Yordania Pilih Damai dengan Israel Ketimbang Perang Berlanjut di Gaza, Trauma Tragedi Nakba?
Dia mengatakan, perdamaian dengan Israel tetap menjadi pilihan strategis meskipun perang antara Israel dengan militan Palestina, Hamas, masih berkecamuk di Jalur Gaza.
Yordania adalah negara yang berbatasan langsung dengan Tepi Barat yang saat ini dihuni warga Palestina dan dijajah Israel sejak lama.
Yordania khawatir perang Hamas-Israel di Gaza bisa meluas ke aksi kekerasan yang dilakukan oleh pemukim bersenjata dan efeknya memicu eksodus besar-besaran warga Palestina ke seberang Sungai Yordan di wilayah Yordania.
“Jika ada tindakan dan kondisi yang menghasilkan dan menciptakan perpindahan penduduk secara massal, itu jelas merupakan pelanggaran terhadap perjanjian damai,” kata Bisher al Khasawneh, mengacu pada perjanjian Yordania dengan Israel tahun 1994.
"Ini menimbulkan ancaman eksistensialis yang harus kita tanggapi dan kami berharap kita tidak akan pernah sampai pada titik tersebut karena kami berkomitmen kuat terhadap perdamaian komprehensif,” sambungnya.
Bisher al Khasawneh mengatakan, Yordania memiliki proyek-proyek regional dengan Israel yang melibatkan dana jutaan dolar.
Kedua negara akan memperdagangkan energi dan air yang telah direncanakan sebelum 7 Oktober 2023 untuk saat ini secara efektif ditangguhkan.
“Dalam kondisi yang ada saat ini, sangat tidak terbayangkan bagi menteri Yordania mana pun untuk hanya duduk di podium dan melakukan interaksi dan transaksi seperti itu dengan rekan Israel, meskipun hal itu sangat disesalkan, namun hal tersebut adalah fakta kehidupan,” katanya.
Israel telah melancarkan perang dengan Hamas di Gaza setelah Hamas menyerbu pagar perbatasan Israel di selatan pada 7 Oktober 2023.
Perang-Hamas Israel menyebabkan hampir seluruh warga Gaza meninggalkan rumah mereka, krisis kemanusiaan, krisis kesehatan dan kelaparan bagi warga Gaza.
Sebanyak 24.285 warga Palestina di Gaza terbunuh sejak operasi darat dilakukan Israel pada 7 Oktober, menurut data pemerintah Hamas di Gaza.
Dari jumlah itu sekitar 70 persen di antaranya merupakan perempuan, anak-anak dan remaja.
“Satu-satunya solusi untuk menghindari konflik yang lebih dalam dan ketidakstabilan regional adalah dengan menerapkan proses politik dengan kerangka waktu yang mengarah pada solusi dua negara di mana Palestina akan muncul bersama Israel,” kata Bisher al Khasawneh.
Yordania dan Peristiwa NakbaYordania bersama beberapa negara Arab lainnya seperti Mesir, Lebanon dan Suriah pernah terlibat perang melawan Israel di tahun 1948 yang berakhir dengan kemenangan Israel yang didukung Amerika Serikat dan Inggris.
Hari Nakba merupakan tragedi pengusiran warga Palestina dari Tanah Air mereka sendiri pada 15 Mei 1948.
Milisi Zionis yang didukung AS dan Inggris menggunakan pemerkosaan dan pembantaian sebagai alat untuk mengusir 750.000 warga Palestina dari rumah mereka dan menjadikan mereka pengungsi di negara tetangga, Tepi Barat dan Gaza.
Seorang pengunjuk rasa mengangkat kunci yang melambangkan rumah warga Palestina yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka 75 tahun yang lalu selama unjuk rasa yang menandai hari 'Nakba' di pusat kota Ramallah di Tepi Barat yang diduduki, pada 15 Mei 2023. 15 Mei menandai "Nakba", atau malapetaka, ketika ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari rumah mereka setelah pembentukan Israel 75 tahun lalu. (Photo by HAZEM BADER / AFP) (AFP/HAZEM BADER)Milisi Zionis saat itu berambisi menaklukkan wilayah yang dibutuhkan untuk mendirikan negara baru, Israel, dengan mayoritas penduduk Yahudi.
Presiden Mesir Abdul Fattah As Sisi mengatakan negaranya menentang pengusiran warga Palestina ke wilayah Sinai yang sebagian besar merupakan gurun pasir di Mesir.
Abdul Fattah al-Sisi menambahkan kalau satu-satunya solusi adalah negara Palestina merdeka.
Yordania, yang menjadi rumah bagi banyak pengungsi Palestina dan keturunan mereka yang diusir selama dan pasca-tragedi Nakba, juga khawatir Israel akan menggunakan konflik dengan Hamas untuk mengusir warga Palestina secara massal dari Tepi Barat yang diduduki.
Raja Abdullah mengatakan pemindahan paksa adalah kejahatan perang.
"Pemindahan paksa (penduduk) adalah kejahatan perangmenurut hukum internasional, dan merupakan garis merah bagi kita semua,” kata dia memperingatkan.
Dalam bahasa Arab, Nakba berarti malapetaka atau bencana.
Kata ini mengacu pada konflik Israel-Palestina, merujuk pada kejadian di mana orang-orang Palestina kehilangan tanah airnya selama dan setelah perang Arab-Israel tahun 1948.
Diperkirakan sekitar 700.000 orang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Banyak pengungsi Palestina di luar negeri yang tidak memiliki kewarganegaraan hingga saat ini.
Tanggal 15 Mei 1948 menjadi awal perang Arab-Israel dan telah lama menjadi hari di mana warga Palestina turun ke jalan untuk memprotes pengungsian mereka.
Banyak di antara mereka yang membawa bendera Palestina, membawa kunci rumah lama mereka atau membawa spanduk dengan simbol kunci.
Seorang pengunjuk rasa memberi isyarat di depan sebuah bus tua yang digunakan orang Palestina untuk melakukan perjalanan darat ke ibu kota Arab sebelum tahun 1948, selama unjuk rasa yang menandai hari 'Nakba' di pusat kota Ramallah di Tepi Barat yang diduduki, pada 15 Mei 2023. Tanggal 15 Mei menandai "Nakba", atau malapetaka, ketika ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari rumah mereka setelah pembentukan Israel 75 tahun lalu. (Photo by HAZEM BADER / AFP) (AFP/HAZEM BADER)Hal ini menggambarkan harapan untuk kembali ke rumah mereka dan apa yang dianggap sebagai hak mereka untuk kembali.
Di masa lalu, beberapa protes berubah menjadi bentrokan dengan kekerasan.
Israel menuduh Hamas dan organisasi lain yang terdaftar di UE dan negara-negara lain sebagai organisasi teror menggunakan hari tersebut untuk mencapai tujuan mereka.
Istilah Hari Nakba diciptakan pada tahun 1998 oleh pemimpin Palestina saat itu, Yasser Arafat.
Ia menetapkan tanggal tersebut sebagai hari resmi peringatan hilangnya tanah air Palestina.
Mengapa warga Palestina harus pergi?
Hingga berakhirnya Perang Dunia I, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki sebagai bagian dari Kesultanan Utsmaniyah.
Wilayah ini kemudian berada di bawah kendali Inggris, yang disebut British Mandate, Mandat untuk Palestina.
Selama periode tersebut – yang ditandai dengan meningkatnya antisemitisme di Eropa – semakin banyak orang Yahudi dari seluruh dunia yang pindah ke sana.
Bagi mereka, Israel mereka anggap sebagai tanah air leluhur mereka: Eretz Israel, Tanah Perjanjian tempat orang Yahudi selalu tinggal.
Setelah pengalaman Holocaust di Nazi Jerman, Rencana Pembagian Palestina PBB diadopsi oleh Majelis Umum PBB.
Liga Arab menolak rencana tersebut, namun Badan Yahudi untuk Palestina menerimanya.
Pada tanggal 14 Mei 1948, Negara Israel diproklamasikan.
Sebagai reaksinya, koalisi lima negara Arab menyatakan perang namun akhirnya dikalahkan oleh Israel pada tahun 1949.
Sebelum perang, antara 200.000 hingga 300.000 warga Palestina telah meninggalkan atau dipaksa keluar dan selama pertempuran tersebut, 300.000 hingga 400.000 warga Palestina lainnya terpaksa mengungsi.
Jumlah keseluruhannya diperkirakan sekitar 700.000 orang.
Selama perang, lebih dari 400 desa Arab hancur.
Meskipun pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh kedua belah pihak, pembantaian Deir Yassin – sebuah desa di jalan antara Tel Aviv dan Yerusalem – masih terpatri dalam ingatan orang Palestina hingga hari ini.
Setidaknya 100 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Peristiwa tersebut memicu ketakutan yang meluas di kalangan warga Palestina dan mendorong banyak orang meninggalkan rumah mereka.
Pada akhir perang, Israel menguasai sekitar 40 persen wilayah yang awalnya diperuntukkan bagi Palestina berdasarkan rencana pembagian PBB tahun 1947.
Tag: #yordania #pilih #damai #dengan #israel #ketimbang #perang #berlanjut #gaza #trauma #tragedi #nakba