Karena Disabilitas Bukan Akhir, Kisah Sri Setyaningsih dan 500 Harapan yang Dibangkitkan...
Pendiri Sanggar Kresna Patra yang terletak di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43) (baju biru), tengah menyiapkan berbagai bahan dan peralatan sebelum dimulai pelatihan menjahit bersama 22 penyandang disabilitas lain dari berbagai daerah, termasuk luar provinsi, pada Jumat (27/6/2025) pagi. Ia sendiri merupakan disabilitas daksa. Sejak 2021, Kresna Patra telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas, dengan 200 di antaranya telah bekerja di
10:32
30 Juni 2025

Karena Disabilitas Bukan Akhir, Kisah Sri Setyaningsih dan 500 Harapan yang Dibangkitkan...

Duduk di belakang, Nur Janah (25) mencengkeram erat kaus putih ayahnya, Suparno (57). Setibanya motor mereka di halaman rumah Sri Setyaningsih (43) pukul 08.00 WIB lebih sedikit, tangannya tak seketika lepas. Ia hanya memindahkan pegangan dari sisi perut ke bahu. 

Suparno mematikan mesin motor dan menegakkan standar dengan kaki kirinya. Segera setelah turun lebih dulu, ia beranjak pindah berdiri ke samping kiri putrinya dan membungkuk ke arah luar. Perlahan, Nur meraih punggung ayahnya. 

Dengan hati-hati, Suparno lalu menggendong Nur sampai masuk ke ruang sanggar belajar Kresna Patra yang didirikan oleh Sri. Di dalam ruangan, sudah ada belasan peserta pelatihan lain yang tiba lebih awal.

Suparno mendudukkan Nur di dekat Dwi Lestari (38). Berbeda dengan 20 penyandang disabilitas lain yang duduk di kursi dan kursi roda, keduanya lebih mungkin duduk di lantai dengan beralaskan tikar.

Polio yang Dwi dan Nur alami sejak kecil menyebabkan kelumpuhan pada otot kaki dan batang tubuh, sehingga leseh lebih nyaman dipilih selama mengikuti pelatihan menjahit. Meski begitu, semangat mereka tak kalah dari siapa pun.

Di hadapan keduanya, telah tersedia mesin jahit portabel dengan satu jarum, beberapa potong kain, dan gunting. Benda-benda itu kini menjadi jembatan bagi harapan mereka.

“Pengen bisa mandiri dan bantu orang tua,” ucap Nur perlahan, dengan suara yang tertata namun mantap saat ditemui Kompas.com, Jumat (27/6/2025) pagi. ”Saya juga, ingin nanti bisa (buka usaha) jahit di rumah,” timpal Dwi.

Penyandang disabilitas daksa asal Kemusu, Boyolali, Nur Janah (25), digendong oleh ayahnya saat hendak mengikuti pelatihan menjahit di Sanggra Kresna Patra di Desa Klewor yang didirikan oleh Sri Setyaningsih (43), Jumat (27/6/2025) pagi. Sri Setyaningsih sendiri juga merupakan disabilitas daksa. Sejak 2021, ia telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas lain untuk mengikuti pelatihan di Kresna Patra.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Penyandang disabilitas daksa asal Kemusu, Boyolali, Nur Janah (25), digendong oleh ayahnya saat hendak mengikuti pelatihan menjahit di Sanggra Kresna Patra di Desa Klewor yang didirikan oleh Sri Setyaningsih (43), Jumat (27/6/2025) pagi. Sri Setyaningsih sendiri juga merupakan disabilitas daksa. Sejak 2021, ia telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas lain untuk mengikuti pelatihan di Kresna Patra.

Itu adalah hari ke-27 bagi Nur, Dwi, dan 20 disabilitas lain dalam mengikuti pelatihan menjahit yang diadakan di sanggar Kresna Patra di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah (Jateng). 

Kondisi mereka berbeda-beda, tetapi dapat diklasifikasikan sebagai penyandang disabilitas daksa, disabilitas tuli, disabilitas wicara, disabilitas sensorik, dan disabilitas intelektual, ataupun ganda.

Sebelum mengikuti pelatihan, mereka telah dinyatakan lolos di tahap asesmen yang dilakukan oleh pendiri Kesna Patra, Sri Setyaningsih. Penilaian terdiri dari berbagai indikator, termasuk kemampuan, minat, bakat, dan motivasi. 

"Kami tak hanya lihat kondisi fisik, tapi juga trauma dan mimpi mereka," ucap Sri.

Ia menjelaskan, ada dua jalur yang disiapkan bagi para peserta setelah menyelesaikan pelatihan menjahit. Jalur pertama adalah menjadi karyawan di pabrik garmen. Jalur kedua, yaitu menjadi pelaku usaha kecil menengah (UMKM) dengan pendampingan berkelanjutan.

“Sejak tahap asesmen awal, kami memang tidak menargetkan semua peserta harus bisa masuk ke perusahaan. Target kami seimbang, kira-kira 50 persen siap masuk dunia kerja formal, dan 50 persen lainnya bisa merintis usaha mandiri,” terangnya.

Namun, ia bilang, sejauh ini proporsi demikian tidak selalu bisa dipenuhi secara presisi. Sebab, di akhir program pelatihan, para peserta akan pula difasilitasi untuk mengikuti uji kompetensi guna memperoleh sertifikat resmi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Hanya mereka yang lulus uji kompetensi yang kemudian bisa direkomendasikan untuk direkrut perusahaan. Meski begitu, ia menegaskan apa pun hasil uji kompetensi tersebut, tidak akan dianggap sebagai masalah.

"Bagi kami, bukan hanya keterampilan teknis yang penting, tapi juga kemampuan lunak atau soft skills seperti daya juang, komunikasi, dan rasa percaya diri. Itu semua adalah bekal penting agar mereka bisa bertahan dan berkembang di mana pun berada. Kami telah ajarkan pula soal life skill yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sehari-hari," jelasnya.

Ia mendorong peserta yang belum berhasil masuk ke perusahaan tetap memiliki semangat untuk melangkah. Begitu pula sebaliknya, mereka yang awalnya diproyeksikan untuk berwirausaha, tetap terbuka jika ada peluang kerja di industri.

“Yang penting, teman-teman terus berdaya, punya arah, dan tidak berhenti mencoba,” tuturnya.

Bangkit dari luka

Sri mengaku, memahami benar bagaimana rasanya tumbuh dengan keterbatasan fisik. Ia sendiri adalah disabilitas daksa. Polio yang menyerangnya di usia balita membuat salah satu kakinya lumpuh, tak mampu menopang tubuh.

Pendiri Sanggar Kresna Patra yang terletak di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43), tengah mengawasi proses pelatihan menjahit yang diikuti oleh 22 disabilitas dari berbagai daerah, termasuk luar provinsi, pada Jumat (27/6/2025) pagi. Sri sendiri merupakan disabilitas daksa. Sejak 2021, Kresna Patra telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas, dengan 200 di antaranya telah bekerja di perusahaan tekstil atau garmen.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Pendiri Sanggar Kresna Patra yang terletak di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43), tengah mengawasi proses pelatihan menjahit yang diikuti oleh 22 disabilitas dari berbagai daerah, termasuk luar provinsi, pada Jumat (27/6/2025) pagi. Sri sendiri merupakan disabilitas daksa. Sejak 2021, Kresna Patra telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas, dengan 200 di antaranya telah bekerja di perusahaan tekstil atau garmen.Namun, yang paling menyakitkan bagi Sri justru bukan kondisi fisiknya, melainkan respons lingkungan sekitar, bahkan keluarga. Ia masih mengingat jelas tatapan iba tetangga-tetangganya setiap kali ia keluar rumah. 

Bahkan, ada anggota keluarganya yang pernah mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa membantu atau membalas jasa orang tua.

“Kalimat itu rasanya seperti pisau. Menggores terus, dalam,” ucapnya, suaranya bergetar.

Alih-alih larut dalam kepedihan, Sri menjadikan luka itu sebagai bahan bakar. Ia bertekad membalik rasa sakit menjadi kekuatan.

“Aku pernah bersumpah, aku akan buktikan bahwa disabilitas bukan akhir segalanya,” katanya seru.

Tahun 2014 menjadi momen perubahan. Sri mulai mengumpulkan teman-teman disabilitas dari berbagai desa di Kemusu untuk sekadar berbagi cerita atau perasaan. Tanpa disangka, lelompok kecil itu berkembang. 

Pada 2017, mereka tercatat resmi membentuk kepengurusan Forum Komunikasi Disabilitas Boyolali (FKDB) Kecamatan Kemusu. Kegiatan awal mereka sederhana, yakni pelatihan membuat keripik tempe dan cokelat tempe.

Dalam perjalannya, Sri pun tak ingin kelompok ini hanya sekadar bertahan. Ia terus mencari cara agar mereka bisa lebih mandiri dan diterima di masyarakat luas. 

Dengan dukungan dari pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan sejumlah BUMN, FKDB Kemusu kemudian bisa membuka pelatihan-pelatihan keterampilan lainnya, seperti tata boga, menjahit, hingga pemasaran digital.

Ketika pada gilirannya dipercaya menjadi Ketua FKDB tingkat kabupaten, Sri pun mulai menggugah kesadaran perusahaan-perusahaan.

Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika ia bersitegang dengan pejabat HRD dari sebuah perusahaan garmen besar yang membuka pabrik di Boyolali.

"Waktu itu saya bilang, ’Bapak memaparkan ke mana-mana bisa buka lowongan kerja sampai 2.000 orang, tapi pada kenyataannya tak ada satu pun untuk disabilitas. Kenapa?’. Kami sempat ’bertengkar’," ucap Sri bercerita.

Ia bersyukur, debat sengit itu justru berujung pada kolaborasi. Perusahaan tersebut akhirnya membuka pintu bagi lulusan pelatihan dari Sri. 

Pada 2021, ia pun meresmikan Sanggar Kresna Patra yang merupakan singkatan dari kreasi inklusi Nusantara. 

Ia ingin menjadikan rumahnya bukan sekadar sebagai tempat pelatihan keterampilan, tapi juga ruang pemulihan harga diri. Sejak 2021, ia mencatat sudah ada 500-an penyandang disabilitas yang belajar di Kresna Patra tanpa dipungut biaya sepeser pun. 

Mereka berasal dari berbagai daerah, bukan hanya Boyolali. Beberapa bahkan datang dari luar provinsi Jateng, seperti Jawa Timur (Jatim) dan Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY).

Seperti pada pelatihan periode ini, ada peserta yang berasal dari Gunung Kidul, DIY. Menurut Sri, mereka biasanya mendaftar setelah mendapatkan informasi dari komunitas masing-masing atau media sosial.

Pendiri Sanggar Kresna Patra yang terletak di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43), tengah mengajari disabilitas lain dalam pelatihan menjahit pada 2024. Ia sendiri adalah penyandang disabilitas daksa. Sejak 2021, Kresna Patra telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas, dengan 200 di antaranya telah bekerja di perusahaan tekstil atau garmen.Dok. Sri Setyaningsih Pendiri Sanggar Kresna Patra yang terletak di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43), tengah mengajari disabilitas lain dalam pelatihan menjahit pada 2024. Ia sendiri adalah penyandang disabilitas daksa. Sejak 2021, Kresna Patra telah memfasilitasi sekitar 500 penyandang disabilitas, dengan 200 di antaranya telah bekerja di perusahaan tekstil atau garmen.Sri menyampaikan, dari 500 disabilitas yang telah dilatih di Kresna Patra, sekitar 200 orang sudah masuk ke perusahaan. Sedangan lainnya telah difasilitasi untuk berwirausaha, dengan sekitar 10 persennya kembali ke orang tua. 

Ia bercerita, tidak semua penyandang disabilitas yang diterima di perusahaan, bekerja sebagai penjahit. Sri bersyukur sejumlah perusahaan kini lebih terbuka terhadap keberadaan disabilitas. 

Misalnya, ada perusahaan yang pernah menerima lulusan Kresna Patra karena melihat dari semangat dan ketekunannya sampai akhirnya ditempatkan pada bagian logistik.

”Ada Mas Mustafa, yang kedua tangannya diamputasi, kini bekerja jadi pemindah barang di pabrik garmen. Kami buatkan alat bantu khusus," ungkapnya.

Lebih lanjut, Sri tak memungkiri, perjuangannya belum usai. Ia meyakini, masih ada banyak penyandang disabilitas yang mengurung diri maupun dikurung oleh keluarga di rumah. Sri berkeinginan bisa terus punya kesempatan untuk ”menjemput” satu per satu dari mereka.

"Mas Giyarto (54) itu dulu juga gitu. Setelah mengalami kecelakaan dan harus pakai kursi roda, beliau enggak mau keluar rumah. Saya lalu datangi terus rumahnya, sampai akhirnya Mas Gi mau ikut pelatihan (menjahit) periode awal,” jelas Sri, sambil menunjuk ke arah salah satu pengguna kursi roda di ruangan.

Giyarto (54) tengah membantu penyandang disabilitas lain dalam proses pelatihan yang diadakan di Sanggar Kresna Patra, di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43) pada Jumat (27/6/2025) pagi. Giyarto (di kursi roda) adalah penyandang disabilitas daksa alumni pelatihan awal. Ia dimintai bantuan oleh pendiri Kresna Patra, Sri Setyaningsih (43) untuk menyalurkan keterampilannya kepada peserta pelatihan selanjutnya.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Giyarto (54) tengah membantu penyandang disabilitas lain dalam proses pelatihan yang diadakan di Sanggar Kresna Patra, di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Sri Setyaningsih (43) pada Jumat (27/6/2025) pagi. Giyarto (di kursi roda) adalah penyandang disabilitas daksa alumni pelatihan awal. Ia dimintai bantuan oleh pendiri Kresna Patra, Sri Setyaningsih (43) untuk menyalurkan keterampilannya kepada peserta pelatihan selanjutnya.Kini, Giyarto menjadi salah satu asisten pelatih atau pengajar di Kresna Patra. Ia mendampingi Sri bersama Daryono (55), yang juga pengguna kursi roda. Keduanya tidak hanya membantu teknis pelatihan, tetapi juga hadir menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk bangkit.

”Bagi kami, untuk menerima diri sendiri saja cenderung susah, apalagi harus berusaha untuk orang lagi bisa menerima. Maka dari itu, sanggar ini ada. Saya ingin menyediakan rumah harapan, tempat untuk teman-teman disabilitas bisa bersama-sama pulih, tumbuh, dan berdaya,” ucap Sri.

Ia kemudian terdiam sejenak, sebelum menambahkan dengan suara lirih, “Begitupun untuk saya sendiri. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu. Bahwa saya bahkan bisa bermanfaat bagi orang lain”.

Rentetan kemudahan

Dalam perjalanannya mendampingi para disabilitas lain, Sri Setyaningsih tak menampik adanya berbagai tantangan. Bahkan untuk urusan komunikasi, ia harus mampu menyesuaikan pendekatan kepada masing-masing peserta.

“Setiap orang datang dengan latar belakang, karakter, dan kebutuhan yang berbeda-beda. Saya harus menyesuaikan cara pendekatan saya ke masing-masing dari mereka,” ungkapnya.

Seperti yang terjadi pada Jumat pagi itu. Usai berbincang santai dengan beberapa peserta di meja belakang, ia beralih ke meja lain dan menghadapi Gilang (24) dan Mufid (24), peserta dengan keterbatasan pendengaran. 

Tanpa ragu, Sri langsung menyesuaikan cara komunikasinya. Ia memperjelas gerakan mulutnya dan mulai menggunakan bahasa isyarat untuk berinteraksi. Pendekatan itu membuat keduan pemuda itu lebih nyaman dan responsif.

Pengguan kursi roda Daryono (55) tengah membantu proses belajar menjahit di Sanggar Kresna Patra yang didirikan Sri Setyaningsih (43) di rumahnya, Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jumat (27/6/2025) pagi. Sanggar tersebut khusus memfasilitasi pelatihan busana, boga, dan pemasaran bagi para penyandang disabilitas dari berbagai daerah.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Pengguan kursi roda Daryono (55) tengah membantu proses belajar menjahit di Sanggar Kresna Patra yang didirikan Sri Setyaningsih (43) di rumahnya, Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jumat (27/6/2025) pagi. Sanggar tersebut khusus memfasilitasi pelatihan busana, boga, dan pemasaran bagi para penyandang disabilitas dari berbagai daerah.

Namun di balik semua tantangan itu, Sri justru merasa bahwa dirinya kerap dipermudah dalam banyak hal.

“Kalau niat kita baik, pasti ada saja jalannya. Saya percaya itu,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, meski tidak memungut biaya sepeser pun untuk pelatihan di Sanggar Kresna Patra, para peserta tetap bisa mendapatkan fasilitas yang layak. 

Bahkan, sebagian besar peserta pada setiap periode pelatihan, termasuk di bulan Juni ini, harus tinggal di rumah Sri selama masa pelatihan. Hal ini dilakukan demi alasan keamanan dan keselamatan mereka.

Meski rumahnya sederhana, Sri tetap berupaya menyediakan makan tiga kali sehari secara gratis.

Kebutuhan operasional lain seperti mesin jahit, kain, alat masak, alat tulis, hingga perlengkapan digital selama ini ia coba penuhi secara bertahap. Tak jarang, bantuan datang dari arah yang tak disangka-sangka.

“Pernah kami butuh mesin jahit baru. Eh, beberapa minggu kemudian, ada yang datang menyumbang. Situasai seperti itu sering terjadi. Termasuk waktu saya punya keinginan supaya halaman depan rumah bisa diplester unuk memudahkan teman-teman bergerak, enggak lama kemudian ada saja jalannya. Saya anggap itu rezeki dari niat baik kami,” tuturnya.

Sri percaya bahwa kemudahan-kemudahan itu adalah bentuk rezeki dari Tuhan, yang datang melalui banyak tangan. Dukungan datang dari sesama pengurus FKDB, masyarakat sekitar, tokoh masyarakat, donatur, pemerintah daerah, perusahaan swasta, hingga BUMN.

Semua pihak ini, menurutnya, sangat berperan dalam menjaga agar pelatihan terus berjalan.

Dalam setahun, ia bisa menyelenggarakan 4–6 periode pelatihan, masing-masing diikuti sekitar 20 disabilitas. 

Untuk menopang kebutuhan pendanaan, Sri dan timnya juga menerima pesanan pembuatan pakaian dan suvenir yang dikerjakan oleh peserta aktif maupun alumni. Hasil penjualannya dibagi, dengan porsi keuntungan yang lebih besar diberikan kepada pembuatnya.

“Kami juga cukup sering dapat pesanan. Belum lama ini, kami bikin suvenir untuk pernikahan di Jogja. Dulu pernah juga dapat pesanan dari Jakarta. Tapi memang yang paling banyak dari Boyolali, Sragen, dan sekitarnya. Selain suvenir, kadang ada yang minta dibuatkan baju jadi atau celana kolor. Ini sangat membantu teman-teman untuk tambah penghasilan dan tetap semangat berkarya,” terang Sri.

Dalam proses distribusi produk, Sri bercerita bahwa ia sejauh ini mengandalkan jasa pengiriman PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE). 

Lokasi rumahnya yang berada di pedalaman, tepat di tepi aliran Waduk Kedung Ombo, membuat akses logistik menjadi tantangan tersendiri. 

Jarak ke pusat Kota Boyolali saja mencapai 41,5 kilometer atau sekitar sejam perjalanan dengan sepeda motor. Ke Sragen (39,9 km) dan Solo (38,5 km) memang sedikit lebih dekat, tetapi tetap membutuhkan waktu dan biaya.

“Pilihan utama saya ya JNE. Kurirnya mau jemput paket ke rumah, walaupun rumah saya jauh di pelosok. Mereka juga komunikatif. JNE kan punya banyak program supaya ongkir lebih murah dan pengiriman bisa lebih cepat. Kami bisa tanya-tanya mereka kalau butuh saran soal cara kirim yang paling pas. Teman-teman alumni saya lihat juga banyak yang pakai JNE,” jelas Sri.

Bagi komunitas disabilitas, kemauan kurir untuk datang menjemput paket punya arti besar. Tak hanya memudahkan logistik, tapi juga menyelamatkan dari risiko kelelahan, ongkos mahal, dan bahaya selama perjalanan.

“Enggak semua teman bisa naik motor sendiri atau punya kendaraan. Jadi pick-up service itu bukan cuma soal kenyamanan, tapi akses yang sangat dibutuhkan,” katanya.

Sri juga mengapresiasi sistem pelacakan JNE yang menurutnya sangat membantu dalam menjawab pertanyaan dari pelanggan. Menurutnya, jasa kurir JNE secara umum telah berhasil memberikan kenyamanan dan rasa aman baginya, terutama dalam menjalin kepercayaan dengan pelanggan atau pihak-pihak yang mempercayakan pembuatan produk di Kresna Patra.

“Kalau ada yang tanya, ‘Kapan barangnya sampai?’ kami tinggal cek di aplikasi atau website. Agen JNE juga bisa dimintai bantuan. Mereka cepat merespons dan enggak lempar-lempar. Ya, ini juga saya anggap berkah,” imbuhnya.

Bagi Sri, setiap kemudahan yang datang adalah penegas bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Ia ingin membuktikan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk berbuat baik hingga bermanfaat bagi orang lain, semesta tak akan tinggal diam. 

Menjual kualitas

Jauh dari Boyolali, semangat untuk terus berkarya juga terpancar dari sosok Dwi Retno Anggraeni (25), pemudi asal Parakancanggah, Banjarnegara, Jateng.

Meski mengalami cedera saraf tulang belakang yang menyebabkan disfungsi gerak pada kakinya, Retno tak pernah menyerah pada keadaan. Sebaliknya, ia justru menemukan kekuatan baru dari keterbatasan itu.

Kecintaannya pada kerajinan tangan bermula saat ia duduk di bangku SMA. Saat itu, Retno mulai tertarik membuat aneka bentuk dari kain flanel. 

Ketertarikan itu terus tumbuh hingga ia memberanikan diri membuka usaha sendiri dengan nama d’Ra Craft pada 2017. Ia menerima pesanan berbagai kerajinan dari kain flanel.

Bagi Retno, disabilitas bukan alasan untuk berhenti melangkah. Ia percaya, setiap orang hadir ke dunia bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk menjadi “ada“. 

”Saya tidak mau fokus pada keterbatasan. Menjadi disabilitas juga bisa berdaya. Pada dasarnya, setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing,” ucapnya yakin.

Dalam menjalankan d’Ra Craft, Retno pun memegang prinsip kuat, yakni tak ingin karyanya dibeli karena rasa kasihan. Ia mau produknya diinginkan karena mutu dan keunikannya, bukan karena pembuaatnya adalah penyandang disabilitas.

“Setidaknya saya bisa membuktikan pada diri sendiri bahwa produk d’Ra Craft dibeli bukan karena label ‘produk disabilitas’, melainkan karena kualitasnya bisa bersaing dengan kerajinan flanel lainnya,” tegasnya.

Awalnya, Retno membuat buket flanel dan gantungan kunci. Namun, seiring waktu dan keaktifan memasarkan produknya lewat media sosial, permintaan pun berkembang. 

Kini ia mampu mengerjakan berbagai bentuk kerajinan flanel, mulai dari replika buah dan sayur, boneka, mainan edukatif, media pembelajaran, hiasan pintu dan dinding, pop-up frame, hingga hampers. Semua ditawarkan dalam rentang harga Rp 25.000 hingga Rp 120.000 per pcs.

Menariknya, seluruh proses produksi ia lakukan sendiri dari dalam rumah, mulai dari pembuatan produk, pemotretan, promosi, hingga pengepakan.

“Mulai fokus jualan di marketplace sejak 2020, sistemnya pre-order, dengan waktu pengerjaan tiga hari sampai seminggu, tergantung antrean, jumlah pesanan, dan tingkat kesulitannya,” jelas Retno.

Karena ingin lebih berdaya, ia pun telah berhasil menyandang status sebagai mahasiswa atas hasil kerja kerasnya. Di sela-sela perkuliahannya yang dilakukan secara daring, Dwi bersyukur masih bisa meraup penghasilan antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan.

Pelanggannya kini banyak berasal dari luar Pulau Jawa. Untuk pengiriman produk penanan, ia termasuk mempercayakan kepada JNE.

Komitmen dukungan

Sebagai perusahaan logistik yang telah beroperasi selama lebih dari tiga dekade, JNE tak hanya berfokus pada kecepatan dan ketepatan pengiriman. 

Lebih dari itu, JNE menyatakan terus meneguhkan komitmennya dalam menciptakan layanan yang inklusif, ramah disabilitas, serta mendukung ekosistem bisnis yang berkelanjutan di Indonesia.

Regional Marketing and Partnership JNE Jateng-DIY, Widiana, mengungkapkan inklusivitas menjadi bagian dari semangat JNE dalam mengusung prinsip Connecting Happiness. Ia menegaskan, JNE memiliki komitmen untuk memberikan layanan terbaik kepada setiap konsumen, termasuk kelompok disabilitas.

Salah satu bentuk komitmen itu diwujudkan melalui penyediaan layanan pick up tanpa minimal pengiriman. Cukup dengan menghubungi JNE melalui WhatsApp atau telepon, kurir akan menjemput paket langsung ke lokasi pelanggan dengan harapan bisa memudahkan masyarakat, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas. 

Tak hanya itu, JNE juga memberikan diskon khusus sebagai bentuk apresiasi.

Untuk memastikan setiap pelanggan merasa nyaman, seluruh karyawan baru JNE juga dibekali pelatihan dasar, termasuk pemahaman menghadapi konsumen dengan kebutuhan khusus seperti disabilitas tuli ataupun wicara. 

Menurut Widiana, hal ini menjadi bagian dari standar operasional perusahaan agar semua pelanggan dapat dilayani dengan penuh empati dan profesionalisme.

Tak hanya dari sisi layanan, JNE juga membuka peluang kerja yang setara bagi disabilitas. Menurut Widiana, mereka bahkan bisa mengisi berbagai posisi, termasuk menjadi kurir lapangan. Ini menjadi bukti bahwa inklusivitas bukan hanya wacana, tapi diterapkan dalam praktik nyata.

Lebih lanjut, JNE juga aktif menjalin kolaborasi dengan berbagai komunitas disabilitas di Indonesia. Melalui kerja sama ini, JNE memberikan dukungan logistik untuk kegiatan seperti pameran, pengiriman buku, hingga berbagai inisiatif tanggung jawab sosial (CSR). 

Salah satunya adalah kerja sama dengan komunitas seniman disabilitas Tabspace di Bandung.

“Melalui kolaborasi ini, kami ingin menunjukkan bahwa JNE hadir bukan sekadar mengantarkan paket, tapi juga harapan dan peluang,” ujar Widiana.

Demi memperkuat ekosistem bisnis yang inklusif dan berkelanjutan, JNE juga telah rutin menggelar pelatihan, konsultasi bisnis, bantuan pemasaran, serta menyediakan layanan pengiriman yang dirancang untuk mendukung pertumbuhan UMKM di berbagai daerah.

Lewat program “JNE Ngajak Online” yang diadakan sejak 2017 misalnya, JNE sudah menjangkau lebih dari 40.000 pelaku UMKM dari 183 kota diberikan edukasi.

Semua langkah ini, menurut Widiana, merupakan bagian dari semangat JNE dalam menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). JNE ingin hadir sebagai perusahaan yang tak hanya memberikan nilai ekonomi, tapi juga manfaat sosial, budaya, dan lingkungan secara luas.

Komitmen itu pun mendapatkan pengakuan. Baru-baru ini, JNE menerima penghargaan Indonesia CSR Brand Equity Awards 2025 dari The Iconomics dalam kategori Layanan Kurir. Penghargaan tersebut diberikan atas konsistensi JNE dalam menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

“Penghargaan ini menjadi pelecut semangat bagi kami untuk terus mengembangkan program yang bermanfaat, dan mendukung terciptanya bisnis yang berkelanjutan di Indonesia,” ujar Widiana menutup pernyataannya.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Tag:  #karena #disabilitas #bukan #akhir #kisah #setyaningsih #harapan #yang #dibangkitkan

KOMENTAR