25
Ilustrasi: Pajak (Dok. JawaPos.com)
20:00
15 November 2024
Pengamat Minta PPN 12 Persen Dibatalkan, Ini Alasannya
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen mulai berlaku tahun depan, tepatnya pada 1 Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa kenaikan PPN itu sebagaimana telah sesuai dengan amanat Undan-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). "Sudah ada UU-nya, kita perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, ditulis Kamis (14/11). Merespons hal itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen itu. Bhima menilai, kenaikan tarif PPN jika diakumlasi dalam 4 tahun terakhir, bukanlah naik sebesar 12 persen, melainkan menjadi 20 persen. "Itu kalau diakumulasi dalam 4 tahun terakhir sebenarnya naiknya 20 persen bukan 2 persen. Dari 10 persen ke 11 persen kemudian ke 12 persen total 20 persen naiknya," kata Bhima kepada JawaPos.com, Jumat (15/11). Dia juga menilai, kenaikan tarif PPN cenderung sangat tinggi bahkan jika dibanding akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Menurutnya, efek kenaikan PPN 12 persen akan langsung mennaikan inflasi umum. Pasalnya, kata Bhima, berbagai barang akan lebih mahal harga nya. Sehingga ke depan, ia memproyeksikan bahwa inflasi 2025 bisa mencapai 4,5-5,2 persen secara tahunan atau year on year (YoY). Bhima mendorong, penyesuaian tarif PPN ini dibatalkan. Karena, kelas menengah sebelumnya sudah dihantam kenaikan harga pangan, dan sulitnya cari pekerjaan. Namun, masih harus dibebani oleh PPN 12 persen dan berpotensi akan membuat belanja masyarakat semakin turun. "Ke depan masih ditambah penyesuaian tafif ppn 12 persen. Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik/skincare bisa melambat," jelasnya. Bhima menilai, sasaran PPN ini adalah kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah. Imbas lain, kata Bhima, tentu akan berdampak pada pelaku usaha karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet. Hingga akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. Ia juga khawatir, jika tarif PPN masih ditetapkan naik bisa jadi memicu PHK di berbagai sektor. Itu sebabnya, kata dia, Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif ppn 12 persen karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga. Bhima juga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN bukan solusi naikan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk ppn justru terpengaruh. "Sebaiknya rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan. Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya bukan utak atik tarif. Menaikan tarif pajak itu sama dengan beburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif," jelas Bhima. Ia menilai, pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp86 triliun per tahun. "Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen," pungkasnya.
Editor: Bintang Pradewo