Inilah PT Tambang Mas Sangihe yang Ditolak Helmud Hontong Sebelum Meninggal Dunia
Helmud Hentong [Antara]
10:18
21 Desember 2025

Inilah PT Tambang Mas Sangihe yang Ditolak Helmud Hontong Sebelum Meninggal Dunia

Dalam catatan sejarah birokrasi di Indonesia, nama Helmud Hontong akan selalu dikenang sebagai sosok pejabat daerah yang memiliki integritas baja.

Sebagai Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ia memilih jalan yang terjal dengan berdiri tegak melawan arus besar industri pertambangan.

Sikapnya yang tanpa kompromi menolak rencana penambangan emas oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS) tidak hanya menempatkannya dalam pusat konflik kekuasaan, tetapi juga meninggalkan narasi perjuangan yang berakhir secara mengejutkan di udara.

Langkah berani Helmud didasarkan pada kekhawatiran yang sangat beralasan mengenai masa depan tanah kelahirannya. Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan pulau kecil yang memiliki ekosistem sangat sensitif.

Berdasarkan data perizinan, konsesi yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT TMS mencapai luas sekitar 42 ribu hektare.

Angka ini setara dengan 56,9 persen dari keseluruhan luas wilayah Sangihe yang hanya sebesar 73.698 hektare.

Bagi Helmud, memberikan lebih dari separuh lahan pulau kepada korporasi adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup warga yang bergantung pada sektor kelautan dan pertanian.

Mengenal PT Tambang Mas Sangihe dan Gurita Bisnisnya

Eksistensi PT Tambang Mas Sangihe di bumi Sangihe sebenarnya memiliki rekam jejak yang cukup panjang. Berdasarkan data resmi dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, perusahaan ini merupakan entitas yang didominasi oleh modal asing.

Pemegang saham mayoritasnya adalah Sangihe Gold Corporation, sebuah perusahaan asal Kanada yang menguasai porsi kepemilikan sebesar 70 persen.

Sementara itu, sisa kepemilikan saham sebesar 30 persen dibagi ke dalam tiga perusahaan lokal Indonesia. PT Sangihe Prima Mineral memegang porsi 11 persen, disusul oleh PT Sungai Belayan Sejati dengan 10 persen, serta PT Sangihe Pratama Mineral yang memiliki 9 persen saham.

Perusahaan yang berkantor pusat di Gedung Noble House, Jakarta Selatan ini, dulunya dikenal dengan nama East Asia Minerals dan telah mengantongi izin eksplorasi sejak tahun 1997.

Rentetan perizinan terus berlanjut hingga terbitnya Kontrak Karya untuk periode 2018-2020 yang mencakup wilayah Blok A dengan komoditas utama emas dan tembaga.

Pada awal 2021, tepatnya melalui surat Kementerian ESDM Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021, izin tahap operasi produksi resmi dikeluarkan untuk lahan seluas 42 ribu hektare tersebut. Hal inilah yang kemudian memicu reaksi keras dari Helmud Hontong.

Surat Pribadi: Manifestasi Perlawanan Nurani

Ketegasan Helmud tidak hanya berhenti pada retorika di media. Ia mengambil langkah administratif yang dianggap sangat luar biasa bagi seorang pejabat daerah.

Pada 28 April 2021, Helmud mengirimkan surat pribadi secara langsung kepada Kementerian ESDM yang secara eksplisit menuntut pembatalan izin tambang PT TMS. Ia menilai negara harus hadir sebagai pelindung, bukan justru memfasilitasi eksploitasi yang merusak.

Dalam surat penolakan tersebut, Helmud memaparkan empat poin krusial yang menjadi landasan keberatannya:

"Wilayah Sangihe memiliki kerentanan ekologis tinggi,"

"Aktivitas tambang berpotensi merusak lingkungan secara permanen,"

"Risiko bencana ekologis akan langsung berdampak pada kehidupan masyarakat lokal,"

"Negara seharusnya melindungi pulau kecil, bukan menjadikannya objek eksploitasi."

Sikap konfrontatif ini tergolong nekat di tengah kultur birokrasi yang cenderung pragmatis terhadap investasi besar. Di saat banyak pihak melihat tambang emas sebagai sumber pendapatan daerah, Helmud justru melihatnya sebagai potensi bencana jangka panjang.

Ia menempatkan dirinya sebagai tameng bagi masyarakat adat dan kelestarian alam Sangihe, meskipun menyadari risiko politik yang sangat besar mengintai di belakangnya.

Di tengah perjuangannya yang sedang berada di puncak, publik dikejutkan dengan kabar meninggalnya Helmud Hontong secara mendadak.

Sang pejuang lingkungan tersebut mengembuskan napas terakhir dalam penerbangan pulang dari Bali menuju Manado, saat pesawat yang ditumpanginya tengah transit di Makassar.

Peristiwa memilukan itu terjadi di atas pesawat Lion Air JT-740 pada Rabu, 9 Juni 2021.

Kematian Helmud yang terjadi secara tiba-tiba di udara, tanpa adanya riwayat penyakit kronis yang diketahui publik, segera memicu gelombang spekulasi.

Hal ini semakin diperkuat karena waktu kepergiannya sangat berdekatan dengan momentum perlawanan kerasnya terhadap proyek tambang emas.

Banyak pihak, mulai dari aktivis lingkungan hingga masyarakat luas, mempertanyakan penyebab pasti wafatnya sang pemimpin daerah yang vokal tersebut.

Meskipun secara medis otoritas terkait memberikan penjelasan resmi, bayang-bayang ketidakpuasan publik tetap terasa hingga kini.

Bagi warga Sangihe, Helmud adalah martir yang gugur saat mempertahankan kedaulatan tanah mereka. Kematiannya dianggap bukan sekadar akhir dari sebuah nyawa, melainkan simbol dari mahalnya harga sebuah integritas dalam menjaga lingkungan hidup di Indonesia.

Hingga saat ini, jejak perjuangan Helmud Hontong tetap abadi dalam ingatan masyarakat Kepulauan Sangihe. Ia telah memberikan standar baru mengenai bagaimana seorang pejabat seharusnya bersikap ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi yang mengancam ruang hidup rakyatnya.

Surat penolakan yang ia tanda tangani tetap menjadi dokumen sejarah yang sangat berharga dalam gerakan advokasi lingkungan nasional.

Kontributor : Rizqi Amalia

Editor: M Nurhadi

Tag:  #inilah #tambang #sangihe #yang #ditolak #helmud #hontong #sebelum #meninggal #dunia

KOMENTAR