Fenomena ''Makan Tabungan'' dan Simpanan Masyarakat yang Melandai
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan gedung Arthadhyaksa kantor LPS di Ibu Kota Nusantara (IKN), Rabu (17/1/2024).(KOMPAS.com/ AGUSTINUS RANGGA RESPATI)
06:16
18 Januari 2024

Fenomena ''Makan Tabungan'' dan Simpanan Masyarakat yang Melandai

- Tabungan masyarakat Indonesia yang tercermin dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan mengalami perlambatan pertumbuhan.

Hal itu dikhawatirkan mengacu pada fenomena masyarakat yang mulai makan tabungan (mantab) untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, secara umum dana pihak ketiga (DPK) perbankan masih dalam tren pertumbuhan.

Sebagai gambaran, tabungan di atas Rp 5 miliar masih terus bertumbuh. Tren pertumbuhan tersebut juga masih terjadi pada tabungan masyarakat dengan nominal di atas Rp 100 juta.

"Cuma (tabungan) yang di bawah Rp 1 juta agak melambat. Itu belum tentu mereka mantab (makan tabungan," kata dia usai acara groundbreaking pembangunan gedung Arthaadhyasa kantor LPS di Ibu Kota Nusantara (IKN), Rabu (17/1/2024).

Menurut Purbaya, adanya pertumbuhan tabungan yang melambat belum pasti mengindikasikan masyarakat mulai makan tabungan. Adapun, hal itu juga dapat mengindikasikan bahwa masyarakat sedang memsuki tren belanja.

"Bisa saja mengindikasikan demand (permintaan) yang sedang tumbuh," tambah dia.

Namun begitu, LPS akan terus mengamati dan mencermati adanya indikasi terkait tren penurunan pertumbuhan tabungan masyarakat ini.

Dengan begitu, LPS diharapkan tidak akan terlambat ketika dibutuhkan langkah-langkah yang diperlukan.

 

Berdasarkan data Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) periode November 2023, alokasi pendapatan untuk menabung mengalami penurunan, dari 15,7 persen menjadi 15,4 persen.

Alokasi pendapatan untuk konsumsi juga mengalami penurunan, yakni dari 75,6 persen menjadi 75,3 persen.

Di sisi lain, alokasi pendapatan untuk membayar cicilan pinjaman meningkat. Tercatat alokasi pendapatan untuk membayar utang meningkat dari 8,8 persen menjadi 9,3 persen.

Ekonom senior Chatib Basri mengungkapkan, data menunjukkan adanya fenomena dissaving. Kondisi ini berarti individu membelanjakan uang melebihi pendapatan yang tersedia.

Hal itu dilakukan dengan memanfaatkan sumber pendanaan lain, seperti tabungan atau utang.

"Ini kan menarik kalau konsumsinya tetap tinggi, tapi savings tetap turun, dia biayai dari mana?" ujar dia dalam Outlook Ekonomi 2024.

Melihat data tersebut, Chatib menilai, ke depan terdapat potensi pelemahan konsumsi.

Apalagi, saat ini masyarakat kelas menengah ke bawah mulai mengurangi konsumsi yang sifatnya sekunder serta tersier, dan mulai memprioritaskan belanja yang sifatnya primer.

"Jadi konsumsinya adalah makanan. Artinya kita bisa lihat adanya tekanan pada konsumsi," kata Chatib.

Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mencatat pertumbuhan DPK sebesar 3,04 persen secara tahunan pada November 2023 menjadi Rp 8.216,21 triliun.

Pada kuartal III-2023, DPK masih tercatat masih 6,54 persen.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Adiana Rae mengatakan, perlambatan pertumbuhan DPK dipengaruhi oleh basis pertumbuhan DPK yang tinggi pada masa pandemi.

Pada periode tersebut konsumsi masyarakat lebih terbatas, surplus di beberapa perusahaan kroporasi lebih tinggi, hingga dampak dari instrumen alternatif penempatan dana selain DPK yang semakin atraktif.

Editor: Agustinus Rangga Respati

Tag:  #fenomena #makan #tabungan #simpanan #masyarakat #yang #melandai

KOMENTAR