Kadin Wanti-wanti Dampak PP Pengupahan ke Industri Manufaktur
- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti potensi dampak lanjutan dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan terhadap kinerja industri manufaktur, khususnya sektor pengolahan nonmigas. Kebijakan tersebut dinilai berisiko menambah tekanan biaya di tengah upaya industri menjaga momentum pertumbuhan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, sektor industri pengolahan nonmigas sangat sensitif terhadap perubahan struktur upah karena berkontribusi besar terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) industri dan ekspor nasional. Karena itu, penyesuaian kebijakan pengupahan perlu diimbangi dengan langkah-langkah pendukung agar tidak menggerus daya saing.
Menurut Saleh, penerapan formula baru penetapan upah minimum berpotensi meningkatkan biaya tenaga kerja secara bertahap namun bersifat permanen. Kondisi ini dinilai akan lebih cepat dirasakan oleh subsektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan industri berorientasi ekspor, yang selama ini menghadapi tekanan persaingan global.
"Peningkatan upah minimum cenderung menaikkan biaya tenaga kerja secara struktural dan berisiko menekan laju pertumbuhan output industri nonmigas, khususnya subsektor padat karya," kata Saleh dalam keterangannya, Minggu (21/12).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tekanan biaya tersebut mendorong pelaku industri untuk menahan ekspansi usaha. Sejumlah perusahaan, lanjutnya, cenderung memilih strategi efisiensi.
Mulai dari pengendalian biaya operasional hingga pembatasan penambahan tenaga kerja baru. Adapun dampaknya, penyerapan tenaga kerja dan ekspansi kapasitas produksi berpotensi melambat.
“Investor cenderung menunda atau mengalihkan investasi ke wilayah dengan struktur biaya yang lebih stabil, sehingga laju pembentukan modal tetap di sektor manufaktur dapat melambat,” jelas Saleh.
Kadin juga menilai kebijakan pengupahan yang kerap berubah dapat memengaruhi persepsi investor terhadap iklim usaha di sektor manufaktur. Ketidakpastian tersebut dinilai berpotensi menunda realisasi investasi baru atau mendorong investor mengalihkan modal ke sektor dan wilayah dengan struktur biaya yang lebih stabil.
Meski demikian, Saleh mengakui penyesuaian upah minimum berpeluang meningkatkan daya beli pekerja dan menopang konsumsi domestik. Namun, menurutnya, dampak positif tersebut tidak serta-merta dirasakan industri, sementara kenaikan biaya produksi terjadi lebih cepat.
“Tanpa langkah-langkah pendukung tersebut, industri pengolahan nonmigas berisiko kehilangan momentum pertumbuhan, padahal sektor ini sangat krusial untuk penciptaan lapangan kerja dan penguatan struktur ekonomi nasional,” tegas Saleh.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan pada 17 Desember 2025. Aturan ini merupakan Perubahan Kedua atas PP Nomor 36 Tahun 2021 dan menjadi dasar penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2026.
Melalui PP tersebut, pemerintah memperkenalkan formula baru penetapan upah minimum, yakni inflasi + (pertumbuhan ekonomi × alfa) dengan rentang alfa 0,5 hingga 0,9.
Tag: #kadin #wanti #wanti #dampak #pengupahan #industri #manufaktur