Paradoks Ekonomi 2026: Stabilitas ala Purbaya dan Kegelisahan Rumah Tangga
MENJELANG 2026, ekonomi Indonesia kerap digambarkan dengan satu kata kunci: stabil. Pasar keuangan relatif tenang, sistem perbankan likuid, dan risiko krisis tampak jauh dari permukaan.
Dalam berbagai forum kebijakan dan diskusi pasar, stabilitas ini dipresentasikan sebagai bukti bahwa fondasi ekonomi nasional cukup kuat menghadapi ketidakpastian global.
Namun, stabilitas di level makro tidak selalu berbanding lurus dengan rasa aman di tingkat rumah tangga.
Di dapur-dapur keluarga, cerita yang terdengar justru berbeda: belanja ditahan, cicilan dihitung ulang, dan keputusan konsumsi besar terus ditunda.
Di sinilah paradoks ekonomi 2026 mulai terasa, pasar tampak tenang, sementara rumah tangga justru gelisah.
Stabilitas ekonomi hari ini bekerja seperti efek bius. Ia menenangkan, memberi rasa aman, dan meredam kepanikan.
Tidak ada gejolak besar, tidak pula krisis terbuka. Namun, seperti bius pada umumnya, ia tidak menyembuhkan akar masalah. Ia hanya menunda rasa sakit.
Dalam konteks ini, narasi stabilitas yang selama ini diasosiasikan dengan figur-figur penjaga sistem keuangan, termasuk Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai representasi pendekatan menjaga kepercayaan pasar, menunjukkan keberhasilan penting: sistem keuangan tetap kokoh dan volatilitas dapat dikendalikan.
Namun, pertanyaan kuncinya adalah sejauh mana stabilitas tersebut benar-benar mengalir ke kehidupan sehari-hari rumah tangga.
Ekonomi resilien, tanpa akselerasi
Laporan CORE Economic Outlook 2026 menggambarkan kondisi ini secara jujur. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan berada di kisaran 4,9 persen - 5,1 persen.
Angka ini menunjukkan ketahanan, tetapi juga menegaskan absennya akselerasi. Ekonomi tidak jatuh, tapi juga tidak cukup kuat untuk melonjak.
Masalah utamanya terletak pada mesin pertumbuhan paling penting: konsumsi rumah tangga. Upah riil di sektor-sektor utama penyerap tenaga kerja, manufaktur, perdagangan, dan konstruksi, masih tertekan.
Bahkan di beberapa sektor, upah riil mengalami penurunan. Dalam kondisi seperti ini, sulit berharap konsumsi rumah tangga tumbuh agresif.
Kelas menengah, yang selama satu dekade terakhir menjadi motor konsumsi nasional, kini berada dalam posisi defensif.
Indikator konsumsi non-esensial seperti properti, otomotif, dan transportasi masih menunjukkan pelemahan.
Stabilitas pasar tidak otomatis mengubah perilaku rumah tangga yang memilih bertahan daripada berekspansi.
Paradoks semakin jelas di sektor moneter. Likuiditas di sistem perbankan melimpah. Pelonggaran kebijakan dan penempatan dana pemerintah telah menurunkan biaya dana. Namun, transmisi ke kredit belum berjalan optimal.
Perbankan tetap berhati-hati. Risiko kredit, ketidakpastian permintaan, dan tekanan eksternal membuat penyaluran kredit, terutama ke UMKM dan rumah tangga, bergerak lambat.
Suku bunga kredit memang menurun, tetapi tidak secepat harapan. Akibatnya, rumah tangga tetap merasakan beban cicilan, sementara pelaku usaha kecil kesulitan memperluas aktivitas.
Di titik inilah stabilitas ala Purbaya dan paradigma kebijakan keuangan saat ini menunjukkan batasnya. Sistem terjaga, tetapi denyut sektor riil tidak menguat secara sepadan. Stabilitas tercapai, tapi dampaknya belum merata.
Paradoks ekonomi 2026 juga tercermin dalam kebijakan fiskal. APBN menunjukkan pergeseran prioritas ke program-program flagship yang bersifat operasional dan jangka pendek.
Program-program ini penting dan memiliki tujuan sosial yang jelas. Namun di sisi lain, belanja modal, yang memiliki efek pengganda terbesar bagi penciptaan lapangan kerja dan produktivitas, justru menurun.
Di tengah target penerimaan negara yang ambisius dan beban bunga utang yang terus meningkat, ruang fiskal menjadi semakin sempit.
Stimulus pada 2026 diperkirakan tidak selebar tahun-tahun sebelumnya. Bagi rumah tangga, ini berarti bantalan kebijakan yang lebih tipis, terutama bagi kelas menengah yang tidak sepenuhnya tersentuh program perlindungan sosial.
Stabilitas fiskal terjaga, tetapi dengan konsekuensi terbatasnya daya dorong terhadap ekonomi rumah tangga.
Ketika stabilitas jadi tujuan akhir
Tidak ada yang keliru dengan stabilitas. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, stabilitas adalah prasyarat. Namun, persoalan muncul ketika stabilitas diperlakukan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana.
Dalam narasi ini, figur seperti Purbaya kerap hadir sebagai simbol ketenangan sistem. Pasar percaya, indikator makro terlihat sehat, dan risiko krisis terkendali.
Namun, rumah tangga tidak hidup dari indikator makro. Mereka hidup dari upah, harga pangan, cicilan, dan kepastian kerja.
Ketika stabilitas tidak diterjemahkan menjadi peningkatan kesejahteraan nyata, ia berubah menjadi efek bius. Publik diyakinkan bahwa ekonomi aman, sementara kegelisahan sehari-hari dianggap sebagai persoalan sementara.
Paradoks ini menyimpan risiko sosial yang tidak kecil. Rumah tangga yang terus menahan konsumsi, pekerja yang menghadapi ketidakpastian kerja, dan kelas menengah yang tertekan berpotensi mengalami kelelahan kolektif.
Dalam jangka panjang, kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi dapat terkikis, bukan karena krisis, tetapi karena stagnasi yang terasa berkepanjangan.
Sejarah menunjukkan bahwa ketidakpuasan sosial sering kali muncul bukan saat ekonomi runtuh, melainkan ketika ekonomi terasa tidak bergerak dan tidak adil.
Stabilitas tanpa perbaikan kesejahteraan dapat memicu rasa tertinggal di tengah narasi kemajuan.
Menuju 2026, tantangan utama ekonomi Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas, melainkan mengakhiri paradoks.
Stabilitas harus kembali ditempatkan sebagai sarana untuk memperkuat daya beli, menciptakan lapangan kerja formal, dan memperluas akses pembiayaan ke sektor riil.
Stabilitas ala Purbaya dan para penjaga sistem keuangan perlu dilengkapi dengan keberanian kebijakan yang lebih berpihak pada ekonomi rumah tangga.
Tanpa itu, ekonomi Indonesia akan terus tampak sehat di atas kertas, tetapi terasa berat dalam kehidupan sehari-hari.
Pasar boleh tetap tenang. Namun, ukuran keberhasilan ekonomi tidak boleh berhenti di sana. Ukuran sejatinya ada di dapur rumah tangga, tempat stabilitas seharusnya dirasakan, bukan sekadar diyakini.
Tag: #paradoks #ekonomi #2026 #stabilitas #purbaya #kegelisahan #rumah #tangga