



China Negara Kuat, Kenapa Sepak Bolanya Lemah?
— Langkah tim nasional China menuju Piala Dunia 2026 resmi terhenti setelah takluk dari Indonesia dengan skor tipis 0-1 pada laga ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Pertandingan berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Kamis (5/6/2025) malam. Satu-satunya gol kemenangan tim Garuda dicetak Ole Romeny melalui titik putih pada menit ke-45.
Kekalahan ini membuat China terpuruk di dasar klasemen Grup C dengan perolehan enam poin. Tim berjuluk "Naga" itu dipastikan gagal melanjutkan kiprahnya ke putaran selanjutnya.
Striker andalan China, Zhang Yuning, sebelumnya menyebut laga kontra Indonesia sebagai partai hidup-mati bagi timnya.
“Ini adalah pertandingan hidup-mati. Kemenangan adalah satu-satunya pilihan. Tidak ada kata mundur,” ujar Zhang dalam konferensi pers di SUGBK pada Rabu (4/6/2025) malam.
Realisasi jauh dari ambisi
Para pemain Timnas China merayakan gol Xie Wenneng pada laga antara China dan Australia di Kualifikasi Asia Piala Dunia 2026 di Adelaide, Australia, pada 10 Oktober 2024. Sepanjang putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, China hanya mampu meraih dua kemenangan dan menelan tujuh kekalahan.
Kekalahan paling telak mereka alami saat menghadapi Jepang pada 5 September 2024. Kala itu, China yang bertindak sebagai tim tamu dibantai 0-7 oleh skuad “Samurai Biru”.
Ambisi China untuk menorehkan prestasi di panggung sepak bola dunia sesungguhnya bukan hal baru. Presiden Xi Jinping sejak 2012 memiliki tiga target besar: lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah, dan menjuarai turnamen tersebut.
Namun, di periode ketiga kepemimpinannya, kenyataan berkata lain. Timnas China bahkan gagal melangkah ke putaran final Piala Dunia 2026 setelah ditaklukkan Indonesia.
Mark Dreyer, jurnalis olahraga yang berbasis di Beijing, menyebut kegagalan ini merupakan gambaran stagnasi sepak bola China di tengah kemajuan negara itu di sektor lain.
Menurutnya, persoalan utama terletak pada dominasi Partai Komunis dalam pengambilan keputusan di tubuh sepak bola nasional, sebuah hal yang dinilai bertentangan dengan prinsip FIFA yang melarang intervensi politik.
Asosiasi Sepak Bola China (CFA) yang semestinya independen, justru tunduk pada Administrasi Umum Olahraga (GAS). Bahkan, presiden CFA saat ini, Song Cai, menjabat sebagai Wakil Sekretaris Partai Komunis.
“Segala keputusan harus dilaporkan ke atasan Partai. Itu berarti, keputusan sepak bola dibuat oleh orang-orang non-sepak bola,” kata Dreyer, dikutip dari BBC, 27 Maret 2025.
Minim fondasi akar rumput
Bek China bernomor punggung 2, Jiang Guangtai atau Tyias Browning, dan gelandang nomor 8 Xu Xin setelah kalah dari pertandingan melawan Qatar di Khalifa International Stadium, Doha, Senin (22/1/2024).Dreyer menambahkan, keberhasilan sepak bola tidak hanya lahir dari kebijakan elite, tetapi juga pembangunan dari level bawah.
Ia menilai, China gagal membentuk piramida sepak bola yang sehat. Berbeda dengan Inggris atau Brasil yang memiliki liga amatir dan semi-profesional untuk mendukung pengembangan bakat muda.
“Anak-anak di sini (China) tidak tumbuh dengan bola di kaki mereka. Tanpa itu, Anda tidak akan menghasilkan talenta elite,” ujarnya.
Pada 1990-an, pemerintah China mendirikan liga profesional pertama. Namun, mereka langsung membentuk klub-klub elite di kota besar tanpa membangun ekosistem akar rumput. Hasilnya, kurangnya pemain berkualitas untuk bersaing di level internasional.
Secara statistik, meski berpopulasi 20 kali lipat dari Inggris, China hanya memiliki sekitar 100.000 pemain terdaftar. Sebagai perbandingan, Inggris memiliki lebih dari 1,3 juta pemain terdaftar.
Peringkat FIFA timnas pria China pun terpuruk di posisi ke-90 dunia.
Selain persoalan struktur, sepak bola China juga menghadapi tekanan dari krisis ekonomi dan praktik korupsi.
Setelah masa keemasan pada 2010-an, Liga Super China kini melemah. Sejak pandemi, lebih dari 40 klub dilaporkan bangkrut seiring berkurangnya investasi dari perusahaan negara.
Korupsi turut memperburuk citra sepak bola nasional. Mantan pelatih timnas pria, Li Tie, dalam sebuah dokumenter, mengakui terlibat pengaturan skor dan menyuap untuk mendapatkan posisi pelatih.
Nama-nama besar lain seperti eks Ketua CFA Chen Xuyuan dan mantan Wakil Direktur GAS Du Zhaocai juga terseret dalam kasus tersebut.
“Korupsi para pejabat ini telah menghancurkan hati kami. Saya tidak terkejut,” kata seorang penggemar kepada CCTV.
Dengan minimnya fondasi, berkurangnya investasi, serta citra buruk akibat korupsi, masa depan sepak bola China kini tampak suram dan penuh ketidakpastian.