Pakar Minyak Nabati Soroti Risiko Pengambilalihan Lahan Sawit, Prediksi Produksi Indonesia Bisa Merosot
– Dua analis minyak nabati dunia menyampaikan peringatan serius terkait kebijakan pemerintah yang mengambil alih hak kelola lahan sawit melalui satgas khusus. Mereka menilai langkah tersebut dapat memperlambat produksi Indonesia dan memicu tekanan harga di pasar global.
Keduanya menyampaikan pandangan itu dalam konferensi pers setelah berbicara pada IPOC 2025 di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11). Situasi yang mereka gambarkan menunjukkan bahwa risiko terhadap produksi sawit Indonesia bukan hanya jangka pendek, tetapi juga bisa berimbas hingga beberapa tahun ke depan.
Baik Dorab Mistry maupun Thomas Mielke sepakat bahwa tanpa intervensi kebijakan yang mendukung peningkatan produksi, Indonesia berpotensi menghadapi tekanan berat. Mereka menilai pasar internasional juga dapat terdampak karena terbatasnya pasokan dari produsen utama dunia.
Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd, menegaskan bahwa kinerja produksi sawit Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan.
”Dengan kondisi saat ini, produksi Indonesia tahun depan paling bagus hanya datar atau sedikit meningkat. Dalam dua tahun mendatang, produksi tidak akan bertambah lebih dari 1 hingga 1,5 juta ton,” ujar Mistry dalam konferensi pers IPOC 2025 di BICC The Westin, Nusa Dua, Jumat (14/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa tanpa penerbitan izin baru untuk perkebunan plasma maupun swasta, peningkatan produksi hampir mustahil terjadi. Bahkan jika izin keluar hari ini, pasokan baru baru akan hadir setelah tiga hingga empat tahun masa tanam.
Mistry juga mengingatkan bahwa ekspansi industri hilir yang sangat cepat menambah tekanan baru. Industri oleokimia disebutnya terus menyerap pasokan CPO domestik sehingga membuat ruang ekspor semakin terbatas.
Jika pasokan itu menipis, negara pembeli besar seperti India akan terdampak langsung.
“Jika India tidak mendapatkan cukup pasokan dari Indonesia, harga akan naik. Inilah sebabnya proyeksi kami bullish, tetapi proyeksi bullish tidak selalu baik karena konsumen yang menanggung dampaknya,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengutip pepatah lama untuk menggambarkan pentingnya tindakan cepat pemerintah.
”A stitch in time saves nine,” kata Mistry.
Ia kemudian menegaskan makna ungkapan tersebut.
”Artinya, tindakan cepat hari ini mencegah masalah besar di masa depan. Pemerintah perlu segera mengeluarkan izin tanam baru dan meningkatkan produksi. Jika tidak, tahun-tahun mendatang akan menjadi masa yang sulit,” kata Mistry.
Pandangan tersebut kemudian dilengkapi oleh Thomas Mielke, Direktur Eksekutif Oil World, yang menilai ancaman penurunan produksi sudah di depan mata.
“Komoditas strategis ini akan menghadapi tekanan besar,” ujarnya dalam awal penjelasannya.
“Kami memperkirakan produksi Indonesia akan turun pada 2026 dan turun lebih jauh pada 2027,” kata Mielke.
Ia menyebut besaran lahan yang diambil alih satgas menjadi faktor penentu. Jika luasnya mencapai 3 juta hektare atau lebih, dampak terhadap suplai disebut sangat serius dan bisa mengguncang stabilitas pasar global.
Mielke mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat mengendalikan harga dunia. Harga minyak nabati internasional pada 2026–2027 akan menentukan harga domestik sehingga Indonesia tidak bisa menahan implikasinya sepenuhnya.
Selain itu, Malaysia dinilai tidak memiliki kapasitas untuk menutup kekurangan ekspor Indonesia. Negara tersebut menghadapi kendala luas tanam matang yang terbatas, replanting yang lambat, dan produktivitas yang menurun.
”Jika pasokan Indonesia turun, harga naik. Ketika harga naik, negara lain akan menambah produksi minyak nabati lain, dan konsumen beralih dari sawit karena sensitif harga,” ujarnya.
Mielke kemudian menanggapi kebijakan pemerintah yang membuka peluang tanam baru seluas 600.000 hektare. Ia menilai langkah tersebut tepat, tetapi hasil nyatanya baru dapat dirasakan beberapa tahun mendatang.
Ia memberikan catatan tambahan terkait pentingnya tata kelola kebun yang profesional.
“Jika manajemen kebun diambil alih dari para profesional, hasilnya menurun. Pengelolaan oleh orang yang tidak berpengalaman tidak akan efektif.”
Ia menutup pandangannya dengan penegasan bahwa keputusan hari ini akan menentukan masa depan sawit Indonesia. Kebijakan yang tepat dianggap mampu menjaga stabilitas industri sekaligus menghindarkan pasar global dari gejolak yang lebih besar.
Tag: #pakar #minyak #nabati #soroti #risiko #pengambilalihan #lahan #sawit #prediksi #produksi #indonesia #bisa #merosot