



Kedaulatan Obat Herbal di Tanah Air
DI tengah kegelisahan global mengenai ketahanan kesehatan dan krisis rantai pasok farmasi, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah yang menentukan. Pada minggu ini di pertengahan Oktober 2025, Jakarta menjadi saksi berkumpulnya delegasi dari empat puluh sembilan negara dalam forum WHO–International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines (WHO–IRCH).
Di panggung utama, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., Ph.D., Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), berbicara dengan nada yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga mengandung nada kebangsaan yang kuat: Indonesia bukan lagi sekadar pengguna dan pasar dari industri farmasi global, melainkan calon pemimpin dunia dalam pengawasan dan pengembangan obat herbal berbasis bukti ilmiah.
Dalam kalimat yang tenang namun sarat makna, ia menegaskan bahwa “kita tidak hanya memiliki warisan, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan obat herbal menjadi sumber kesehatan yang aman, efektif, dan terjangkau bagi seluruh umat manusia.”
Kalimat itu menggema tidak sekadar sebagai seruan simbolik, melainkan sebagai wacana tentang kedaulatan kesehatan nasional. Sebab, di balik kebanggaan atas potensi tiga puluh ribu spesies tumbuhan obat yang tumbuh di bumi Nusantara, tersembunyi kenyataan getir bahwa sembilan puluh empat persen bahan baku obat di Indonesia masih diimpor.
Dalam konferensi pers yang sama, Taruna mengakui kenyataan ini dengan keterusterangan ilmuwan yang jujur terhadap data: ketergantungan impor yang begitu tinggi telah menempatkan sistem kesehatan nasional dalam posisi rentan, baik dari sisi ekonomi maupun keamanan pasokan.
Ia menegaskan bahwa target jangka panjang BPOM adalah menurunkan ketergantungan impor secara bertahap—dari 94 persen menjadi 90, lalu 80, hingga suatu hari hanya 50 persen. Namun di balik nada optimistis itu, terselip pertanyaan mendasar: mengapa negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia harus bergantung sedemikian rupa pada bahan baku dari luar negeri?
Pertanyaan itu tidak semata bersifat ekonomi, tetapi juga politis dan epistemologis. Di sinilah konsep kedaulatan menjadi pusat persoalan. Bagi seorang ekonom politik seperti Ha-Joon Chang, yang mengkritik logika neoliberal dalam industri farmasi global, dominasi impor bahan baku adalah bentuk ketergantungan struktural yang menghalangi kemandirian inovasi nasional.
Dalam kerangka teori dependency, sebagaimana dikemukakan oleh Theotonio dos Santos, ketergantungan pada bahan baku asing bukan sekadar urusan dagang, melainkan mekanisme kontrol atas arah kebijakan suatu negara. Maka, ketika negara-negara maju menguasai teknologi ekstraksi bahan aktif dan formulasi farmasi, negara seperti Indonesia hanya berperan sebagai penyedia bahan mentah dan pasar konsumen.
Struktur ini persis seperti apa yang pernah dikritik Immanuel Wallerstein dalam The Modern World-System, di mana pinggiran dunia (periphery) tetap terjebak dalam siklus produksi rendah nilai tambah, sementara pusat (core) mengakumulasi keuntungan dari inovasi dan teknologi. Namun, jika dikaji dari sudut pandang filsafat ilmu, masalah ini tidak hanya menyangkut distribusi kekuasaan ekonomi, melainkan juga relasi antara pengetahuan dan otoritas.
Michel Foucault dalam Naissance de la clinique menulis bahwa kekuasaan medis tidak hanya bersumber dari kemampuan menyembuhkan, tetapi juga dari legitimasi epistemik untuk menentukan apa yang disebut “ilmu kesehatan”. Ketika Indonesia terus-menerus mengimpor bahan baku dan standar pengujian dari luar negeri, negara ini pada dasarnya mengimpor definisi kebenaran ilmiah itu sendiri.
Dalam arti tertentu, pengakuan bahwa jamu atau fitofarmaka “belum memenuhi kriteria uji klinis” sering kali mencerminkan dominasi paradigma biomedis Barat atas epistemologi pengobatan tradisional Timur.
Namun sejarah Indonesia menunjukkan jejak yang jauh lebih tua dan dalam. Ribuan tahun sebelum istilah clinical trial dikenal, masyarakat Nusantara telah mengembangkan sistem empiris berbasis pengalaman dan pengamatan alam. Temuan arkeologis di Kalimantan tentang praktik bedah amputasi berusia 31.000 tahun menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah memahami anestesi dan antiseptik dari tumbuhan. Relief Candi Borobudur memahatkan narasi tentang perawatan dengan tumbuhan obat.
Artinya, tradisi pengobatan Indonesia bukanlah residu folklor, melainkan warisan empiris yang mendahului konseptualisasi modern tentang farmakologi. Namun, dalam era globalisasi ekonomi, narasi semacam itu sering kehilangan pijakan dalam kebijakan publik.
Ketika pemerintah membuka peluang investasi asing dalam pengembangan bahan baku obat alam dan fitofarmaka, pertanyaan mendasar muncul: apakah langkah itu bentuk kolaborasi, atau justru penyerahan kedaulatan?
Ilustrasi obat herbal. Setiap orang harus bijak dalam memilih dan mengonsumsi obat. Dokter spesialis urologi menjelaskan penggunaan obat yang bisa sebabkan kerusakan ginjal.
Pemerintah beralasan bahwa keterlibatan asing diperlukan untuk transfer teknologi, peningkatan kapasitas industri, dan efisiensi biaya produksi. Di permukaan, argumen ini tampak rasional—bahkan pragmatis. Tetapi jika ditelaah lebih dalam, logika itu bisa menjadi pintu masuk bagi bentuk kolonialisme baru: kolonialisme bioteknologi.
Indonesia dengan cepat bisa berubah dari pemilik biodiversitas menjadi sekadar penyedia data genetika, sementara hak atas hasil penelitian—termasuk paten dan lisensi komersial—dikuasai oleh investor asing yang memiliki modal dan infrastruktur laboratorium.
Dalam konteks inilah, gagasan “kolaborasi internasional” perlu dibaca secara kritis. Menurut Karl Polanyi dalam The Great Transformation, pasar tidak pernah netral; setiap transaksi ekonomi membawa serta konfigurasi kekuasaan yang menentukan siapa yang mengatur nilai dan siapa yang tunduk padanya.
Ketika pemerintah menawarkan insentif investasi untuk penelitian herbal, tetapi tidak membangun sistem hukum yang kuat untuk melindungi intellectual property nasional, maka yang terjadi bukan transfer of knowledge, melainkan transfer of ownership.
Skenario semacam ini pernah terjadi di India pada era 1970-an. Ketika Undang-Undang Paten India 1970 diberlakukan, negara itu memutuskan untuk hanya mengakui paten proses, bukan produk. Langkah ini memungkinkan industri farmasi lokal meniru formulasi asing melalui proses berbeda tanpa melanggar hukum. Akibatnya, dalam tiga dekade, India berubah dari importir besar obat-obatan menjadi salah satu produsen generik terbesar di dunia.
Namun kebangkitan itu tidak terjadi tanpa ketegangan. India menghadapi tekanan keras dari negara-negara Barat dan perusahaan multinasional yang menganggap kebijakan tersebut “melanggar prinsip perdagangan bebas.”
Tetapi justru karena keberaniannya menegakkan kedaulatan hukum atas farmasi, India kini memiliki industri yang mampu menekan harga global obat generik hingga 80 persen lebih murah.
Pelajaran dari India seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Membuka investasi asing tanpa proteksi hukum yang memadai justru bisa menciptakan kebalikan: alih-alih menjadi “raja dunia ekspor bahan baku obat”, Indonesia bisa kehilangan hak atas warisan genetiknya sendiri.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Protokol Nagoya telah mengatur mekanisme pembagian manfaat (access and benefit-sharing) dari sumber daya genetik, tetapi implementasinya di lapangan sering kali lemah. Banyak kasus di mana data genetik tumbuhan asal Indonesia diklaim sebagai paten oleh perusahaan luar negeri karena tidak adanya dokumentasi formal atau prior art yang jelas.
Dalam situasi ini, konsep “kedaulatan farmasi” perlu didefinisikan ulang. Ia bukan sekadar kemampuan memproduksi obat di dalam negeri, melainkan kemampuan menentukan arah riset, menguasai rantai pasok, serta menjaga hak atas sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.
Teori resource nationalism dalam ekonomi politik menekankan bahwa negara berdaulat bukan hanya atas tanah dan air, tetapi juga atas bioma dan informasi hayati yang terkandung di dalamnya. Artinya, kedaulatan farmasi sejati baru tercapai bila Indonesia tidak hanya menjadi produsen fisik, tetapi juga pemilik epistemologis dari pengetahuan tentang tanaman obatnya.
Masalahnya, kebijakan nasional masih sering terjebak dalam dikotomi antara tradisi dan modernitas. Regulasi yang dikeluarkan untuk mengatur obat herbal sering kali meminjam logika industri farmasi kimia: uji klinis tiga tahap, validasi double blind, dan pembuktian farmakokinetik yang mengikuti standar WHO.
Pendekatan ini penting untuk memastikan keamanan, tetapi bisa menjadi penghalang inovasi lokal ketika diterapkan tanpa fleksibilitas epistemik. Dalam kerangka filsafat ilmu Thomas Kuhn, paradigma biomedis modern beroperasi dalam normal science yang cenderung menolak bentuk pengetahuan yang tidak sesuai dengan metode dominan.
Maka, ketika pengetahuan tradisional diukur dengan standar laboratorium Barat, ia akan tampak inferior bukan karena kurangnya kebenaran, melainkan karena perbedaan paradigma. Kondisi ini menuntut kebijakan yang mampu menjembatani sains modern dan kearifan lokal melalui konsep integratif.
Di sinilah pentingnya gagasan evidence-based traditional medicine yang kini mulai dikembangkan BPOM. Melalui konsep ini, data empiris dari praktik tradisional dikombinasikan dengan verifikasi ilmiah modern tanpa menghapus konteks budaya dan ekologinya.
Pendekatan ini, jika dijalankan konsisten, dapat menjadi landasan epistemik bagi kemandirian ilmiah Indonesia di bidang farmasi alam. Namun, keberhasilan model ini bergantung pada dua hal: pertama, pembangunan kapasitas riset di universitas dan lembaga nasional; kedua, kebijakan hukum yang melindungi hasil riset dari dominasi paten asing.
Kerja sama antara akademia, bisnis, dan pemerintah—konsep yang oleh Prof. Taruna disebut ABG Collaboration—sebenarnya memiliki potensi besar. Tetapi kolaborasi semacam itu harus dikelola dalam kerangka nasionalisme ilmiah, bukan liberalisme pasar. Jika universitas hanya berperan sebagai subkontraktor riset bagi perusahaan multinasional, maka yang terjadi adalah komersialisasi ilmu tanpa kedaulatan.
Sebaliknya, bila riset nasional diarahkan untuk memperkuat industri dalam negeri dan menghasilkan fitofarmaka berbasis bahan lokal, maka kolaborasi itu akan menjadi fondasi bagi ekonomi farmasi berdaulat.
Ketika BPOM menargetkan peningkatan jumlah produk fitofarmaka dari dua puluh menjadi ratusan, tantangan utamanya bukan hanya pada riset, tetapi juga ekosistem kebijakan. Selama ini, proses sertifikasi sering kali lambat dan mahal, membuat industri kecil tidak mampu menembus pasar formal. Akibatnya, jamu dan obat herbal tetap terjebak di ranah informal.
Jika pemerintah serius membangun kedaulatan obat, maka birokrasi harus berubah dari penjaga gerbang menjadi fasilitator inovasi. Reformasi regulasi, peningkatan kapasitas laboratorium daerah, serta insentif fiskal bagi riset bahan alam lokal menjadi keharusan.
Lebih jauh, ketahanan farmasi tidak bisa dilepaskan dari politik perdagangan global. Indonesia harus berani memosisikan diri tidak hanya sebagai pasar bagi farmasi dunia, tetapi juga sebagai mitra strategis yang memiliki kekuatan tawar atas sumber daya genetiknya. Dalam kerangka ini, diplomasi ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting.
Kepemimpinan Indonesia dalam WHO–IRCH bisa menjadi pintu masuk untuk membangun aliansi global negara-negara penghasil biodiversitas. Jika aliansi ini berhasil membentuk standar bersama mengenai akses, manfaat, dan hak kepemilikan atas bahan alam, maka dominasi farmasi global dapat diimbangi oleh kekuatan kolektif dari selatan dunia.
Dalam jangka panjang, kedaulatan obat herbal juga memiliki dimensi sosial yang tidak kalah penting. Dengan mengembangkan industri herbal lokal, Indonesia dapat memperkuat ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian dan bioteknologi, serta mengurangi ketimpangan antara pusat dan daerah.
Lebih dari itu, kedaulatan herbal adalah cara untuk mengembalikan martabat pengetahuan rakyat. Di saat globalisasi sering menstandarkan apa yang disebut “ilmiah”, Indonesia justru memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa pengetahuan yang lahir dari tanah, hutan, dan tradisi adalah bagian dari sains yang sahih.
Jika arah kebijakan ini dijaga dengan integritas dan visi panjang, Indonesia dapat membalik logika sejarah: dari bangsa yang selama ini menjadi konsumen hasil riset farmasi asing, menjadi bangsa yang menyumbangkan paradigma baru bagi dunia—paradigma yang menggabungkan biodiversitas, kearifan tradisi, dan metodologi ilmiah modern dalam satu kesatuan yang berdaulat.
Maka, kepemimpinan Indonesia dalam WHO–IRCH bukan hanya soal protokol dan konferensi, melainkan tanda awal dari transformasi epistemik yang lebih besar: bahwa kedaulatan ilmu dan kedaulatan kesehatan sejatinya adalah satu dan sama, keduanya berakar pada keyakinan bahwa bangsa yang menguasai pengetahuannya sendiri akan menguasai nasibnya sendiri.
Tag: #kedaulatan #obat #herbal #tanah