Selain Kades, Ketua RT Ikut Sebut Area Pagar Laut di Desa Kohod Dulunya Empang yang Terkena Abrasi
Personel TNI Angkatan Laut (AL) bersama instansi maritim dan masyarakat nelayan membongkar pagar laut di perairan Tangerang, Banten pada Sabtu (25/1/2025). 
20:15
26 Januari 2025

Selain Kades, Ketua RT Ikut Sebut Area Pagar Laut di Desa Kohod Dulunya Empang yang Terkena Abrasi

- Selain Kepala Desa Kohod bernama Arsin, terkini klaim soal asal-usul wilayah yang terkena pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, disampaikan Ketua RT 06 Kejaron 1, Rudianto (35).

Rudianto menyebut, pesisir Desa Kohod menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak abrasi.

Ia menjelaskan, bagaimana batas empang yang dulu menjadi pemisah antara daratan dan lautan kini telah tergerus air laut. 

Rumah serta empang milik warga yang dulunya berdiri kokoh tak jauh dari tepi pantai kini harus berpindah jauh dari bibir laut, menjauh dari ancaman air yang semakin mendekat.

"Kalau empang sih memang dulu batasnya, kalau Enggak salah, itu yang ada patokannya tuh di sana (menunjuk tumpukan bambu), yang paling tengah tuh. Itu empang," kata Rudianto. 

Memang, sejak tahun 2000-an, air laut mulai merangsek lebih jauh ke daratan, bahkan mengancam keberadaan empang yang dulunya menjadi tumpuan hidup sebagian warga. 

Ia masih mengingat betul perubahan daratan pinggir laut yang kini telah berubah menjadi air laut sepenuhnya. Hampir 1 kilometer yang dahulu daratan, kini telah menjadi perairan.  

"Air sudah mulai ke sini, karena abrasi dekat empang itu," tambah Rudianto.

Perubahan ini pun membuat sebagian besar warga yang memiliki empang memilih untuk tidak lagi merawatnya, karena usaha itu sia-sia jika nantinya harus digusur oleh air laut yang terus bergerak maju.

Desa Kohod kini menjadi saksi bisu dari dampak abrasi laut yang semakin menghantui kehidupan warga setempat. Dulu, wilayah ini adalah rumah bagi banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya pada laut dan empang, namun kini mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa tanah yang mereka huni semakin tergerus oleh waktu dan alam.

Abrasi di pesisir Tangerang ternyata sudah lama terjadi. Pemerintah Kabupaten Tangerang mencatat sejak 1995-2015, lebih kurang 579 hektare lahan alias tanah daratan hilang akibat abrasi. Banyak faktor yang mengakibatkan abrasi, di antaranya pembukaan lahan hutan mangrove untuk dijadikan tambak.

Padahal, di era 80-90an salah satu desa di pesisir Kabupaten Tangerang yakni Desa Marga Mulya terdapat lahan pertanian semangka. Buahnya manis, berkualitas dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun akibat abrasi, lahan tersebut kini sudah hilang tertutup air.

Problem telah mencapai tahapan kritis, jika tidak cepat ditanggulangi, 50 juta jiwa yang tinggal di Pulau Jawa jadi korbannya. Dampak ekonominya lebih parah lagi, estimasi mencapai Rp2,1 triliun dan akan terus meningkat hingga Rp10 triliun dalam 10 tahun ke depan, menurut data yang diterbitkan Kemenko Bidang Perekonomian 2024.

Kades Kohod Ngotot Sebut Dulu Wilayahnya Empang, Satelit Tunjukkan Fakta Beda

Kepala Desa Kohod menyebut wilayah pagar laut yang berada di samping desanya dulu adalah empang, hal tersebut didebat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid.

Perdebatan Kades Arsin dengan Menteri Nusron terjadi saat pengecekan fisik lahan yang memiliki SHGB dan SHM di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten pada Jumat (24/1/2025).

Menteri Nusron sempat terlibat perdebatan dengan Asrin soal status lahan yang disebut Asrin dahulunya merupakan empang sebelum terkena abrasi.

"Pak Lurah bilang itu dulunya empang, katanya karena abrasi. Dari tahun 2004 katanya sudah dikasih batu-batu," ujar Nusron di lokasi.

Meski tidak ingin memperdebatkan sejarah garis pantai, Nusron menegaskan bahwa jika suatu lahan telah hilang secara fisik, maka statusnya berubah menjadi tanah musnah.

"Secara faktual, tadi kita lihat sama-sama, tanahnya sudah tidak ada," jelasnya.

Meskipun terdapat perdebatan mengenai status lahan, Nusron memastikan pihaknya akan memeriksa dokumen sertifikat terkait kepemilikan lahan tersebut.

Jika lahan yang memiliki SHGB dan SHM sudah tidak ada secara fisik, maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkannya secara otomatis.

Lantas apakah benar kawasan laut yang kini terpagar bambu dulunya adalah empang?

Tribunnews.com melakukan pengecekan sejak tahun 1995 hingga 2025, tidak ada empang atau tanah di deretan laut samping desa Kohod.

Penampakan Laut di dekat Desa Kohod melalui tampilan satelit tahun 1995 (Google Maps)

Bahkan, pada satelit terbaru justru nampak pagar laut yang saat ini membentang 30,16 kilometer yang melewati Desa Kohod.

Penampakan Laut di dekat Desa Kohod melalui tampilan satelit tahun 2025, ada pagar laut yang terlihat (Google Maps)

Video singkat pemandangan satelit pagar laut juga sempat diunggah akun X anggota PKS, Mulyanto.

"Pagar laut dari satelit," tulis @pakmul63 pada 15 Januari 2025 lalu.

Nampak pagar laut sudah terlihat dengan rangka-rangka di bawah laut berupa kotak-kotak seperti penangkaran atau penahan ombak.

Dan memang benar, pagar tersebut melewati Desa Kohod dan Desa Kramat.

Kini tinggal menunggu keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid tentang pembatalan SHGB dan SHM.

Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid akhhirnya memutuskan membatalkan sejumlah sertifikat yang terbit di wilayah pagar laut yang berada di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.

Proses pembatalan sertifikat ini dilakukan dengan memeriksa tiga hal utama, yaitu dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah.

"Hari ini kami bersama tim melakukan proses pembatalan sertifikat, baik itu SHM maupun HGB. Tata caranya dimulai dengan mengecek dokumen yuridis."

"Langkah kedua adalah mengecek prosedur. Kami bisa melihatnya melalui komputer untuk memastikan apakah prosesnya sudah benar atau belum," ujar Menteri Nusron kepada awak media usai meninjau kondisi fisik material tanah di wilayah pagar laut Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Jumat (24/01/2025).

Namun, kata Nusron karena menyangkut pembatalan, langkah terakhir adalah mengecek fisik materialnya. Pihaknya juga sudah datang dan melihat kondisi fisiknya.

Menteri Nusron melanjutkan, pihaknya memastikan proses pembatalan dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur yang berlaku.

"Kami harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan bukti yang sah dan sesuai dengan aturan yang ada."

"Jadi, jangan sampai kita membatalkan sesuatu yang kita anggap cacat hukum maupun cacat material, proses pembatalannya cacat juga," tambahnya.

Nusron menegaskan, proses verifikasi sertifikat tanah sendiri memerlukan waktu, dan hingga saat ini, sekitar 50 bidang tanah telah diperiksa.

"Kami akan terus memeriksa satu per satu, karena setiap dokumen dan material tanah harus dicek dengan cermat," kata Nusron Wahid.

Terkait sanksi dalam penerbitan sertifikat, Menteri Nusron menjelaskan jika hal tersebut merupakan tindak pidana, tentu terdapat sanksi.

"Namun, bagi pejabat kami, itu disebut maladministrasi, karena dianggap tidak prudent dan tidak cermat. Inspektorat kami sudah memeriksa selama empat hari, dan semua pihak terkait sudah diperiksa," ujarnya.

Dalam upaya meningkatkan pengawasan, Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk meningkatkan manajemen risiko serta ketelitian petugas dalam proses verifikasi.

“Dengan adanya aplikasi Bhumi ATR/BPN, kesalahan apapun tidak bisa disembunyikan. Semua orang bisa mengakses data dan menjadi kontrol sosial,” tutup Menteri Nusron.

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Ketua RT Ungkap Sejarah Desa Kohod, Tergerus Waktu dan Alam, Daratan Kini Berubah Jadi Lautan

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #selain #kades #ketua #ikut #sebut #area #pagar #laut #desa #kohod #dulunya #empang #yang #terkena #abrasi

KOMENTAR