Polemik Fotografer Pelari di Ruang Publik, Pengamat: Perlu Kode Etik
- Fenomena fotografer lepas yang memotret pelari di ruang publik, belakangan memicu polemik.
Warganet menyoroti soal banyaknya fotografer yang memotret dan mengunggah foto pelari tanpa izin di platform marketplace dokumentasi, seperti FotoYu.
Salah satu yang memantik diskusi ini ke media sosial adalah Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, platform pemantauan dan analisis media sosial yang menggunakan big data dan kecerdasan buatan (AI).
Dalam postingnya, Fahmi mengunggah beberapa foto yang menampilkan fotografer sedang mengemper di trotoar, sambil memotret pelari di ruang publik.
Ia hanya menuliskan "AI yang menciptakan lapangan kerja baru", sebagai takarir (caption). Posting itu cukup banyak direspons dengan keluhan dan ketidaknyamanan karena difoto tanpa izin di ruang publik, seperti saat acara Car Free Day (CFD).
"Akhirnya mereka memilih menghindar, tidak datang ke CFD, atau lari di komplek. Tapi bahkan di komplek pun kadang masih ada yang motret tanpa izin. Jadi ruang aman itu makin lama makin hilang," kata Ismail, menanggapi respons postingnya.
AI menciptakan lapangan kerja baru. pic.twitter.com/ZLbWiazkc8
— Ismail Fahmi (@ismailfahmi) October 26, 2025
Dari solusi jadi bikin risih
Fenomena ini sebetulnya sudah muncul sejak sekitar tahun 2022, ketika lari mulai menjadi "pop-culture".
Ismail, yang juga pegiat lari, mengatakan bahwa platform seperti FotoYu sebetulnya menjadi solusi di awal kemunculannya.
Dulu, pelari bingung bagaimana cara mendapatkan fotonya ketika ikut kompetisi lari resmi. Mereka harus berusaha sendiri mencari tahu siapa fotografernya di Instagram.
"FotoYu hadir supaya pelari tinggal install aplikasinya, lalu semua fotografer upload ke sana. Kalau mau cari foto, cukup unggah foto wajah sendiri, AI-nya akan mencocokkan lewat face recognition," jelas Ismail ketika dihubungi KompasTekno, Rabu (29/10/2025).
Sebagai gambaran, FotoYu merupakan platform marketplace, di mana fotografer lepas (freelance) bisa mengunggah foto hasil jepretannya dan menjualnya di sana.
Pengguna FotoYu, bisa mencari fotonya dengan membuat akun serta merekam biometrik wajah dengan melakukan selfie.
Data wajah tersebut akan digunakan teknologi pengenal wajah di FotoYu untuk mencocokan foto. Sehingga, pengguna bisa mencari fotonya berbekal foto selfie tadi. Apabila sudah menemukan foto yang cocok, pengguna bisa membeli foto tersebut.
Nah, masalah muncul ketika solusi yang diberikan FotoYu, dipakai secara masif oleh fotografer, tanpa mempertimbangkan privasi pelari atau pengguna. Sebab, kini fotografer tak cuma ada di acara lari resmi, tapi juga bermunculan di ruang publik.
"Jumlah fotografer jadi luar biasa banyak, bahkan suasananya terasa intimidatif. Saya sendiri waktu di Palembang kaget, pelari seperti diserbu fotografer. Jadi kayak model yang dikepung kamera," kata Ismail.
Masalahnya, tidak semua pelari bersedia difoto. Hal ini membuat ruang publik menjadi tidak nyaman karena banyak fotografer yang memotret tanpa izin.
Perlu ada kode etik
Ilustrasi fotografer yang sedang mengabadikan momen pelari di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), Makassar.
Bukan cuma foto tanpa izin yang jadi sorotan. Penggunaan AI juga memunculkan kekhawatiran, terutama soal keamanan data.
Misalnya, pengguna khawatir apabila data yang dihimpun digunakan untuk melatih data lain atau bahkan untuk tujuan pengawasan (surveillance).
"Mungkin saya percaya FotoYu tidak melakukan itu, tapi siapa yang bisa memastikan? Siapa yang memeriksa apakah sistem mereka sudah sesuai dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)? Berapa lama data disimpan? Siapa yang menjamin keamanan datanya?" kata Ismail.
Oleh karena itu, Ismail mengusulkan perlu adanya kode etik agar masyarakat tetap merasa aman beraktivitas di ruang publik.
"Misalnya, bagaimana kalau seseorang tidak mau difoto? Bisa nggak dia minta fotonya dihapus? Itu semua perlu diatur," imbuhnya.
Ismail mengatakan, platform perlu menjunjung konsep perlindungan data "right to be forgotten".
Jadi, platform perlu menyediakan mekanisme bagi pelari yang meminta fotonya dihapus, apabila tidak berkehendak.
Berdasarkan pantauan KompasTekno, FotoYu memang memiliki opsi untuk menghapus posting di akun pengguna. Akan tetapi, belum diketahui apakah posting tersebut juga akan terhapus dari server atau sebatas di sisi profil pengguna saja.
Ismail juga menyoroti soal rentang waktu penyimpanan data wajah pengguna dan apa saja yang disimpan, termasuk soal kepatuhan platform terhadap UU PDP.
"Kominfo (kini menjadi Komdigi) seharusnya punya peran di sini, memeriksa dan menilai kepatuhan aplikasi seperti FotoYou. Publik perlu tahu apakah data mereka aman dan bisa dihapus kapan saja," kata Ismail.
Sebagai pegiat lari, ia juga mengusulkan beberapa kode etik yang mungkin bisa menengahi polemik ini.
Misalnya, pembatasan pemotretan di area publik, menyarankan pelari membawa tanda yang mengatakan bahwa mereka enggan difoto, dan mekanisme teguran apabila fotografer melanggar.
Kendati demikian, kode etik ini sebaiknya disusun oleh semua pihak yang berkepentingan, yakni platform, fotografer, pelari, masyarakat, dan pemerintah.
"Pemerintah daerah, misalnya Pemprov DKI, bisa jadi fasilitator. Kalau Jakarta bisa bikin aturan ini, daerah lain bisa meniru," imbuhnya.
Ismail menekankan bahwa perkembangan teknologi, seperti AI tidak bisa dihindari. Namun, AI tanpa aturan dan kesepakatan sosial, bisa menimbulkan keresahan.
"Jadi kita perlu pastikan kemajuan teknologi tetap menghormati privasi dan kenyamanan publik," pungkasnya.
Pendapat Komdigi
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) buka suara soal polemik fotografer pelari ini.
Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Ditjen Wasdig Kemkomdigi) Alexander Sabar, berencana mengundang perwakilan fotografer maupun asosiasi fotografer, serta platform terkait untuk berdiskusi dan memperkuat pemahaman terkait kewajiban hukum dan etika fotografi, khususnya dalam konteks pelindungan data pribadi.
Alexander juga menegaskan bahwa fotografer wajib mematuhi ketentuan dalam UU PDP, terutama jika kegiatan pemotretan dilakukan di luar konteks pribadi atau rumah tangga.
"Foto seseorang, terutama yang menampilkan wajah atau ciri khas individu, termasuk kategori data pribadi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik," kata Alexander lewat pesan singkat kepada KompasTekno, Rabu (29/10/2025).
Alexander juga mengatakan bahwa fotografer harus mematuhi ketentuan hak cipta yang melarang pengomersilan hasil foto tanpa persetujuan dari subjek yang dipotret.
Tag: #polemik #fotografer #pelari #ruang #publik #pengamat #perlu #kode #etik