Gastrokolonialisme Berbalut Altruisme, Ketika Donasi Makanan Bergizi Terlalu Andalkan Produk Olahan
Ilustrasi donasi makanan(Shutterstock/BestDeals)
07:35
31 Oktober 2025

Gastrokolonialisme Berbalut Altruisme, Ketika Donasi Makanan Bergizi Terlalu Andalkan Produk Olahan

Awam barangkali bertanya-tanya tentang dua kata yang tak lazim digunakan orang sebagai judul tulisan saya.

Pertama, gastrokolonialisme: mengacu pada imbas penjajahan terhadap kebiasaan makan, agrikultur dan distribusi pangan yang berisiko menggantikan pangan lokal sekaligus berkontribusi terhadap masalah kesehatan, konteks ‘siapa yang diuntungkan’, disrupsi budaya lokal hingga kedaulatan pangan suatu bangsa berada dalam ‘bahaya’.

Kedua, altruisme: yaitu perilaku mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain secara suka rela, yang didorong rasa empati, kepedulian dan tanggung jawab sosial tanpa mengharapkan imbalan.

Tidak ada yang meragukan sikap altruisme Presiden jauh sebelum riuh rendah Makan Bergizi Gratis muncul.

Beberapa kali beliau mengungkapkan keprihatinannya soal anak sekolah tidak sarapan, bahkan disebut dalam salah satu pidatonya, “ada anak yang sehari-hari hanya bisa makan nasi pakai garam”.

Di banyak organisasi bahkan instansi pemerintah, bukan hal baru muncul gerakan orangtua asuh, juga aneka kegiatan CSR (corporate social responsibility) sebagai komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan - apalagi saat gencarnya penanggulangan stunting didengungkan.

Donasi bergizi yang mengandalkan produk olahan

Yang menjadi pertanyaan menarik: upaya karitatif seputar “donasi bergizi” mempunyai pola sentral pemahaman yang sama, bagi-bagi produk industri yang berkonotasi “kaya nutrisi” bukan versi negri sendiri.

Acuannya justru apa yang dianggap mewah di era penjajahan, ketika pribumi pemakan singkong minder dengan kulit putih peminum susu dan pemakan roti.

Bahkan, slogan empat sehat lima sempurna yang sudah punah itu masih hidup bayang-bayang arwahnya hingga hari ini.

Para ibu disindir pelit jika tidak bisa membeli susu formula, bahkan dianggap egois memaksakan diri memberi ASI hingga dua tahun.

Pun selepas disapih, para orangtua masih merasa bersalah jika tidak mampu membelikan anaknya susu.

Bekal sekolah berisi ubi dan dadar telur dianggap makanan diet, sementara banyak ibu merasa bangga bisa pamer biskuit mahal, aneka minuman berpemanis dalam kemasan - yang katanya menyehatkan usus dan ‘memperbaiki penyerapan nutrisi’.

Begitu sliweran yang beredar di media sosial, dipercaya setengah mati bahkan banyak sekolah mengizinkan promosi besar-besaran produknya di lingkungan pendidikan yang mestinya netral, bebas iklan.

Menyiasati intoleransi laktosa pada etnik Melayu, industri susu tidak hilang akal. Belakangan ini semakin marak kemasan UHT minuman berpemanis aneka rasa yang masih berani menyebut diri sebagai ‘susu’ - padahal kandungan susunya hanya 30%.

Suatu kenyataan miris sekaligus pembodohan telak, apabila produk ini disamakan dengan susu utuh yang digunakan sebagai bahan studi di negeri orang dengan segala manfaatnya - jika dikonsumsi oleh etnik yang tidak dominan intoleran terhadap laktosa.

Lebih mengenaskan lagi, jika ada orang penting yang tega-teganya menyebut konsumsi susu bikin badan tinggi seperti orang-orang barat.

Konteks salah pikir yang fatal, yang mengesampingkan faktor genetik serta aneka kontributor lain sebagai pencegah postur pendek akibat gangguan gizi kronik dan infeksi berulang di masa balita.

Begitu pula masifnya konsumsi pangan berbahan dasar gandum - yang tidak tumbuh di negri kita. Bahkan, generasi muda saat ini tidak banyak yang paham soal itu. Dikiranya makan mi, aneka pasta, roti, biskuit adalah bagian dari globalisasi ‘yang melokal’.

Begitu pula menyumbang kelompok rentan dengan berdus-dus susu dan biskuit kerap dianggap donasi bergizi.

Dengan bangganya mereka menebar senyum di foto, dan yang disumbang pun merasa ‘bersyukur’ bisa ‘menikmati’ aneka susu dan produk terigu yang selama ini dianggap mewah.

Ancaman kesehatan di balik produk ultra proses

Di balik semua kemasan menarik warna-warni dan janji-janji nutrisi, terselip begitu banyak ancaman di kemudian hari.

Sebagai produk ultra proses, selain rentan tinggi gula dan lemak trans, juga sebenarnya sudah kehilangan kebaikan dari produk utuhnya.

Proses pabrikan membuat bahan pangan utuh tinggal pati atau sebagian kecil mineral tersisa, sehingga perlu diimbuhi premiks atau fortifikasi vitamin, mineral, serat yang bukan sebenar-benarnya dari bahan asalnya.

Apakah produk seperti itu sepenuhnya buruk dan bahan pangan alami yang masih utuh dijamin selalu baik? Itu bukan pertanyaan bijak, sebab bukan perbandingan yang bisa dianggap setara.

Ada produk-produk olahan yang memang ditujukan untuk kondisi metabolik tertentu dengan pantauan ketat tenaga kesehatan. Yang pasti bukan makanan minuman rekreasional.

Yang pasti, produk ultra proses mempunyai banyak kasta dan kualitas. Awam terlalu sulit untuk bisa memilih dengan bijak, bukan hanya sebatas rendah gula garam dan lemak.

Lagi pula kelompok rentan - sebutlah anak, remaja dan mereka dengan status sosial ekonomi rendah - yang masih belum mempunyai pertimbangan bijak, pada saat kecanduan sudah terbentuk, maka mereka akan beli apa pun sebatas kemampuannya.

Di negara asal dari mana produk ultra proses ini berasal, sudah begitu banyak studi bahkan dengan hirarki tertinggi meta-analisis menjelaskan berbagai risiko masa depan.

Mulai dari gangguan metabolisme pada anak dan dewasa, sumbangan terhadap gangguan perilaku, konsentrasi belajar/fokus, performa akademik, timbulnya masalah jantung dan pembuluh darah, hingga kematian dini yang telah diteliti di 8 negara, yakni Colombia, Brasil, Chili, Meksiko, Australia, Kanada, Inggris dan Amerika Serikat.

Sebagai negara kaya dengan sumber daya alam yang amat banyak, terlalu menyedihkan jika kita membagi produk kemasan dan aneka susu sebagai ungkapan altruisme.

Atas nama kepraktisan dan efisien, donasi mulia menjadi sia-sia bahkan membawa petaka. Semangat berbagi mestinya tidak boleh setengah-setengah.

Belajar dari kearifan lampau, kemahiran nenek moyang kita tanpa lemari pendingin dan dapur eklektrik bisa menghasilkan aneka jajan pasar yang tidak mudah basi, apalagi telur pindang kaya manfaat yang bisa dibagi-bagi, dengan nutrisi yang masih berisi.

Tag:  #gastrokolonialisme #berbalut #altruisme #ketika #donasi #makanan #bergizi #terlalu #andalkan #produk #olahan

KOMENTAR