ini bukan sekadar bombastis secara statistik; ini adalah bukti nyata bahwa sumber daya negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru dijarah oleh segelintir elite yang memanfaatkan celah dalam sistem.
Janji pemberantasan korupsi selalu menjadi retorika klasik dalam setiap rezim. Namun, realitasnya berbicara lain.
Hingga kini, tidak ada satu pun tindakan konkret yang menunjukkan keberanian politik yang sesungguhnya dalam membongkar mafia korupsi di Indonesia.
Justru yang terlihat adalah mengemukanya kasus-kasus korupsi besar (mega korupsi) dan pelemahan sistematis terhadap lembaga-lembaga antikorupsi, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membersihkan negara dari penyakit ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dulu digdaya, kini seakan menjadi "macan ompong" setelah mengalami berbagai intervensi politik dan revisi UU KPK pada 2019 yang mereduksi independensinya.
Sementara itu, para koruptor besar tetap melenggang, mungkin hanya perlu “beristirahat” sebentar di balik jeruji sebelum kembali menikmati kemewahan hidup.
Apakah ini yang dimaksud dengan efek jera?
Banyaknya kasus korupsi berskala besar yang terus bermunculan mengindikasikan bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia tidak cukup memberikan efek jera.
Lihat saja bagaimana korupsi di sektor energi dan sumber daya alam terus berulang. Skandal Pertamina dan timah (mungkin) hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih mendalam, yakni adanya kongkalikong antara birokrat, politisi, dan pengusaha dalam mengakali sistem demi kepentingan pribadi.
Situasi ini semakin diperparah dengan lemahnya pengawasan di sektor strategis dan budaya impunitas yang masih kental.
Tidak heran jika Transparency International mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2023, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (47) dan Singapura (83).
Dampak dari maraknya korupsi bukan hanya pada defisit keuangan negara, tetapi juga pada kepercayaan investor.
Indonesia berambisi menjadi negara tujuan investasi, tetapi bagaimana mungkin para investor percaya pada negara yang sistem hukumnya dapat dibeli?
Dalam laporan Bank Dunia, korupsi disebut sebagai salah satu faktor utama yang menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.
Kepercayaan internasional terhadap sistem ekonomi kita tergerus akibat ketidakpastian hukum dan maraknya skandal korupsi.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka jangan heran jika Indonesia semakin terpuruk dalam daftar negara-negara dengan risiko investasi tinggi.
Tidak ada cara lain selain melakukan upaya luar biasa untuk menyelesaikan persoalan korupsi yang sudah gila-gilaan ini.
Pemerintah tidak cukup hanya dengan pidato bombastis, tetapi harus berani melakukan reformasi sistem hukum yang tegas, memperkuat kembali KPK dan lembaga penegakan hukum kita, dan menutup semua celah yang memungkinkan praktik korupsi terjadi.
Selain itu, hukuman bagi koruptor harus benar-benar memberi efek jera, termasuk menyita seluruh aset yang diperoleh dari hasil korupsi (undang-undang perampasan aset) dan memastikan mereka tidak bisa lagi mengakses jabatan publik.
Jika perlu, kita adopsi model hukuman berat seperti di China, bukan sekadar hukuman ringan dengan fasilitas istimewa (ilusi negara hukum).
Sejarawan dan filsuf kontemporer Yuval Noah Harari, dengan tegas menyatakan bahwa "Korupsi modern tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi telah menjadi sistem yang terstruktur dalam politik dan ekonomi".
Ini adalah cerminan nyata dari kondisi di Indonesia, di mana skandal demi skandal bukan hanya melibatkan oknum, tetapi merupakan produk dari sistem yang memungkinkan praktik tersebut berulang kali terjadi.
Kasus mega korupsi seperti tata kelola minyak mentah, tambang timah, hingga penyalahgunaan dana bansos menunjukkan bahwa korupsi telah berakar begitu dalam di berbagai sektor strategis negara.
Indonesia berada di persimpangan jalan: menjadi negara dengan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan, atau terus terjebak dalam lingkaran korupsi yang membuatnya menjadi negara gagal.
Jika pemerintah masih setengah hati dalam bertindak, maka bukan tidak mungkin di masa depan kita akan kehilangan kepercayaan tidak hanya dari masyarakat sendiri, tetapi juga dari dunia internasional.
Harga yang terlalu mahal untuk negara yang bercita-cita menjadi kekuatan ekonomi global (Indonesia Emas).
Tanpa tindakan luar biasa, Indonesia bukan hanya berisiko kehilangan investasi asing dan kepercayaan global, tetapi juga akan terus terjebak dalam siklus kemunduran yang mengancam masa depan generasi mendatang.