Harapan dan Kesedihan Pengungsi di Lebanon, Lega tapi Khawatir Keadaan Pasca Gencatan Senjata
Mereka mengaku lega, namun dibayangi ketidakpastian.
Dalam momen-momen krusial pasca-konflik ini, emosi dan harapan bertemu, menciptakan cerita-cerita yang menggugah hati dari orang-orang yang terdampak.
Perang mungkin telah mereda, tetapi dampaknya terhadap kehidupan keluarga pengungsi di Lebanon masih sangat terasa.
Meskipun mereka merasakan kelegaan dengan gencatan senjata, ketakutan akan masa depan dan kerusakan yang ditinggalkan oleh konflik membuat perjalanan untuk kembali ke kehidupan normal menjadi sangat berat.
Adnan Zaid, seorang ayah, mencerminkan perasaan banyak orang saat dia menghela napas lega setelah mendengar berita tentang gencatan senjata yang diantisipasi.
"Sejujurnya, saya masih khawatir sesuatu akan terjadi," kata Zaid, dikutip dari Al Jazeera.
Walaupun rasa takutnya mereda seiring dengan dimulainya gencatan senjata, keraguan tetap menghantuinya dan keluarga lainnya yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Zaid dan sekitar 650 orang lainnya telah berpindah ke wisma tamu yang dikelola oleh kelompok bantuan di Karantina, distrik di Beirut yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang berpendapatan rendah.
Keputusan untuk meninggalkan rumah adalah langkah berat, mengingat segala harapan untuk kembali ke lingkungan yang aman.
"Semua pintu dan jendela di rumah saya rusak, atapnya ambruk," ungkap Zaid, menggambarkan kerusakan yang parah.
Meskipun ada harapan untuk kembali, ketidakpastian tentang kondisi rumah mereka membuat banyak pengungsi merasa terjebak antara keinginan untuk pulang dan ketakutan akan apa yang menanti mereka.
Bagi Mohamad Kenj yang berusia 22 tahun, kembali ke rumah bukanlah pilihan yang diinginkan.
“Kampanye Israel telah menghancurkan semua bentuk kehidupan sosial dan komersial di lingkungan saya," ujarnya.
Meskipun begitu, Kenj menyadari bahwa tanpa tempat lain untuk dituju, dia harus kembali suatu hari nanti.
“Sekalipun aku berhasil menata kamarku dan membenahi rumahku, tidak ada kehidupan di sana,” lanjutnya, menyiratkan betapa sulitnya membayangkan kembali ke tempat yang dulunya menjadi rumah yang nyaman.
Setelah pesawat tempur Israel pergi, banyak keluarga di Karantina mulai mengemasi barang-barang mereka.
Fatima Haidar, seorang ibu berusia 38 tahun, mengingat kembali pengalaman pahit saat pertama kali mengungsi.
“Kami senang perang akhirnya berakhir, tetapi kami sangat sedih karena rumah kami telah hancur,” kata Haidar.
Dia merindukan rumahnya yang hancur, tetapi bertekad untuk membangun kembali kehidupan mereka.
“Meski momen ini pahit sekaligus manis, saya tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi,” tegasnya, mengekspresikan tekadnya untuk kembali ke komunitasnya.
Namun, tidak semua cerita adalah tentang harapan dan keberanian.
Kenj masih bergelut dengan kesedihan setelah kehilangan sepupunya, Mohammed, dalam serangan udara Israel.
“Saya ingin mengenalnya lebih jauh, tetapi dia lebih tua dari saya dan memiliki istri dan anak-anak,” ucap Kenj, mewakili duka yang dirasakan oleh banyak orang di tempat penampungan.
"Kami berduka dan tertekan. Siapa pun yang mengatakan kami menang itu bohong," kata Kenj, mencerminkan ketidakpastian dan keraguan yang melanda banyak keluarga.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Tag: #harapan #kesedihan #pengungsi #lebanon #lega #tapi #khawatir #keadaan #pasca #gencatan #senjata