Konstruktivisme YOLO dan YONO
CAROL Dweck (2021) kembali mengingatkan pada dunia tentang bagaimana individu memandang diri dan keluarga, melalui teori diri (Self Theory).
Teori ini berbunyi bahwa individu manusia, membangun atau membentuk sendiri cara pandangnya terhadap dirinya sendiri, dan pada gilirannya membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Maknanya, cara hidup seseorang di dunia, banyak dipengaruhi oleh cara yang bersangkutan memandang diri sendiri.
Jika seseorang memandang dirinya adalah petarung, maka ia akan menganggap dunia adalah arena kompetisi.
Demikian pula jika seseorang sangat inferior, maka ia akan menganggap dunia sebagai ancaman yang menakutkan bagi eksistensinya.
Nah, hari ini, banyak sekali pengaruh dari luar yang memengaruhi bagaimana individu memandang dirinya sendiri.
Sehingga pada akhirnya, banyak individu yang hidup sesuai dengan bagaimana ia ingin dipersepsi oleh orang lain atau the social me.
Sehingga lambat laun, ia dapat kehilangan kesejatian dirinya (the real me), demi mempertahankan persepsi publik terhadap dirinya.
Konstruktivisme
Maka pemahaman tentang konstruktivisme menjadi penting. Konstruktivisme adalah bagaimana individu mengambil pelajaran atau mengumpulkan hikmah secara mandiri dari apa yang dengan sengaja dipelajarinya.
Perihal gaya hidup, hari ini dunia global terus menawarkan ragam 'cara hidup baru'. Yang sedang ramai dibicarakan adalah YOLO (You Only Live Once) dan YONO (You Only Need One).
Maka, bagaimana seharusnya kita meresponnya agar tidak menjadi korban dari ideologi pemikiran yang terus menerus membombardir setiap hari?
Manusia, dengan segala anugerah akal dan qalbunya, sejatinya selalu punya kendali untuk merespons apapun yang datang kepadanya. Kedewasaan dan ketenangan berpikir adalah kunci.
YOLO, hari ini sering dimaknai negatif, yaitu "karena hidup hanya sekali, maka raihlah kesenangan dan kepuasan sebanyak-banyaknya".
"Ikutlah segala yang sedang tren dan mengasyikkan. Jangan ketinggalan berbagai produk, komoditas, mungkin konser musik, penawaran liburan hemat dan lain sebagainya. Biaya? toh bisa dibayar belakangan."
Maka, melalui perjalanan hidup dan dinamika yang panjang, sejatinya genarasi Y dan X, bisa selalu menasihati generasi Z untuk melihat YOLO dari perspektif berbeda.
Kamu hanya hidup sekali, maka jangan disia-siakan untuk melakukan hal yang paling penting dalam kehidupan, yaitu bekal kebaikan-kebaikan.
Setiap kali ada desir hati untuk melakukan kebaikan, jangan ditunda-tunda dan disia-siakan. Segera laksanakan.
Peluang mencari kesenangan dan kepuasan selalu datang silih berganti, tapi peluang untuk berbuat baik dan bermanfaat belum tentu datang berkali-kali.
Kesempatan untuk mengumpulkan bekal kebaikan, inilah yang perlu diprioritaskan, karena hidup hanya sekali.
Bahkan pada level tertentu berbuat kebaikan yang tulus pada orang lain (altruisme) dapat menghadirkan kebahagiaan yang lebih sejati.
Sehingga YOLO dapat diperluas spektrumnya, yaitu dengan memanfaatkan waktu kehidupan yang tersisa, untuk terus dan senantiasa berbagi kebaikan pada sesama.
Membangun mentalitas gembira melihat orang lain gembira. Senang melihat orang lain senang.
Maka, melalui pemahaman ini, YONO dapat terus dibangun dengan optimistis, bahwa kita sesungguhnya tidak banyak membutuhkan ini dan itu, melalukan hanya satu, yaitu bekal perjalanan pulang.
Kita butuh catatan kebaikan demi kebaikan. Kita tidak butuh banyak. Justru melalui berbuat baik, kita akan terus mendapatkan pemahaman yang utuh tentang apa yang sebenarnya satu hal penting (needs) yang kita butuhkan, yaitu beribadah kepada Sang Pencipta dan berbuat baik pada sesama.
Maka, melalui terus memupuk dorongan berbagai kebaikan (pro-social behavior), YOLO dan YONO dapat berjalan beriringan dan seirama.
Tag: #konstruktivisme #yolo #yono