Sajak: Serenada Hitam di Kota Hitam
ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)
11:04
27 Oktober 2024

Sajak: Serenada Hitam di Kota Hitam

Serenada Hitam di Kota Hitam

 


Hari itu, orang-orang lupa tanggal berapa

mereka bernyanyi memanggil arwah-arwah

tersuruk mencari ceruk di pohon-pohon tua

yang rantingnya menggigil gemetar

 


siapa bisa menggambarkan maut menyentuh pundak kanak-kanak?

seperti lilin-lilin redup menyala menyanyikan happy birthday

lantas padam begitu saja, namun serenada-serenada itu tetap saja kita nyanyikan

sambil membayangkan perjalanan tamasya ke kubur hitam

 


serenada hitam dinyanyikan, ikan-ikan menari kesurupan

burung-burung gagak mabuk bernyanyi, sajak-sajak menggelepar

membayangkan wali-wali suci sembunyi di perut paus hitam

 


’’jangan pergi tuan, jangan pergi ke kota!”

 


’’nona, jangan balik ke kota!”

 


kota menghitam. lelaki-lelaki berjubah hitam

perempuan-perempuan bermantel hitam

selfi sambil nangis di bawah bulan hitam

mantra-mantra kematian dibacakan,

jampi-jampi kubur didengungkan

ribuan lebah hitam seperti daun-daun

rontok menutupi trotoar jadi hitam

 


’’jangan pergi, tuan dan nona, jangan balik ke kota!”

2024

---

ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)

Perahu Batu

 


Tahun-tahun memanjang. usia muler-mungkret.

rambutku menjulur seperti rel-rel kereta api

berkelok-kelok. menikung-nikung. mengaruskan

riwayat-riwayat kelak akan diabadikan oleh kopi dalam cangkir

dihirup kalender. pelan-pelan

 


ada gaung di masa lalu

saat kupu-kupu

mengkhianati kepompongnya

 


yang lepas itu: jarak!

garis patah-patah seperti ranting kayu

diayun arus bersama ikan-ikan

memburu jejak hilir

 


bilangan-bilangan susut

menemani usia yang lebih suka

beringsut surut

di senja tanpa sujud

 


arus itu kandas di mana?

 


beku pun tak tahu

saat semua sisipus

menebak ke mana akan dilabuhkan perahu batu!

 


2023-2024

---

Kota Dingin

 


Kota sedingin mata mayat

menyimpan sisa mimpi

 


kota sedingin mata mayat

dengan gang-gang selalu buntu

jalan-jalan meningkung

serta cuaca menerabas

setiap hitungan usia

 


selalu saja subuh bermula dengan keruh

wanita-wanita tua menyapu jalanan

di samar kabut

 


lihatlah, tuan dan nyonya, setiap mata disepuh dingin

setiap lelaki kehilangan syahwat dan para perawan memanjangkan rambutnya

sampai pada angka kalender terakhir mencantolkan uban di helainya!

 


olala, kota sedingin mata mayat:

wanita-wanita tuanya menyapu jalanan di sela kabut,

lelaki-lelakinya kehilangan pelir,

perawan-perawannya memanjangkan uban

 


Begitu dinginnya.

 


2024

---

TJAHJONO WIDARMANTO, penyair yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya, antara lain, Suluk Kangen Kanjeng Nabi (2024)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #sajak #serenada #hitam #kota #hitam

KOMENTAR