Memaknai BI Rate 5,50 Persen
Bank Indonesia (BI) saat konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 22-23 April 2025.(ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
10:08
26 Juni 2025

Memaknai BI Rate 5,50 Persen

BANK Indonesia baru saja mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17–18 Juni 2025. Suku bunga acuan atau BI rate tetap dipertahankan di level 5,50 persen.

Keputusan ini disampaikan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, yang menegaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mendorong pemulihan permintaan domestik.

Dalam situasi global yang masih bergejolak dan pertumbuhan ekonomi nasional yang belum optimal, keputusan untuk menahan BI rate pada angka ini mengandung pesan strategis yang penting.

Menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian

Saat ini, inflasi Indonesia justru berada di level rendah, hanya 1,6 persen pada Mei 2025, jauh di bawah target Bank Indonesia yang berada di kisaran 2–4 persen. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi melambat.

Pada kuartal pertama 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh 4,87 persen—angka yang menunjukkan perlambatan dibandingkan target tahunan.

Di tengah dilema ini, Bank Indonesia memilih untuk tidak menurunkan suku bunga lebih lanjut, demi menjaga daya saing rupiah dan mengantisipasi tekanan dari luar negeri, termasuk gejolak suku bunga global dan fluktuasi harga minyak dunia.

Secara konsep, bank sentral akan menaikkan BI rate ketika tekanan inflasi meningkat tajam, nilai tukar rupiah melemah drastis, atau terjadi aliran modal keluar (capital outflow) yang membahayakan stabilitas moneter.

Hal ini juga biasa terjadi ketika negara mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat, menaikkan suku bunganya, sehingga Indonesia perlu menyesuaikan agar selisih suku bunga (interest rate differential) tetap menarik bagi investor.

Sebaliknya, penurunan BI rate umumnya dilakukan ketika inflasi dalam kondisi rendah dan stabil, permintaan domestik lemah, pertumbuhan ekonomi melambat, dan sektor keuangan menunjukkan likuiditas yang cukup.

Ini adalah momen di mana pelonggaran moneter dibutuhkan untuk merangsang konsumsi, investasi, dan penyerapan tenaga kerja.

Adapun mempertahankan BI rate, seperti yang dilakukan saat ini, dilakukan ketika inflasi dan nilai tukar terkendali, tetapi ada ketidakpastian eksternal yang masih tinggi.

Dalam konteks saat ini, dengan tekanan geopolitik di Timur Tengah dan ketidakpastian arah kebijakan The Fed, BI memilih untuk menunggu dan melihat (wait and see) sambil memastikan transmisi kebijakan sebelumnya berjalan efektif.

Dampak bagi dunia usaha, perbankan, dan masyarakat

Bagi sektor perbankan dan keuangan, kebijakan ini memberikan kepastian. Perbankan tetap bisa menjaga margin keuntungan, karena suku bunga kredit dan simpanan tidak mengalami guncangan besar.

Namun, tantangan tetap ada, terutama bagaimana bank bisa menyalurkan kredit ke sektor riil dengan bunga bersaing dan tetap menjaga risiko tetap rendah.

Bank Indonesia telah menyediakan likuiditas tambahan sebesar Rp 372 triliun sejak awal tahun, yang diharapkan mampu mendorong penyaluran kredit, terutama kepada UMKM dan sektor-sektor strategis lainnya.

Bagi dunia usaha, BI rate 5,50 persen bukan hanya soal angka, tapi juga sinyal. Jika stabilitas nilai tukar terjaga dan inflasi rendah, maka dunia usaha memiliki kepastian dalam menghitung biaya modal.

Industri-industri yang padat investasi, seperti manufaktur, energi, dan properti, akan lebih mudah dalam menyusun rencana ekspansi.

Namun, bila suku bunga kredit tetap tinggi dan konsumsi belum pulih, maka pelaku usaha harus tetap berhati-hati dalam mengambil risiko.

Kebijakan BI rate juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Misalnya, bagi mereka yang memiliki cicilan rumah (KPR), stabilnya BI rate berarti angsuran tidak akan naik dalam waktu dekat. Ini memberikan rasa aman, khususnya bagi masyarakat kelas menengah.

Di sisi lain, bagi yang menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito, bunga yang diterima juga cenderung tidak meningkat, bahkan bisa menurun seiring dengan penyesuaian pasar. Namun, karena inflasi juga rendah, nilai riil dari simpanan masih relatif aman.

Lebih dari itu, kebijakan suku bunga yang stabil memberi kepastian ekonomi. Ketika orang tidak khawatir dengan fluktuasi harga atau nilai tukar, mereka cenderung lebih percaya diri dalam mengonsumsi dan berinvestasi. Ini penting untuk menggerakkan roda ekonomi.

Selain itu, pemerintah juga terbantu karena biaya pembayaran utang domestik bisa lebih ditekan, sehingga anggaran bisa lebih fokus pada pembangunan dan bantuan sosial.

BI rate bukan sekadar angka teknis bagi para ekonom atau pelaku pasar. Ia adalah instrumen yang menyentuh hidup banyak orang—dari pelaku usaha kecil yang meminjam modal, ibu rumah tangga yang mencicil rumah, hingga investor yang menimbang proyek jangka panjang.

Menahan BI rate di level 5,50 persen adalah keputusan yang bertujuan menjaga keseimbangan: antara mendorong pertumbuhan dan menjaga kestabilan.

Namun, makna sesungguhnya dari kebijakan ini baru akan terasa jika masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah mampu memanfaatkan momen stabilitas ini untuk melangkah lebih maju.

Dalam situasi ekonomi yang masih diliputi ketidakpastian, mampukah kita bersama-sama memaknai BI rate 5,50 persen ini sebagai sinyal harapan dan pijakan strategis untuk bangkit dan bertumbuh secara berkelanjutan?

Tag:  #memaknai #rate #persen

KOMENTAR