Setelah Rp 200 Triliun, Perbankan Terima Lagi Dana Rp 76 Triliun
- Pemerintah kembali memperkuat likuiditas perbankan nasional dengan menempatkan dana Rp 76 triliun ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) serta Bank Jakarta.
Ini menyusul langkah sebelumnya yang mengalihkan Rp 200 triliun kas negara yang disimpan di Bank Indonesia (BI) ke sektor perbankan.
Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa ini menjadi salah satu manuver fiskal paling agresif dalam beberapa tahun terakhir.
Ilustrasi kredit, kredit perbankan. Perbankan lebih berhati-hati menyalurkan kredit di tengah daya beli yang belum pulih.
Di satu sisi, pemerintah menegaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk mempercepat penyaluran kredit dan menggerakkan ekonomi riil.
Namun di sisi lain, sejumlah pihak mengingatkan risiko penempatan kredit ke sektor yang kurang produktif, hingga risiko makro yang bisa muncul jika kebijakan ini tak diimbangi pengawasan dan tata kelola yang ketat.
Latar belakang penempatan dana pemerintah di perbankan
Pada September 2025, Purbaya melakukan langkah dengan menarik kas negara senilai Rp 200 triliun yang semula disimpan di BI dan menempatkannya ke dalam lima bank milik negara, anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Bank-bank yang menerima dana pemerintah Rp 200 triliun itu adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS).
Rinciannya, BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing memperoleh Rp 55 triliun. Kemudian, BTN mendapatkan Rp 25 triliun dan BSI Rp 10 triliun.
Menurut Purbaya, alokasi dana ini adalah upaya untuk memperkuat likuiditas bank, menurunkan cost of fund mereka, dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Suntikan tambahan Rp 76 triliun
Setelah itu, pada 10 November 2025, pemerintah kembali menempatkan dana tambahan sebesar Rp 76 triliun ke perbankan, khususnya ke tiga bank Himbara dan Bank Jakarta, yang sebelumnya bernama Bank DKI.
Menurut Febrio Kacaribu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, alokasi dari dana itu adalah sebagai berikut, yakni masing-masing Rp 25 triliun untuk Bank Mandiri, BRI, dan BNI, serta Rp 1 triliun untuk Bank Jakarta.
Febrio menjelaskan langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih agresif.
“Ini nantinya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kita harapkan, dalam jangka pendek bisa cukup signifikan deltanya, investasi kita dorong untuk meningkat, konsumsi meningkat, sehingga sektor riilnya juga bergerak," tutur Febrio.
Lebih jauh, Febrio mencatat bahwa dari penempatan awal Rp 200 triliun, hingga 22 Oktober 2025, sekitar 84 persen atau Rp 167,6 triliun telah terserap.
Menariknya, tingkat suku bunga untuk dana pemerintah yang ditempatkan di Himbara adalah 3,8 persen, yaitu sekitar 80 persen dari suku bunga kebijakan BI alias BI Rate.
Menurut Febrio, ini akan membantu bank menurunkan biaya dana (cost of fund) perbankan, sehingga membuat bank lebih mampu menyalurkan kredit dengan biaya yang lebih ringan.
Peluang dan dampak positif
Ada beberapa peluang dan dampak positif penyaluran dana pemerintah ke perbankan.
1. Penguatan likuiditas dan penyaluran kredit
Ilustrasi kredit, kredit perbankan. Tumpukan kredit belum dicairkan cerminkan lemahnya minat investasi dan konsumsi di RI pada kuartal I 2025.
Suntikan dana pemerintah bisa memperkuat likuiditas bank-bank Himbara. Dengan cost of fund yang relatif rendah, bank-bank pelat merah ini berada dalam posisi lebih prima untuk memperluas kredit.
Hal ini dapat mendorong pertumbuhan investasi dan konsumsi dalam jangka menengah, terutama di tengah upaya pemulihan ekonomi.
Dalam konteks perbankan, likuiditas yang kuat memberikan ruang bagi Himbara untuk memperbesar intermediasi ke sektor produktif seperti UKM, infrastruktur, atau usaha padat kerja.
Jika disalurkan dengan tepat, maka ini bisa menjadi katalis ekonomi.
2. Momentum transisi ekonomi
Beberapa ekonom menyebut bahwa dana pemerintah yang mengalir ke Himbara bisa menjadi kesempatan untuk mendukung proyek berkelanjutan (green).
Jika bank Himbara memprioritaskan sektor energi terbarukan atau proyek berorientasi iklim, maka suntikan ini bukan hanya soal likuiditas, tetapi juga menjadi alat transisi ekonomi menuju pembangunan hijau.
Secara jangka panjang, dana besar seperti ini bisa membuka peluang multiplier effect, yakni penyaluran kredit produktif bisa menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperkuat basis ekonomi riil yang lebih resilient.
3. Peningkatan kepercayaan pasar dan stabilitas sistem keuangan
Dengan dana pemerintah mengalir ke bank-bank Himbara, ada sinyal kuat bahwa negara mendukung perbankan milik negara dalam misi memperkuat pembiayaan domestik.
Ini bisa meningkatkan kepercayaan investor dan deposan terhadap bank-bank Himbara, mengurangi risiko likuiditas bank dan memperkuat stabilitas sistem perbankan nasional.
Selain itu, realisasi penyerapan dana 84 persen dalam waktu relatif singkat menunjukkan respons positif dari perbankan dan memperlihatkan efektivitas kebijakan, setidaknya secara mekanisme penempatan.
Ilustrasi kredit, fintech, pinjaman daring.
Tantangan dan risiko
Sementara potensi positif cukup besar, sejumlah risiko penting perlu diwaspadai agar dana negara ini tidak berbalik menjadi beban di masa depan.
1. Risiko penyaluran kredit
Menurut beberapa ekonom, ada risiko bahwa bank Himbara tidak selektif dalam menyalurkan kredit.
Jika tekanan untuk menyalurkan kredit besar terlalu kuat, bank bisa mengendurkan standar kredit dan menyebabkan peningkatan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
Selain itu, jika dana diarahkan ke proyek-proyek yang kurang produktif, maka efektivitas stimulus sebagai mesin pertumbuhan bisa berkurang.
2. Risiko stranded asset
Beberapa pengamat mengingatkan potensi stranded asset, yaitu aset yang menjadi tidak produktif karena pergeseran ke ekonomi hijau.
Jika bank Himbara menyalurkan kredit ke sektor fosil dengan porsi besar, dana ini bisa berisiko di masa depan bila proyek energi fosil tidak lagi menguntungkan atau tertekan oleh regulasi iklim.
Oleh karena itu, tanpa regulasi alokasi yang jelas, suntikan dana bisa gagal mendorong transisi energi seperti yang diharapkan.
3. Kebutuhan evaluasi dan pengawasan
Kementerian Keuangan sendiri menyadari pentingnya evaluasi. Febrio menyebut bahwa bank seperti Mandiri dan BRI, yang telah menyalurkan dana dengan cepat, akan dievaluasi sebelum penambahan lebih jauh.
Evaluasi semacam ini penting agar pemerintah dapat memastikan bahwa aliran dana tidak hanya cepat, tetapi juga tepat guna.
Ilustrasi Kredit Program Perumahan (KPP) atau dulu dikenal dengan KUR Perumahan.
4. Tantangan permintaan kredit
Walaupun likuiditas meningkat, tidak ada jaminan bahwa permintaan kredit dari dunia usaha dan rumah tangga akan tumbuh sebanding.
Beberapa analisis menyoroti bahwa ekonomi masih menghadapi tantangan yang dapat menahan ekspansi kredit, antara lain ketidakpastian global, daya beli masyarakat, hingga sikap hati-hati dari pelaku usaha dalam berekspansi.
Jika permintaan kredit lemah, bank bisa kesulitan menyalurkan seluruh kelebihan likuiditas, atau menyalurkannya ke instrumen lain, yang bisa mengurangi dampak riil terhadap pertumbuhan ekonomi.
5. Tata kelola dan transparansi
Penempatan dana dalam skala besar selalu membawa tantangan tata kelola. Komisi XI DPR mencatat potensi moral hazard dan menekankan perlunya transparansi agar dana disalurkan ke program prioritas secara produktif, bukan sekadar menjadi “cash parking” di bank.
Pengawasan yang baik, pelaporan transparan, dan audit independen sangat penting agar manfaat ekonomi bisa dirasakan luas dan risiko penyalahgunaan diminimalkan.
Respons DPR
Dalam analisisnya, Komisi XI DPR menyebut bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah ke bank Himbara membawa peluang memperkuat intermediasi perbankan dan mendanai program prioritas, tetapi juga menghadapi tantangan, seperti risiko kredit bermasalah dan moral hazard.
DPR menekankan pentingnya pengawasan agar dana tidak mengendap atau dialihkan ke instrumen lain yang kurang produktif.
Kata Kementerian Keuangan
Kepala Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu.
Febrio menuturkan, realisasi penyaluran dana sebelumnya cukup tinggi, yakni 84 persen dalam sekitar 5 minggu, dan menegaskan bahwa suku bunga rendah, yaitu 3,8 persen, mendukung efisiensi cost of fund.
Namun, Febrio juga menyebut perlunya evaluasi terhadap bank yang sudah menyerap alokasi penuh dan meminta dana tambahan.
Respons ekonom soal penyaluran dana pemerintah ke perbankan
Langkah pemerintah dalam menyalurkan dana ke perbankan sempat mendapat tanggapan beragam dari para ekonom.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic Law and Studies (CELIOS), menyoroti risiko bahwa suntikan yang besar ke Himbara tidak serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi jika tidak dikelola dengan tepat.
Beberapa hal yang disoroti Bhima adalah sebagai berikut. Pertama, proyek yang didanai harus jelas.
Kedua, selektivitas pemberian kredit Bhima mengingatkan agar Himbara tidak hanya menyalurkan kredit program dengan mudah tanpa mitigasi risiko moral hazard atau kredit fiktif.
Ketiga, risiko stranded asset. Ia juga menyoroti bahwa dana pemerintah bisa disalurkan ke sektor fosil alih-alih energi terbarukan.
"Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset),” kata Bhima.
Keempat, tekanan inflasi. Meskipun Bhima menyebut tekanan inflasi dari cara ini “ada tapi kecil”, ia memperingatkan bahwa jika bank didorong untuk menyalurkan kredit terlalu cepat, bisa meningkatkan risiko NPL.
Kelima, perlu regulasi lebih spesifik. Menurut Bhima, Kementerian Keuangan perlu membuat aturan lebih tegas, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan, agar penyaluran dana diarahkan ke sektor yang produktif dan berkontribusi pada transisi hijau.
Ilustrasi kredit pemilikan rumah (KPR)
Sementara itu, Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, menyatakan bahwa suntikan besar likuiditas tanpa perbaikan sisi permintaan (demand) kredit bisa tidak optimal.
Ia menjelaskan, perbankan saat ini justru kelebihan likuiditas, tapi pertumbuhan kredit lamban karena dunia usaha belum percaya diri untuk ekspansi.
Jika demikian, suntikan dana hanya memperkuat sisi moneter (supply) tanpa mendorong permintaan riil.
Wijayanto juga memperingatkan bahwa bank bisa menggunakan dana pemerintah untuk refinancing kredit eksisting, lalu melanjutkan membeli surat berharga seperti SBN (Surat Berharga Negara), alih-alih menyalurkan kredit baru ke sektor riil.
Secara garis besar, menurutnya, dana Rp 200 triliun itu bisa mengendap, dan tidak serta-merta menjadi stimulus produktif.
Adapun ekonom dari Universitas Andalas Efa Yonnedi justru melihat sisi optimistis dari suntikan dana pemerintah itu.
Menurutnya, ada potensi multiplier effect, jika bank Himbara menggunakan likuiditas tersebut melalui jaringan kredit produktif, maka sektor riil bisa bergerak, membuka lapangan kerja, dan mendorong aktivitas ekonomi.
Namun, ia juga menekankan konsekuensi negatif jika bank dipaksa memberikan kredit padahal permintaan rendah. Bisa jadi bank menyalurkan kredit dengan risiko tinggi, yang pada akhirnya bermasalah.
Kinerja bank-bank Himbara dan kelayakan penyaluran dana
Sebelum kebijakan penempatan dana pemerintah, Himbara sudah menunjukkan performa fundamental yang relatif kuat.
Ilustrasi bank.
Sebagai contoh, Bank Mandiri mencatat aset cukup besar hingga semester I 2025, yakni Rp 2.514,68 triliun, naik 11,4 persen secara tahunan (year on year/yoy), sementara NPL berada di level yang terkendali.
Sementara itu, penyaluran kredit BRI mencapai Rp 1.416,62 triliun pada semester I 2025, tumbuh 5,97 persen (yoy), dengan dominasi pada kredit UMKM sebesar Rp 1.137,84 triliun atau 80,32 persen dari total penyaluran kredit perseroan.
Selain itu, Kredit Usaha Rakyat (KUR) disalurkan BRI sebesar Rp 83,88 triliun hingga Juni 2025. Kualitas kredit juga membaik dengan NPL gross turun menjadi 3,23 persen.
Kinerja ini memberikan dasar bahwa Himbara mampu menyerap likuiditas besar, tetapi yang menjadi fokus adalah ke mana kredit tersebut akan mengalir.
Peluang: apakah ini momentum ekonomi hijau dan pertumbuhan riil?
Jika dikelola dengan baik, suntikan dana pemerintah ini bisa menjadi momentum untuk mendorong transisi ekonomi hijau.
Bank Himbara dapat menyalurkan kredit ke proyek energi terbarukan, infrastruktur hijau, dan usaha skala kecil-menengah yang ramah lingkungan.
Ada potensi penciptaan green jobs dalam jumlah besar apabila dana diarahkan ke sektor berkelanjutan, sesuai narasi ekonom seperti Bhima yang menyebut investasi energi terbarukan dapat membuka lapangan kerja dalam skala besar.
Pemerintah bisa mengikat penempatan dana dengan syarat-syarat ESG (environmental, social, governance) untuk memastikan bahwa Himbara tidak hanya mengejar profit jangka pendek tetapi juga dampak sosial dan lingkungan jangka panjang.
Penempatan tambahan dana Rp 76 triliun ke Himbara dan Bank Jakarta adalah langkah strategis dari pemerintah untuk menjaga momentum likuiditas perbankan dan mendorong kredit ke sektor riil menjelang akhir tahun.
Jika dikelola dengan baik, suntikan ini memiliki potensi besar untuk memberikan akselerasi terhadap pertumbuhan investasi, konsumsi, dan proyek prioritas nasional.
Guna mewujudkan dampak positif secara maksimal, diperlukan pengawasan ketat, regulasi yang jelas, dan komitmen dari semua pihak: pemerintah, bank, dan legislatif.
Dengan pendekatan yang bijak dan terukur, suntikan dana ini bisa menjadi pijakan penting dalam pembangunan ekonomi yang lebih inklusif, produktif, dan berkelanjutan.
Tag: #setelah #triliun #perbankan #terima #lagi #dana #triliun