NATO Terancam: Negara-negara Otoriter Bersatu dan Makin Kuat
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, hubungan kedua negara kini tambah erat membuat NATO merasa terancam 
10:50
8 April 2024

NATO Terancam: Negara-negara Otoriter Bersatu dan Makin Kuat

Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mulai wa-was terhadap keberadaan negara-negara yang mereka sebut sebagai 'negara otoriter'.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa negara otoriter tersebut selama ini menjadi penentang dan semakin kuat.

Negara otoriter yang disebut adalah Rusia, Tiongkok, Iran dan Korea Utara. Ia menyebutkan negara-negara tersebut kini mulai bersatu dan selaras serta menjadi ancaman yang besar bagi Barat.

Ancaman tersebut kata dia, kian hari kian menjadi. Keempat negara yang tak mau diatur oleh Barat tersebut telah melakukan kerjasama sendiri hingga mereka semakin kuat.

“Tiongkok menopang ekonomi perang Rusia, mengirimkan komponen-komponen penting bagi industri pertahanan, dan sebagai imbalannya, Moskow menggadaikan masa depannya ke Beijing,” kata Stoltenberg dalam sebuah wawancara dengan BBC, Minggu (7/4/2024).

Sementara Rusia yang sedang berperang melawan Ukraina tersebut, terus menjalin kerjasama memberi teknologi ke Iran dan Korea Utara dengan imbalan dua negara itu memasok senjata.

Karenanya, Stoltenberg meminta kepada para anggotanya agar menjalin kerjasama dengan negara-negara maju yang di luar NATO.

"Perlu kerja sama dengan negara seperti Jepang dan Korea Selatan untuk melawan aliansi kekuatan otoriter yang lebih kuat ini,” ujar Bos NATO ini.

Diberitakan Russia Today, bahwa Moskow dan Beijing memang telah menjalin hubungan dekat sejak masa Uni Soviet.

Belum lama ini mereka berjanji untuk meningkatkan kerja sama bilateral di berbagai bidang.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menyatakan pada tahun 2022 bahwa kemitraan strategis mereka “tidak ada batasnya.”

Tiongkok menolak menyalahkan Rusia atas konflik di Ukraina dan berulang kali menuduh AS dan NATO mempunyai “mentalitas Perang Dingin” dan berusaha memaksakan kehendak mereka pada seluruh dunia.

Putin mengatakan pada bulan Februari bahwa Barat masih mempertahankan “kebiasaan kolonialnya.”

Sementara Iran dan Rusia yang telah lama bekerjasama juga berkolaborasi saat perang Ukraina. Negara Mulah ini mengaku telah mengirimkan sejumlah kecil drone ke Rusia sebelum Moskow melancarkan operasi militernya di Ukraina pada Februari 2022.

Kendati demikian, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa tentara Rusia hanya menggunakan senjata produksi dalam negeri untuk melawan pasukan Kiev.

Presiden Iran Ebrahim Raisi berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di KTT BRICS. Presiden Iran Ebrahim Raisi berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di KTT BRICS. (tangkap layar twitter)

Sedangkan Kim Jong Un dengan Vladimir Putin sepakat untuk meningkatkan kerja sama selama kunjungan Kim ke Rusia pada September 2023.

Namun Pyongyang membantah bahwa mereka mengirimkan roket dan peluru ke Rusia dan mengecam AS karena “terus-menerus menyebarkan rumor tidak berdasar mengenai transaksi senjata.” Kremlin juga menampik laporan bantuan militer dari Pyongyang.

Baik Moskow maupun Beijing menyalahkan krisis yang terjadi di Ukraina saat ini karena ekspansi NATO di Eropa, dimana Menteri Pertahanan Tiongkok Dong Jun menyatakan bahwa AS menargetkan Rusia dan Tiongkok sambil “berusaha mempertahankan hegemoninya di seluruh dunia.”

Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu tahun lalu memperingatkan bahwa “Barat kini melihat potensi penyebaran” konflik ke kawasan Asia-Pasifik.

Rusia Tuding Barat Perluas Konflik ke Asia

Sementara itu Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu menuding negara Barat berusaha memperluas konflik hingga ke Asia.

“Setelah mengatur krisis akut di Eropa, negara-negara Barat kini melihat potensi penyebarannya ke kawasan Asia-Pasifik, dan terlebih lagi, ke beberapa arah,” kata Shoigu.

Menteri tersebut menekankan bahwa keterlibatan langsung negara-negara bersenjata nuklir dalam konfrontasi tersebut akan memperbesar “risiko strategis.”

Shoigu mencatat bahwa akhir-akhir ini Barat secara aktif mengejar kemungkinan mengerahkan militernya ke wilayah tersebut, dengan alasan menciptakan “aliansi keamanan gabungan Euro-Atlantik dan Indo-Pasifik,” yang akan membenarkan kehadiran pangkalan militer NATO di Asia.

Dalam foto yang didistribusikan oleh kantor berita Rusia Sputnik pada 7 Desember 2023, Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi selama pertemuan mereka di Kremlin di Moskow. Dalam foto yang didistribusikan oleh kantor berita Rusia Sputnik pada 7 Desember 2023, Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi selama pertemuan mereka di Kremlin di Moskow. (Sergei BOBYLYOV / POOL / AFP)

Pendekatan seperti itu, jelasnya, secara drastis melemahkan prinsip keamanan terpadu, yang dipromosikan oleh Rusia dan Tiongkok, yang oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping disebut sebagai “komunitas masa depan bersama.”

Shoigu menambahkan, hubungan Rusia-Tiongkok menjadi semakin menarik bagi negara-negara lain.

“Lingkaran teman-teman kita dan orang-orang yang berpikiran sama yang tidak ingin terseret ke dalam agenda konfrontatif yang dipaksakan oleh kolektif Barat terus bertambah,” ujarnya.

Ketegangan di kawasan Asia-Pasifik meningkat baru-baru ini, dipicu oleh perselisihan antara AS dan Tiongkok mengenai Taiwan, yang menganggap pulau dengan pemerintahan sendiri itu sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya dan telah melakukan banyak latihan militer di wilayah tersebut.

Washington baru-baru ini menyetujui penjualan peralatan militer senilai 440 juta dolar AS ke Taiwan, sebuah tindakan yang dikutuk keras oleh Beijing.

Sementara itu, Semenanjung Korea kembali menjadi titik konflik di kawasan ini, dimana Korea Utara berulang kali melakukan uji coba rudal sebagai respons terhadap latihan militer gabungan Korea Selatan-AS.

Tag:  #nato #terancam #negara #negara #otoriter #bersatu #makin #kuat

KOMENTAR